ALHAMDULILLAH, banyak perspektif dalam memaknai Ramadan. Salah satu
di antaranya adalah sebagai bulan tarbiyah, bulan untuk mendidik diri,
keluarga, dan masyarakat. Memasuki Ramadan ibarat memasuki Universitas
Kehidupan dengan mata kuliah seluruh aspek kehidupan.
Layaknya sistem perkuliahan,
selalu dilaksanakan ujian sebelum kuliah berakhir. Hasil ujian mencerminkan
keberhasilan proses pembelajaran. Dalam Universitas Kehidupan, ukuran
kelulusannya tidak menggunakan sistem bilangan biner (’’nol’’ atau ’’satu’’),
lulus atau tidak lulus. Tetapi, lebih mengarah ke evaluative-progressive, yaitu
untuk mengetahui kelemahan dan tindak lanjut yang harus dilakukan.
Karena itu, sebelum mengakhiri
Ramadan 1441 H, ada baiknya kita melakukan kontemplasi untuk mengevaluasi diri
serta mengambil keputusan dan langkah strategis yang harus segera
ditindaklanjuti. Mengapa harus segera? Karena kita tidak tahu masih berapa lama
masa studi yang tersisa. Pendekatan kesetimbangan, yaitu yang mencari hubungan
antara input-output atau modal-hasil (lazimnya dalam dunia bisnis-perdagangan)
merupakan salah satu pendekatan yang lazim digunakan dalam
evaluative-progressive.
Defisit Kebaikan
Berkontemplasi memerlukan
kejernihan pikir dan suasana batin-kejiwaan yang sangat khusus. Akhir Ramadan
adalah saat yang tepat setelah kita menggosok kerak-kerak penghalang hubungan
kita kepada Allah SWT dan keabaian terhadap persoalan sosial. Dengan penuh
kejujuran, salah satu hasil kontemplasi tersebut adalah kita sedang mengalami
defisit kebaikan. Mengapa? Tidakkah, modal (nikmat) yang Allah SWT telah
berikan kepada kita tak terhitung (QS: Ibrahim:34), sedangkan amal kebajikan
kita sangat bisa dihitung. Bahkan sering kali, nikmat tersebut kita korupsi
karena kita gunakan tidak pada tempatnya.
Ibarat pebisnis, modal pinjaman
miliaran rupiah, tetapi keuntungan usahanya hanya ribuan rupiah, bahkan sering
kali mengalami kerugian. Maka, dapat dipastikan dia tidak akan mampu
mengembalikan modal pinjaman tersebut. Bagi orang yang cerdas dan bijak, kondisi
itu memaksanya untuk membangun kesadaran (state of mind) bahwa dirinya sedang
berada dalam kondisi defisit kebaikan (goodness deficit), bahkan bisa mengarah
ke krisis kebaikan. Tidakkah, kesadaran itu sebagai modal utama dalam melakukan
perbaikan.
Dua Langkah Perbaikan
Hidup ini ibarat bisnis,
berdagang atau berniaga yang istilah ini juga digunakan dalam Alquran (Al
Shaff: 10). Bagi orang yang sedang mengalami defisit, paling tidak ada dua
langkah yang harus dilakukan. Pertama, meminta maaf dan memohon belas kasihan
(bahasa Jawa: welas asih) kepada pemberi modal karena tidak cakap, tidak
kompeten, bahkan tidak serius dalam mengelola modal tersebut. Dalam konteks ini
adalah meminta ampun (istigfar) dan memohon kasih sayang kepada pemberi modal,
yaitu Allah SWT. Tidakkah, Allah SWT memasukkan hamba-Nya ke dalam surga bukan
karena amal ibadahnya, tetapi semata-mata karena kasih sayang-Nya.
Ini menunjukkan bahwa
hitung-hitungan dasarnya, kita itu sebenarnya dalam keadaan defisit kebaikan.
Doa-doa yang diajarkan selama Ramadan, khususnya sepuluh hari terakhir, adalah
memohon ampunan-maaf (Allohumma innaka ’afuwwun kariim, tuhibbuhl ’afwa fa’fu
’anni) dan memohon keridaan dan surga serta berlindung kepada Allah atas
ketidakridaan dan neraka (Allohumma inna nasaluka ridhoka wal jannah, wa
na’udzu bika min sachothika wan naar).
Kedua, berpikir keras untuk
memperkecil defisit dengan cara mencari peluang bisnis yang memiliki keuntungan
(margin) yang sangat besar dan bertahan lama, bahkan sampai meninggal pun manfaatnya
masih bisa kita dapatkan (passive income). Dalam konteks ini adalah sedekah
jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mampu mendoakan (orang
tuanya). Tiga hal tersebut bermuara pada kemaslahatan umat dan sarat akan
nilai-nilai kemanusiaan. Tidakkah, kemaslahatan di dunia dan akhirat merupakan
esensi sistem syar’i (maqoshidus syar’i). Karena itu, menjadikan tiga hal
tersebut sebagai bidang garap utama dalam kehidupan merupakan keniscayaan.
Sebagai sedekah jariah, wakaf
memiliki peran yang sangat strategis karena karakteristiknya, yaitu
’’keabadian’’ harta wakaf (tidak boleh dijual maupun diwariskan) dan harus
dikelola sehingga memberikan nilai tambah (value creation). Nilai tambah itulah
yang didistribusikan ke penerima manfaat (mauquf ’alaih), sebagai bagian dari
membangun kemaslahatan umat. Pengelolaan harta wakaf diibaratkan belanja modal
atau investasi (capital expenditure), sedangkan zakat sebagai belanja
operasional (operational expenditure). Keduanya saling melengkapi dan
menyempurnakan. Dengan kekuatan wakaf, memungkinkan umat memiliki
pusat-pencetak ilmuwan-ilmuwan yang berorientasi pada kemanfaatan, layanan
kesehatan, dan perekonomian yang kesemuanya bermuara pada kesejahteraan umat.
Covid-19 dan Semangat Berbagi
Tentu memperkecil defisit
tersebut juga dapat dilakukan melalui berbagai amal kebajikan, terutama yang
terkait dengan nilai-nilai kemanusiaan, termasuk di dalamnya menjaga
(menyelamatkan) nyawa manusia (hifzhun nafsi). Pandemi Covid-19 memiliki dampak
yang sungguh luar biasa dan memberikan pelajaran yang sangat berharga, yaitu
tentang pentingnya semangat berbagi, semangat kekitaan (nahnuisme bukan
anaisme), dan keharusan berubah untuk membentuk normal baru (new normal).
Keduanya harus kita jadikan sebagai kesempatan untuk memberikan yang terbaik
bagi masyarakat. Saatnya kita melakukan transformasi dari SAYA menjadi KAMI dan
akhirnya menjadi KITA. Dan insya Allah semuanya akan berujung untuk memperkecil
defisit kebaikan kita.
Akhirnya, orang yang alim itu
orang yang paham meskipun dengan bahasa isyarat, sedangkan orang laim (tidak
cerdas), dilempar batu pun dia tidak mampu memahaminya. Covid-19 jauh lebih
dahsyat daripada lemparan batu. Untuk itu, kita harus belajar memahami makna
sesungguhnya di balik Covid-19 tersebut. (*)
(Penulis adalah Ketua Badan Wakaf
Indonesia)