Puncak kejayaan manusia
–jangan dipersoalkan teori dari mana– adalah pada umur 28 sampai 33 tahun.
Boleh mundur atau maju sedikit.
Ahmad Alghozi Ramadhan jelas
belum mencapai puncak kejayaan seorang manusia. Umurnya baru 22 tahun.
Karena itu Ghozi masih bisa
tidak tidur lima harmal.
Apakah berarti Ghozi tidak
tidur sama sekali selama lima harmal? Tentu tidak begitu. Pasti ia tidur juga
sebentar-sebentar. Tapi, pasti, tidurnya sangat sedikit.
Tidak tidur lima harmal bisa
juga diartikan selama itu ia tidak pulang. Tetap di ruang kerja. Makan di situ
–nasi bungkus. Minum di situ –atau lebih sering lupa minum. Tertidur di situ
–baru sebentar sudah tergagap bangun.
Pasti pula ia sering menahan
kencing –kalah dengan ide yang lagi mengalir. Hanya buang air besar yang tidak
bisa ditahan.
Tidak tidur selama lima harmal
juga bisa diartikan selama itu pula tidak mandi, tidak ganti baju/celana.
Saya bisa membayangkan tempat
kerja Ghozi di kos-kosan itu. Pasti sangat berantakan: komputer, buku-buku,
catatan, kopi, sisa makanan, bantal berserakan jadi satu.
Tidak semua anak muda punya
kesempatan merasakan tidak tidur selama lima harmal seperti itu.
Anak muda yang tiap hari
diharuskan pulang akan jauh dari pengalaman itu. Anak muda yang sering
ditelepon ibunya apalagi.
Mereka yang tidak tidur lima
harmal itu pasti ingin tidur juga. Tapi mereka tidak bisa tidur. Mata mereka
mendelik. Otak mereka terus ‘bangun’. Ambisi mereka menyala-nyala. Layar
komputer seperti terus mengajaknya bercanda.
Mereka itu tidak stres. Ini
bukan tugas dari atasan. Yang kalau tidak selesai punya resiko dipecat.
Mereka lebih tepat dikatakan
antusias. Stres dan antusias harus dibedakan. Meski akibatnya sama: tidak bisa
tidur.
Pasti sesekali kepala Alghozi
terkulai di meja. Tertidur. Tapi ia segera tergeragap. Merasa ada magnit kuat
yang menyetrumnya. Atau tiba-tiba ada ide besar yang melintas. Atau tiba-tiba
ada jawaban dari kemacetan yang awalnya sulit diterobos.
Anak-anak muda seperti itu
tidak tidur bukan karena lebay. Sungguh mati mereka
ingin tidur. Tapi otak mereka jalan terus.
Hampir semua anak muda pada
dasarnya seperti itu. Kalau punya kemauan harus menjadi kenyataan. Kalau belum
tuntas belum mau berhenti. Makan tidak penting. Tidur tidak penting.
Itulah sebabnya hanya anak muda
yang bisa membuat kemajuan besar. Yang tua bisa juga –tapi sangat jarang.
Sudah menjadi sunnatullah anak
muda diberi kelebihan fisik –bisa tidak tidur selama lima harmal. Orang tua
seperti saya, tidak tidur 24 jam saja sudah masuk angin! Padahal, dulu juga
seperti itu.
Tentu banyak juga anak muda
yang kesibukannya dari hari ke hari tidur melulu. Itu tidak salah. Nikmati
saja. Itu membahagiakan juga. Bahkan bisa menguntungkan. Otak anak muda seperti
itu bisa lebih awet –karena jarang dipakai.
Mengapa pada umur 28 sampai 33
tahun saya anggap puncak kejayaan manusia?
Di umur seperti itulah tiga
kehebatan bisa bersatu di satu tubuh: intelektual, pengalaman, dan kemudaan.
Mereka sudah intelektual
–setidaknya sudah lulus S-1. Otak intelektualitasnya sudah mendapat pendidikan
logika dan sistematika.
Mereka sudah banyak pengalaman
–sudah lima tahun di dunia kerja. Pasti sudah pernah jatuh-bangun. Atau pernah
mengalami banyak kepahitan.
Mereka punya fisik yang kuat
–bisa tidak tidur dua harmal: meski tidak bisa lagi lima harmal.
Alghozi –dan anak muda
seumurnya– adalah mereka yang sedang menuju puncak kejayaan seperti itu.
Bagaimana kalau sudah umur 28
tahun baru mendapat intelektualitas dan kemudaan saja –masih minus kematangan
pengalaman?
Itu berarti saat umur 23 sampai
28 tahun kurang berani terjun ke medan perang –perang apa pun. Juga berarti
belum pernah merasakan tidak tidur lima harmal.
Itu berarti selama umur 23
sampai 28 tahun hanya puas menjalani kehidupan yang datar-datar saja.
Tapi tidak ada masalah. Masih
ada waktu dua atau tiga tahun lagi untuk banting stir: latihan ambil resiko.
Bagaimana kalau sudah 40 tahun
belum bisa menggabungkan tiga keunggulan itu?
Juga tidak ada masalah. Anda
bisa menyiapkan anak Anda –agar jangan seperti orang tuanya.
Saya yakin orang seperti
Alghazi tidak pusing dianggap lebay. Ia baru pusing
kalau ide yang ada di otaknya tidak bisa terlaksana.
Fisik yang tidak bisa berjalan
masih bisa dibantu kursi roda.
Otak yang tidak bisa berjalan
maunya hanya seperti Jiwasraya.(Dahlan Iskan)