31.7 C
Jakarta
Saturday, April 20, 2024

Batu Himalaya

Begitu banyak peristiwa. Begitu
sedikit yang bisa ditulis DI’s Way. Ada ‘air-keras-tidak-sengaja’ yang
menghadiri wajah tokoh antikorupsi Novel Baswedan. Ada Nurhadi yang akhirnya
ditangkap Novel Baswedan. Ada warisan humor Gus Dur yang bikin cilaka. Ada Eka
Sila. Ada Omnibus Law yang mendadak tiba di terminal akhir.

Belum lagi dokter-dokter yang
meninggal karena pandemi. Juga mengapa kemampuan lab di kota sebesar Surabaya
hanya sekitar 250 sehari –sementara kota Padang yang lebih kecil bisa 2.500
perhari.

Begitu banyak peristiwa penting.
Hanya satu yang bisa ditulis di DI’s Way.

Akankah DI’s Way harus punya
wartawan? Agar ‘yang banyak kejadian’ itu bisa ditulis semua? Haruskah saya
memimpin tim liputan lagi? Seperti saat berumur 31 tahun –padahal umur saya
sekarang sudah 69 tahun?

Kalau konflik India-Tiongkok,
saya memang tidak tertarik. Tidak pernah tertarik. Padahal betapa banyak
pembaca yang juga ingin saya menulis konflik perbatasan itu.

Konflik itu sudah terjadi puluhan
tahun. Senjata yang digunakan pun sangat kuno: batu. Saling lempar batu.
Padahal keduanya punya nuklir.

Baca Juga :  Wabup Mura Kunjungi MUI Kalteng, Ini Yang Dibahas

Saya pun yakin: perang zaman batu
di pada 2020 ini tidak akan meledak menjadi perang besar.

Tiongkok itu punya perbatasan
dengan 16 negara. Tiongkok sudah bisa menyelesaikan perbatasannya dengan 14
negara. Tidak satu pun lewat perang. Tinggal dengan India dan Nepal itu –yang
dipengaruhi India juga. Tidak ada sejarah perang besar perbatasan di kawasan 16
negara itu.

Yang dengan Rusia sebenarnya
lebih parah. Perbatasan dua negara itu juga jauh lebih panjang.

Saya pernah ke museum di
perbatasan Tiongkok-Rusia itu. Di kota kecil Heihe. Dua kali saya ke sana. Yang
dari kota itu bisa memotret kota Rusia di dekatnya. Hanya dipisahkan sungai
selebar Bengawan Solo.

Kunjungan kedua saya bersama Robert
Lai yang Singaporean dan John Mohn yang American.

Di museum itu diceritakan soal
penyelesaian perbatasan Tiongkok-Rusia. Yang sangat dramatik. Termasuk ketika
Tiongkok harus kehilangan wilayah yang luas di dekat Heihe.

Maka saya tidak yakin akan ada
perang besar di perbatasan Tiongkok-India. Kecuali batu-batu di situ sudah
habis. Bayangkan betapa lamanya menghabiskan batu di kaki pegunungan Himalaya
itu.

Baca Juga :  PKL Dilarang Berjualan di Bahu Jalan

Yang mungkin meledak adalah
perbatasan di laut. Tidak dengan satu negara. Tapi dengan tiga negara: Vietnam,
Malaysia dan Filipina. Di Laut Tiongkok Selatan.

Baik di India maupun di laut itu
ada unsur Amerika Serikat yang kuat di dalamnya.

Saya pun menyadari sepenuhnya
keterbatasan DI’s Way. Yang hanya punya satu wartawan –itu pun tanpa dibayar
pula.

Tapi saya juga membaca keinginan
yang kuat dari publik: perlunya liputan DI’s Way yang lebih luas.

Sementara ini, itu tidak mungkin.

Maka sebaiknya pandanglah DI’s
Way hanya sebagai salah satu sudut pandang. Jangan juga mudah ikut sudut
pandang DI’s Way.

Yang terbaik adalah:
masing-masing orang punya pandangan sendiri-sendiri. Media sebaiknya hanya
menyajikan pilihan-pilihan dari begitu banyak sudut pandang.

Yang cebong tetaplah jadi anak
kodok. Sampai airnya kering. Yang kampret tetaplah jadi anak codot sampai tidak
ada lagi pohon.

Toh kita tidak punya batu
sebanyak di kaki Himalaya.(Dahlan Iskan)

 

Begitu banyak peristiwa. Begitu
sedikit yang bisa ditulis DI’s Way. Ada ‘air-keras-tidak-sengaja’ yang
menghadiri wajah tokoh antikorupsi Novel Baswedan. Ada Nurhadi yang akhirnya
ditangkap Novel Baswedan. Ada warisan humor Gus Dur yang bikin cilaka. Ada Eka
Sila. Ada Omnibus Law yang mendadak tiba di terminal akhir.

Belum lagi dokter-dokter yang
meninggal karena pandemi. Juga mengapa kemampuan lab di kota sebesar Surabaya
hanya sekitar 250 sehari –sementara kota Padang yang lebih kecil bisa 2.500
perhari.

Begitu banyak peristiwa penting.
Hanya satu yang bisa ditulis di DI’s Way.

Akankah DI’s Way harus punya
wartawan? Agar ‘yang banyak kejadian’ itu bisa ditulis semua? Haruskah saya
memimpin tim liputan lagi? Seperti saat berumur 31 tahun –padahal umur saya
sekarang sudah 69 tahun?

Kalau konflik India-Tiongkok,
saya memang tidak tertarik. Tidak pernah tertarik. Padahal betapa banyak
pembaca yang juga ingin saya menulis konflik perbatasan itu.

Konflik itu sudah terjadi puluhan
tahun. Senjata yang digunakan pun sangat kuno: batu. Saling lempar batu.
Padahal keduanya punya nuklir.

Baca Juga :  Wabup Mura Kunjungi MUI Kalteng, Ini Yang Dibahas

Saya pun yakin: perang zaman batu
di pada 2020 ini tidak akan meledak menjadi perang besar.

Tiongkok itu punya perbatasan
dengan 16 negara. Tiongkok sudah bisa menyelesaikan perbatasannya dengan 14
negara. Tidak satu pun lewat perang. Tinggal dengan India dan Nepal itu –yang
dipengaruhi India juga. Tidak ada sejarah perang besar perbatasan di kawasan 16
negara itu.

Yang dengan Rusia sebenarnya
lebih parah. Perbatasan dua negara itu juga jauh lebih panjang.

Saya pernah ke museum di
perbatasan Tiongkok-Rusia itu. Di kota kecil Heihe. Dua kali saya ke sana. Yang
dari kota itu bisa memotret kota Rusia di dekatnya. Hanya dipisahkan sungai
selebar Bengawan Solo.

Kunjungan kedua saya bersama Robert
Lai yang Singaporean dan John Mohn yang American.

Di museum itu diceritakan soal
penyelesaian perbatasan Tiongkok-Rusia. Yang sangat dramatik. Termasuk ketika
Tiongkok harus kehilangan wilayah yang luas di dekat Heihe.

Maka saya tidak yakin akan ada
perang besar di perbatasan Tiongkok-India. Kecuali batu-batu di situ sudah
habis. Bayangkan betapa lamanya menghabiskan batu di kaki pegunungan Himalaya
itu.

Baca Juga :  PKL Dilarang Berjualan di Bahu Jalan

Yang mungkin meledak adalah
perbatasan di laut. Tidak dengan satu negara. Tapi dengan tiga negara: Vietnam,
Malaysia dan Filipina. Di Laut Tiongkok Selatan.

Baik di India maupun di laut itu
ada unsur Amerika Serikat yang kuat di dalamnya.

Saya pun menyadari sepenuhnya
keterbatasan DI’s Way. Yang hanya punya satu wartawan –itu pun tanpa dibayar
pula.

Tapi saya juga membaca keinginan
yang kuat dari publik: perlunya liputan DI’s Way yang lebih luas.

Sementara ini, itu tidak mungkin.

Maka sebaiknya pandanglah DI’s
Way hanya sebagai salah satu sudut pandang. Jangan juga mudah ikut sudut
pandang DI’s Way.

Yang terbaik adalah:
masing-masing orang punya pandangan sendiri-sendiri. Media sebaiknya hanya
menyajikan pilihan-pilihan dari begitu banyak sudut pandang.

Yang cebong tetaplah jadi anak
kodok. Sampai airnya kering. Yang kampret tetaplah jadi anak codot sampai tidak
ada lagi pohon.

Toh kita tidak punya batu
sebanyak di kaki Himalaya.(Dahlan Iskan)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru