26.7 C
Jakarta
Thursday, April 25, 2024

Kemanusiaan di Tengah Wabah

INI bukan fiksi ilmiah. Dunia sedang berada dalam status
kegentingan.

Beberapa negara telah
memberlakukan kedaruratan dengan mengunci negaranya dari segala aktivitas,
dengan harapan dapat menghentikan ganasnya persebaran Covid-19.

Di Indonesia tercatat 369 orang
yang dinyatakan positif Covid-19, dengan 32 pasien meninggal dunia. Di kampus
Universitas Indonesia, tempat saya bekerja, penghentian kegiatan pendidikan
telah berlangsung semenjak awal minggu ini.

Melalui surat edaran yang
diterbitkan rektor UI, disampaikan protokol kewaspadaan demi mencegah penularan
Covid-19. Saat ini kami menyelenggarakan sistem pembelajaran jarak jauh secara
daring.

Sebelum UI dikunci serta
dikosongkan, perjumpaan terakhir bersama mahasiswa kelas filsafat lingkungan
hidup membahas pemikiran seorang ilmuwan Inggris bernama James Lovelock.

Gagasan kontroversial Lovelock
dikenal dengan Hipotesis Gaia. Dalam penelitiannya, Lovelock berargumentasi
bahwa bumi adalah suatu kesatuan yang hidup serta memiliki kecenderungan untuk
selalu menjaga keseimbangannya.

Lovelock menggunakan metafora
Gaia untuk mempermudah penyampaian teorinya ke masyarakat luas. Gaia adalah
nama dewi bumi yang dirujuk dari mitologi Yunani.

Ekuilibrium Gaia meliputi
keseluruhan sistem fisiologis bumi, Lovelock menyebutkan bahwa kita harus
membayangkan magma di dasar bumi hingga tudung atmosfer sebagai bagian dari
tubuh bumi.

Hipotesis Lovelock juga
menjelaskan bahwa kesatuan entitas hidup ini melingkupi semua hal yang
menempati bumi. Dari paus hingga virus, dari pohon beringin hingga ganggang.
Segala organisme yang rumit maupun sederhana sesungguhnya adalah bagian dari
Gaia.

Baca Juga :  Masa Magang Berakhir, Kominfo Serahkan Siswa ke Sekolah

Gaia memiliki kesanggupan
swa-kendali tubuh yang tampaknya mengarah pada kehidupan yang selaras di bumi.
Saat buku tentang Hipotesis Gaia kali pertama diterbitkan pada 1979, banyak
yang mengkritik bahkan menuding teori Gaia sebagai sains yang palsu.

Buku itu menimbulkan pro-kontra
di kalangan ilmuwan. Namun, pada sisi lainnya, menjadi perspektif baru yang
disambut oleh mereka yang berusaha memahami bumi tidak sekadar sebagai benda
mati.

Lovelock menyadari bahwa hasil
penelitiannya sulit sekali diterima komunitas ilmiah. Sebab, dia mengusulkan
bahwa bumi yang kita hidupi memiliki kemampuan sibernetik untuk merawat
keseimbangan. Kemampuan sibernetik ini mengoptimalkan kehidupan untuk terus
berlanjut.

Daya sibernetik itu, menurut
Lovelock, dapat dicermati melalui bagaimana stabilnya suhu di bumi, menyebabkan
planet ini layak dan nyaman dihuni seluruh makhluk hidup. Ia analogikan proses
itu seperti homeostasis, yakni respons tubuh untuk menyesuaikan dan beradaptasi
dengan kondisi iklim tertentu.

Lalu, bagaimana dengan peran
manusia? Lovelock mempersoalkan bahwa kegiatan-kegiatan manusia yang
menghasilkan emisi karbon yang berlebih membahayakan keseluruhan sistem
keseimbangan.

Semenjak Tiongkok berada dalam
posisi terkunci, emisi karbon menurun hingga 100 juta ton dalam dua pekan.
South China Morning Post mewartakan langit biru cerah di Tiongkok disebabkan
emisi karbon yang menurun. Bahkan, dalam foto satelit yang dikirimkan NASA
menunjukkan perubahan signifikan pada atmosfer di atas Tiongkok.

Baca Juga :  Pesan Kapolda Kepada Semua Personel : Tetap Netral, Jangan Memihak Pas

Lovelock menjelaskan bahwa
sebagai spesies homo sapiens, yang usianya baru sekejap di alam raya ini,
manusia harus bertahan hidup. Dan, alam proses itu harus bekerja sama menjaga
ekuilibrium yang indah dan purba ini.

Wabah Covid-19 adalah ujian bagi
kemanusiaan kita, namun pada sisi lainnya, ini pun adalah kesempatan untuk
merenungkan perubahan-perubahan yang dapat dibuat manusia untuk keberlanjutan
kehidupan ini.

Wabah Covid-19 merenggut ribuan
nyawa di Italia. Federico Campagna, filsuf kelahiran Italia, bercerita mengenai
periode Barok (abad ke-16–17) di Eropa. Kesenian Barok adalah karya-karya yang
muncul di tengah impitan wabah, peperangan, dan kelaparan yang melanda Eropa.

Campagna mengambil contoh karya
Nicola Porpora yang berjudul De Profundis: ”dari kedalaman hati, aku
memanggilMu Tuhan, pada momen penuh teror ini.”

Baik Italia, Indonesia, Tiongkok,
maupun negara-negara lainnya, kita semua bersama-sama dalam krisis ini. Negara
wajib menjamin keselamatan masyarakatnya, khususnya mereka yang kurang mampu,
sebagai kelompok masyarakat yang paling rentan.

Kemanusiaan harus diperjuangkan,
saat melihat keberanian para tenaga medis yang berada di garda depan serta
kedermawanan yang dilakukan relawan-relawan dan komunitas-komunitas di seluruh
dunia. Itu semua membangkitkan harapan terhadap kemanusiaan.

Detik-detik inilah penentu bagi
kemanusiaan kita. Betapa mungilnya ideologi kita, politik, juga makna kekuasaan
manusia di hadapan wabah ini. (*)

(Penulis adalah Dosen Filsafat
Universitas Indonesia)

INI bukan fiksi ilmiah. Dunia sedang berada dalam status
kegentingan.

Beberapa negara telah
memberlakukan kedaruratan dengan mengunci negaranya dari segala aktivitas,
dengan harapan dapat menghentikan ganasnya persebaran Covid-19.

Di Indonesia tercatat 369 orang
yang dinyatakan positif Covid-19, dengan 32 pasien meninggal dunia. Di kampus
Universitas Indonesia, tempat saya bekerja, penghentian kegiatan pendidikan
telah berlangsung semenjak awal minggu ini.

Melalui surat edaran yang
diterbitkan rektor UI, disampaikan protokol kewaspadaan demi mencegah penularan
Covid-19. Saat ini kami menyelenggarakan sistem pembelajaran jarak jauh secara
daring.

Sebelum UI dikunci serta
dikosongkan, perjumpaan terakhir bersama mahasiswa kelas filsafat lingkungan
hidup membahas pemikiran seorang ilmuwan Inggris bernama James Lovelock.

Gagasan kontroversial Lovelock
dikenal dengan Hipotesis Gaia. Dalam penelitiannya, Lovelock berargumentasi
bahwa bumi adalah suatu kesatuan yang hidup serta memiliki kecenderungan untuk
selalu menjaga keseimbangannya.

Lovelock menggunakan metafora
Gaia untuk mempermudah penyampaian teorinya ke masyarakat luas. Gaia adalah
nama dewi bumi yang dirujuk dari mitologi Yunani.

Ekuilibrium Gaia meliputi
keseluruhan sistem fisiologis bumi, Lovelock menyebutkan bahwa kita harus
membayangkan magma di dasar bumi hingga tudung atmosfer sebagai bagian dari
tubuh bumi.

Hipotesis Lovelock juga
menjelaskan bahwa kesatuan entitas hidup ini melingkupi semua hal yang
menempati bumi. Dari paus hingga virus, dari pohon beringin hingga ganggang.
Segala organisme yang rumit maupun sederhana sesungguhnya adalah bagian dari
Gaia.

Baca Juga :  Masa Magang Berakhir, Kominfo Serahkan Siswa ke Sekolah

Gaia memiliki kesanggupan
swa-kendali tubuh yang tampaknya mengarah pada kehidupan yang selaras di bumi.
Saat buku tentang Hipotesis Gaia kali pertama diterbitkan pada 1979, banyak
yang mengkritik bahkan menuding teori Gaia sebagai sains yang palsu.

Buku itu menimbulkan pro-kontra
di kalangan ilmuwan. Namun, pada sisi lainnya, menjadi perspektif baru yang
disambut oleh mereka yang berusaha memahami bumi tidak sekadar sebagai benda
mati.

Lovelock menyadari bahwa hasil
penelitiannya sulit sekali diterima komunitas ilmiah. Sebab, dia mengusulkan
bahwa bumi yang kita hidupi memiliki kemampuan sibernetik untuk merawat
keseimbangan. Kemampuan sibernetik ini mengoptimalkan kehidupan untuk terus
berlanjut.

Daya sibernetik itu, menurut
Lovelock, dapat dicermati melalui bagaimana stabilnya suhu di bumi, menyebabkan
planet ini layak dan nyaman dihuni seluruh makhluk hidup. Ia analogikan proses
itu seperti homeostasis, yakni respons tubuh untuk menyesuaikan dan beradaptasi
dengan kondisi iklim tertentu.

Lalu, bagaimana dengan peran
manusia? Lovelock mempersoalkan bahwa kegiatan-kegiatan manusia yang
menghasilkan emisi karbon yang berlebih membahayakan keseluruhan sistem
keseimbangan.

Semenjak Tiongkok berada dalam
posisi terkunci, emisi karbon menurun hingga 100 juta ton dalam dua pekan.
South China Morning Post mewartakan langit biru cerah di Tiongkok disebabkan
emisi karbon yang menurun. Bahkan, dalam foto satelit yang dikirimkan NASA
menunjukkan perubahan signifikan pada atmosfer di atas Tiongkok.

Baca Juga :  Pesan Kapolda Kepada Semua Personel : Tetap Netral, Jangan Memihak Pas

Lovelock menjelaskan bahwa
sebagai spesies homo sapiens, yang usianya baru sekejap di alam raya ini,
manusia harus bertahan hidup. Dan, alam proses itu harus bekerja sama menjaga
ekuilibrium yang indah dan purba ini.

Wabah Covid-19 adalah ujian bagi
kemanusiaan kita, namun pada sisi lainnya, ini pun adalah kesempatan untuk
merenungkan perubahan-perubahan yang dapat dibuat manusia untuk keberlanjutan
kehidupan ini.

Wabah Covid-19 merenggut ribuan
nyawa di Italia. Federico Campagna, filsuf kelahiran Italia, bercerita mengenai
periode Barok (abad ke-16–17) di Eropa. Kesenian Barok adalah karya-karya yang
muncul di tengah impitan wabah, peperangan, dan kelaparan yang melanda Eropa.

Campagna mengambil contoh karya
Nicola Porpora yang berjudul De Profundis: ”dari kedalaman hati, aku
memanggilMu Tuhan, pada momen penuh teror ini.”

Baik Italia, Indonesia, Tiongkok,
maupun negara-negara lainnya, kita semua bersama-sama dalam krisis ini. Negara
wajib menjamin keselamatan masyarakatnya, khususnya mereka yang kurang mampu,
sebagai kelompok masyarakat yang paling rentan.

Kemanusiaan harus diperjuangkan,
saat melihat keberanian para tenaga medis yang berada di garda depan serta
kedermawanan yang dilakukan relawan-relawan dan komunitas-komunitas di seluruh
dunia. Itu semua membangkitkan harapan terhadap kemanusiaan.

Detik-detik inilah penentu bagi
kemanusiaan kita. Betapa mungilnya ideologi kita, politik, juga makna kekuasaan
manusia di hadapan wabah ini. (*)

(Penulis adalah Dosen Filsafat
Universitas Indonesia)

Terpopuler

Artikel Terbaru