27.1 C
Jakarta
Wednesday, April 24, 2024

Jalan Berliku untuk Bisa Tes

SAAT ini saya sudah dirawat di Rumah Sakit (RS) Mitra Kemayoran,
Jakarta. Masih lemas. Trombosit turun. Menurut diagnosis dokter, saya negatif
Covid-19. Tapi, saya menderita demam berdarah.

Kondisi DKI Jakarta terkait wabah
Covid-19 memang membuat saya khawatir. Kamis (12/3) jadwal saya nge-gym di
sebuah tempat kebugaran, kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Memang saya
sudah merasa sesak napas. Batuk juga sejak 5 Maret.

Keesokan harinya, badan saya
demam. Saya pilek, masih batuk, dan napas pendek. Sabtu dini hari saya cek suhu
badan dengan termometer di rumah. Hasilnya, 38,8 derajat Celsius. Sampai subuh,
demam belum juga turun dan masih tinggi. Saya jelas takut. Akhirnya dibawa ke
IGD RS Puri Medika, Tanjung Priok. Dekat rumah.

Sampai di sana, dokter nggak
berani ngasih hasil pasti.

Dokter tanya, pernah kontak
dengan orang asing? Saya jawab tidak. Tapi, memang di tempat gym daerah Kelapa
Gading itu juga banyak bule. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pernah bilang,
di Kelapa Gading ada yang positif. Otomatis, saya jaga-jaga dong.

Saya minta tes demam berdarah
atau tes tifus (karena opname akibat penyakit itu). Tapi, si dokter tidak
berani bertindak apa pun. Hanya berani ngasih infus parasetamol. Nggak berani
masukin saya untuk rawat inap. Takut salah prosedur. Katanya, kalau dalam dua
hari belum membaik, langsung aja ke RS rujukan pemerintah. Oke, saya ikuti.

Minggu (15/3) demam saya masih
naik turun. Saya coba hubungi ke hotline Covid-19 Kemenkes. Katanya sudah bukan
di situ lagi layanan pengaduannya. Diarahin langsung ke hotline Dinas Kesehatan
DKI Jakarta 112. Saya langsung telepon. Saya jelasin semua gejalanya.

Admin hotline itu mengatakan,
Senin (16/3) datang saja ke RS rujukan pemerintah. Ke RSPI Prof Dr Sulianti
Saroso bisa dan biayanya gratis. Mereka beralasan, saya seorang jurnalis dan
pernah kontak dengan banyak orang. Baik, saya turuti.

Baca Juga :  Gubernur Ajak Dewan Bersama Bangun Kalteng

Tidak lama berselang, saya
berinisiatif mengontak salah seorang jurnalis Antara, rekan saya. Dia pernah
mengantar suaminya untuk tes Covid-19 karena pernah mewawancarai Menteri
Perhubungan Budi Karya Sumadi seusai rapat terbatas di Istana Negara.

Saya tanya, gratis atau bayar?
Kagak ada gratis-gratisan, katanya. Bayar kurang lebih Rp 300 ribu. Dia juga
bilang, kalau mau cek, mending pagi. Sebab, banyak juga wartawan yang ngepos di
istana yang mau tes Covid-19.

Senin pagi saya screening ke RSPI
Prof Dr Sulianti Saroso. Gejala-gejala yang saya alami pas semua dan confirmed
mirip Covid-19.

Bahkan, demam saya masih 38
derajat Celsius. Tapi, berhubung tidak punya riwayat kontak langsung dengan
warga negara asing, tidak bepergian ke luar negeri, dan tidak kontak langsung
dengan pasien positif virus korona, saya tidak bisa ikut tes Covid-19.

Lah, terus saya tanya, bagaimana
bisa tahu orang itu terinfeksi Covid-19, Dok? Sementara identitas pasien juga
selama ini ditutupin. Tapi, dokter tersebut nggak ngasih ke IGD (instalasi
gawat darurat). Dokternya bilang, sekarang IGD khusus buat orang yang benar-benar
sudah postif Covid-19.

Per hari itu RSPI juga tidak
menerima pasien selain Covid-19. Tapi, di sisi lain, saya kan nggak tahu sakit
apa. Terus, saya tanya lagi, bagaimana biar tahu?

Menurut dokter, kalaupun pernah
kontak langsung, untuk tes laboratorium di kelenjar hidung dan tenggorokan,
jika sudah dinyatakan positif dan telah dirawat di rumah sakit. Makin bingung
kan saya!

Dokter itu akhirnya menelepon
petugas kesehatan IGD. Saya disuruh ke sana dengan diantar satpam. Sesampai
saya di IGD, mereka malah tidak mau menerima. Alasannya, tidak pernah ada
kontak. Di situ saya disuruh kembali lagi ke tempat pemeriksaan awal.

Kata dokter, periksa awal sudah
dibolehin. Saya balik ke IGD lagi. Masih tidak diperbolehkan. Kata dokter
petugas IGD: coba ke poli paru-paru. Langsung masuk saja tanpa daftar. Tapi,
sampai sana, disuruh daftar dulu guys. Ampun dijeehh!

Baca Juga :  Jenis Permainan yang Cocok dan Aman untuk Anak

Di sana, saya dirontgen dan dicek
darah. Dan dokter poli itu jam kerjanya cuma sampai pukul 12.00. Kalau hasil
tes keluar lebih dari jam itu, ya harus datang lagi besoknya. Plus, bayar lagi.
Ya, bayar dan saya habis Rp 1 juta untuk itu. Mau gejala kalian 95 persen atau
90 persen dan belum ada kontak, bakal dipatahin. RS cuma mau ngetes orang yang
sudah dirawat di RS itu.

Oh iya, selama pindah-pindah itu,
RS tidak memberikan surat rekomendasi atau rujukan apa pun. Itu yang saya
khawatirkan. Oke, saat itu saya sudah dinyatakan demam berdarah (DB) dari hasil
tes poli paru di RSPI. Kemudian, dokter menyuruh ke RS swasta mana saja untuk
rawat inap.

Tapi, saat saya minta surat
rujukan, RSPI tidak mau memberikan. Pihak RS bilang, cukup bilang positif DB
dengan membawa hasil tes laboratoriun dan rontgen, semua RS swasta akan
langsung mengerti. Di sisi lain, jika mereka memberikan rujukan, berarti RSPI
yang harus mencarikan RS tujuan.

Capek debat panjang lebar,
akhirnya saya ke RS Mitra Kemayoran. Setelah mendaftar dan menunjukkan hasil
tes laboratorium dan rontgen, yang saya khawatirkan kejadian. Mereka belum bisa
memasukkan saya ke ruang rawat inap. Soalnya, mereka takut hasil tes di RSPI
salah. Lah, terus saya harus percaya siapa?

Hingga akhirnya pukul 21.15 saya
diizinkan untuk rawat inap dan dipasangi infus. Menurut saya, susah banget buat
cuma tes Covid-19. Untungnya, saya negatif. Bagaimana dengan yang memang
positif?

(Brigitha Sesilya adalah wartawan
Harian Nasional. Disarikan dari wawancara dengan wartawan Jawa Pos Agas Putra
Hartanto)

SAAT ini saya sudah dirawat di Rumah Sakit (RS) Mitra Kemayoran,
Jakarta. Masih lemas. Trombosit turun. Menurut diagnosis dokter, saya negatif
Covid-19. Tapi, saya menderita demam berdarah.

Kondisi DKI Jakarta terkait wabah
Covid-19 memang membuat saya khawatir. Kamis (12/3) jadwal saya nge-gym di
sebuah tempat kebugaran, kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Memang saya
sudah merasa sesak napas. Batuk juga sejak 5 Maret.

Keesokan harinya, badan saya
demam. Saya pilek, masih batuk, dan napas pendek. Sabtu dini hari saya cek suhu
badan dengan termometer di rumah. Hasilnya, 38,8 derajat Celsius. Sampai subuh,
demam belum juga turun dan masih tinggi. Saya jelas takut. Akhirnya dibawa ke
IGD RS Puri Medika, Tanjung Priok. Dekat rumah.

Sampai di sana, dokter nggak
berani ngasih hasil pasti.

Dokter tanya, pernah kontak
dengan orang asing? Saya jawab tidak. Tapi, memang di tempat gym daerah Kelapa
Gading itu juga banyak bule. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pernah bilang,
di Kelapa Gading ada yang positif. Otomatis, saya jaga-jaga dong.

Saya minta tes demam berdarah
atau tes tifus (karena opname akibat penyakit itu). Tapi, si dokter tidak
berani bertindak apa pun. Hanya berani ngasih infus parasetamol. Nggak berani
masukin saya untuk rawat inap. Takut salah prosedur. Katanya, kalau dalam dua
hari belum membaik, langsung aja ke RS rujukan pemerintah. Oke, saya ikuti.

Minggu (15/3) demam saya masih
naik turun. Saya coba hubungi ke hotline Covid-19 Kemenkes. Katanya sudah bukan
di situ lagi layanan pengaduannya. Diarahin langsung ke hotline Dinas Kesehatan
DKI Jakarta 112. Saya langsung telepon. Saya jelasin semua gejalanya.

Admin hotline itu mengatakan,
Senin (16/3) datang saja ke RS rujukan pemerintah. Ke RSPI Prof Dr Sulianti
Saroso bisa dan biayanya gratis. Mereka beralasan, saya seorang jurnalis dan
pernah kontak dengan banyak orang. Baik, saya turuti.

Baca Juga :  Gubernur Ajak Dewan Bersama Bangun Kalteng

Tidak lama berselang, saya
berinisiatif mengontak salah seorang jurnalis Antara, rekan saya. Dia pernah
mengantar suaminya untuk tes Covid-19 karena pernah mewawancarai Menteri
Perhubungan Budi Karya Sumadi seusai rapat terbatas di Istana Negara.

Saya tanya, gratis atau bayar?
Kagak ada gratis-gratisan, katanya. Bayar kurang lebih Rp 300 ribu. Dia juga
bilang, kalau mau cek, mending pagi. Sebab, banyak juga wartawan yang ngepos di
istana yang mau tes Covid-19.

Senin pagi saya screening ke RSPI
Prof Dr Sulianti Saroso. Gejala-gejala yang saya alami pas semua dan confirmed
mirip Covid-19.

Bahkan, demam saya masih 38
derajat Celsius. Tapi, berhubung tidak punya riwayat kontak langsung dengan
warga negara asing, tidak bepergian ke luar negeri, dan tidak kontak langsung
dengan pasien positif virus korona, saya tidak bisa ikut tes Covid-19.

Lah, terus saya tanya, bagaimana
bisa tahu orang itu terinfeksi Covid-19, Dok? Sementara identitas pasien juga
selama ini ditutupin. Tapi, dokter tersebut nggak ngasih ke IGD (instalasi
gawat darurat). Dokternya bilang, sekarang IGD khusus buat orang yang benar-benar
sudah postif Covid-19.

Per hari itu RSPI juga tidak
menerima pasien selain Covid-19. Tapi, di sisi lain, saya kan nggak tahu sakit
apa. Terus, saya tanya lagi, bagaimana biar tahu?

Menurut dokter, kalaupun pernah
kontak langsung, untuk tes laboratorium di kelenjar hidung dan tenggorokan,
jika sudah dinyatakan positif dan telah dirawat di rumah sakit. Makin bingung
kan saya!

Dokter itu akhirnya menelepon
petugas kesehatan IGD. Saya disuruh ke sana dengan diantar satpam. Sesampai
saya di IGD, mereka malah tidak mau menerima. Alasannya, tidak pernah ada
kontak. Di situ saya disuruh kembali lagi ke tempat pemeriksaan awal.

Kata dokter, periksa awal sudah
dibolehin. Saya balik ke IGD lagi. Masih tidak diperbolehkan. Kata dokter
petugas IGD: coba ke poli paru-paru. Langsung masuk saja tanpa daftar. Tapi,
sampai sana, disuruh daftar dulu guys. Ampun dijeehh!

Baca Juga :  Jenis Permainan yang Cocok dan Aman untuk Anak

Di sana, saya dirontgen dan dicek
darah. Dan dokter poli itu jam kerjanya cuma sampai pukul 12.00. Kalau hasil
tes keluar lebih dari jam itu, ya harus datang lagi besoknya. Plus, bayar lagi.
Ya, bayar dan saya habis Rp 1 juta untuk itu. Mau gejala kalian 95 persen atau
90 persen dan belum ada kontak, bakal dipatahin. RS cuma mau ngetes orang yang
sudah dirawat di RS itu.

Oh iya, selama pindah-pindah itu,
RS tidak memberikan surat rekomendasi atau rujukan apa pun. Itu yang saya
khawatirkan. Oke, saat itu saya sudah dinyatakan demam berdarah (DB) dari hasil
tes poli paru di RSPI. Kemudian, dokter menyuruh ke RS swasta mana saja untuk
rawat inap.

Tapi, saat saya minta surat
rujukan, RSPI tidak mau memberikan. Pihak RS bilang, cukup bilang positif DB
dengan membawa hasil tes laboratoriun dan rontgen, semua RS swasta akan
langsung mengerti. Di sisi lain, jika mereka memberikan rujukan, berarti RSPI
yang harus mencarikan RS tujuan.

Capek debat panjang lebar,
akhirnya saya ke RS Mitra Kemayoran. Setelah mendaftar dan menunjukkan hasil
tes laboratorium dan rontgen, yang saya khawatirkan kejadian. Mereka belum bisa
memasukkan saya ke ruang rawat inap. Soalnya, mereka takut hasil tes di RSPI
salah. Lah, terus saya harus percaya siapa?

Hingga akhirnya pukul 21.15 saya
diizinkan untuk rawat inap dan dipasangi infus. Menurut saya, susah banget buat
cuma tes Covid-19. Untungnya, saya negatif. Bagaimana dengan yang memang
positif?

(Brigitha Sesilya adalah wartawan
Harian Nasional. Disarikan dari wawancara dengan wartawan Jawa Pos Agas Putra
Hartanto)

Terpopuler

Artikel Terbaru