PUASA bukan hanya
mengendalikan makan dan minum tetapi juga menahan diri dari hawa nafsu. Salah
satunya mengendalikan lisan dan perbuatan. Di era media sosial, lisan kita
ternyata diwakili oleh jemari lewat kalimat saat mengetik gadget.
Imam Besar Masjid Cut Meutia Jakarta Pusat
Ustadz Mahfud Mustofa, mengungkapkan, gibah lewat media sosial apalagi saat
berpuasa, dosanya berlipat ganda. Sebab, kata dia, ujung-ujungnya umumnya
saling membenci dan menyudutkan.
“Saya justru enggak bisa bikin medsos. Dan
paling enggak suka melihat broadcast message lewat chat yang isinya saling
membenci. Sesuatu yang menimbulkan kebencian orang lain kan dosa, enggak
boleh,†katanya kepada JawaPos.com baru-baru ini.
“Jadi kurang pas bagi orang berpuasa
mengumbar main medsos. Apalagi sifatnya menghujat ya. Kecuali untuk kritik
membangun untuk akhlak lebih baik,†jelasnya.
Menurutnya, sekalipun orang itu berbuat salah
ataupun benar, bukan ranah seseorang untuk menilai. Tak boleh juga menjelekkan
atau membela orang lain.“Chat jelek juga termasuk gibah, puasanya berkurang
pahalanya,†katanya.
Sebab menurutnya, chat meski dilakukan lewat
jari, hal itu sudah mewakili lisan kita. Semuanya terlontar dari isi hati.“Walau
lewat jari, apa yang ditulis itu mewakili apa hati nurani kita,†katanya.
Lalu bagaimana cara mengendalikan diri dari
gibah lewat chat atau media sosial? Ustadz Mahfud menjelaskan caranya kembali
lagi pada niat berpuasa itu tadi. Puasa asal kata saum artinya menjaga. Dan
saat berpuasa juga ada kata Imsak artinya menahan dan membatasi.
“Biasakan diri kita tahan aja. Makanya ada
kalimat imsak, rem supaya jangan kebablasan. Kebiasaan WA bikin kata-kata yang
jelek, makanya kita harus puasa berlatih menahan kejelekan,†ungkapnya.
“Saya paling gak senang deh lihat
komentar-komentar di HP. Merasa benar diri sendiri. Dan itu semakin tak baik di
bulan Ramadan,†tutupnya.