MENDIKBUD Nadiem Makarim telah mengumumkan bahwa tidak ada
perubahan kalender akademik dan pembukaan tahun ajaran baru akan tetap sesuai
jadwal, yakni dimulai pada 13 Juli 2020. Tetapi, kapan sekolah benar-benar
dibuka dan kegiatan pembelajaran kembali dilakukan secara tatap muka di kelas
hingga kini masih belum diputuskan.
Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pagi-pagi telah
melontarkan ketidaksetujuannya jika sekolah buru-buru dibuka kembali dalam
waktu dekat. KPAI berharap dunia pendidikan menjadi tempat paling akhir dibuka
kembali saat pandemi Covid-19. Mengapa?
Selain di berbagai daerah masih
terjadi penambahan kasus dan korban Covid-19 dengan angka yang tak kunjung
turun, alasan KPAI tidak setuju sekolah dibuka adalah demi keselamatan siswa
itu sendiri yang notabene merupakan kelompok paling rentan tertular Covid-19.
Menurut perkiraan IDAI, dari sekitar 60 juta anak di usia sekolah, jika mereka
semua kembali ke sekolah, akan ada kemungkinan sekitar 1 juta anak terpapar
virus Covid-19.
Kesulitan
Selama pandemi Covid-19 masih
mengancam keselamatan jiwa masyarakat, juga sekolah terpaksa menerapkan model
pembelajaran daring yang mengharuskan siswa belajar di rumah, harus diakui
kualitas pembelajaran telah merosot tajam. Namun, keputusan kapan membuka
kembali sekolah dan membiarkan siswa belajar di ruang kelas bersama dengan
teman-temannya tentu tidak boleh dilakukan dengan gegabah. Beberapa kesulitan
dan risiko yang dihadapi jika sekolah kembali dibuka adalah sebagai berikut.
Pertama, karena sulit mengajak
dan memastikan siswa selalu mau memenuhi protokol kesehatan. Dalam usia belia,
apalagi anak-anak di jenjang SD dan SMP, tentu bukan hal yang mudah meminta
anak rajin mencuci tangan, memakai masker, hingga bersedia menjaga jarak dengan
teman-temannya di sekolah.
Di sekolah, tidak mungkin guru
setiap saat mampu memantau siswa untuk tidak berkerumun atau disiplin
mengenakan masker. Apalagi setelah dua bulan lebih tidak berjumpa dengan teman
sekelasnya. Bisa dipastikan, acara melepas kangen dan kerinduan bermain dengan
teman-temannya akan membuat siswa berpotensi membentuk kerumunan dan tidak
mungkin bisa menjaga jarak minimal 1 meter dengan temannya.
Kedua, berkaitan dengan subkultur
dan karakteristik psikologis siswa yang cenderung resistan. Sudah menjadi pola
umum bahwa siswa yang berusia belasan tahun akan cenderung enggan menuruti
aturan dan bahkan berpotensi melawan aturan yang telah ditetapkan.
Ketentuan yang mengharuskan
mereka duduk berjarak di ruang kelas barangkali masih mungkin dipenuhi karena
ada pengawasan langsung yang dilakukan guru di kelas. Tetapi, lain soal ketika
siswa sudah keluar kelas di jam istirahat sekolah. Bisa dibayangkan, siapa bisa
menjamin siswa-siswa itu tidak berkerumun dan bersenda gurau dengan teman-teman
dekatnya di sekolah?
Ketiga, berkaitan dengan kondisi
kelas dan sekolah yang sering kali kurang memadai dan tidak memiliki fasilitas
yang mendukung pelaksanaan protokol kesehatan dan model pembelajaran di era the
new normal. Di sekolah swasta yang bonafide, mungkin saja model pembelajaran
daring akan dapat dilaksanakan dan upaya memenuhi protokol kesehatan masih
mungkin dipenuhi. Tetapi, bagaimana dengan sekolah-sekolah yang berada di
pinggiran kota atau di wilayah pedesaan yang minim fasilitas?
Di sekolah di mana keberadaan
zona-zona yang nyaman bagi siswa sangat terbatas, tentu sulit dihindari
kemungkinan siswa untuk bergerombol di zona tertentu yang bisa dijadikan titik
kumpul bersama siswa yang lain. Di sekolah yang didirikan di lahan yang sempit,
misalnya, jelas potensi siswa untuk berdekatan dengan siswa lain akan sangat
besar dan bukan tidak mungkin ujung-ujungnya akan membuat mereka rentan
terpapar Covid-19.
Dilematis
Menyikapi rasa bosan dan
tingginya keinginan siswa untuk segera kembali ke sekolah harus diakui bukanlah
hal yang mudah. Semua pihak sebetulnya telah mengakui bahwa pandemi Covid-19
yang telah memaksa gerbang sekolah ditutup dan siswa belajar sendiri di rumah,
langsung maupun tidak langsung, sudah menyebabkan kualitas pembelajaran
mengalami degradasi.
Kualitas pendidikan terasa
menurun selama pandemi Covid-19. Akibat siswa tidak atau belum terbiasa belajar
secara daring, juga karena faktor-faktor sosial yang sifatnya struktural, model
pembelajaran online ternyata tidak bisa diikuti dengan baik dan merata di
kalangan semua siswa.
Bagi siswa yang berasal dari
golongan masyarakat yang secara ekonomi mapan, memiliki gadget yang memadai,
dan mampu berlangganan internet, mereka tentu tidak banyak mengalami kesulitan
ketika harus belajar secara daring. Tetapi, bayangkan bagaimana nasib siswa
yang berasal dari keluarga miskin –yang sehari-hari tidak ada orang tua yang
mendampingi karena harus tetap bekerja mencari nafkah bagi keluarga.
Saat ini pemerintah tak pelak
telah dihadapkan pada situasi yang serbadilematis. Di satu sisi, pemerintah
menyadari bahwa libur panjang dan keputusan pemerintah yang meminta siswa tetap
tinggal di rumah saat ini telah mencapai titik jenuh karena banyak siswa yang
mengaku bosan di rumah. Tetapi, di sisi yang lain, jika pemerintah memutuskan
siswa kembali ke sekolah, hal itu tentu akan berisiko menjadikan sekolah
sebagai episentrum baru penularan Covid-19.
Diakui atau tidak, kesiapan
infrastruktur di sekolah untuk belajar di era normal baru belum semuanya merata
dan mampu memenuhinya sesuai ketentuan protokol kesehatan yang berlaku. Jangan
sampai terjadi, keputusan pemerintah untuk membuka sekolah dilakukan secara
terburu-buru. Sementara di saat yang sama belum ada jaminan bahwa siswa akan
bisa belajar dengan aman di sekolah.
Tidak diingkari, sebagian besar
siswa sudah rindu untuk belajar kembali di sekolah: bertemu dengan teman dan
guru-gurunya. Tidak sedikit juga orang tua siswa yang menginginkan anak-anak
mereka segera kembali ke sekolah. Masalahnya sekarang adalah seberapa jauh
pemerintah telah menyiapkan exit strategy yang benar-benar efektif untuk
mencegah agar siswa tidak menjadi korban Covid-19 yang berbahaya itu. (*)
(Penulis adalah Guru Besar dan
Dosen Sosiologi Anak di FISIP Universitas Airlangga)