Site icon Prokalteng

Corona Menguji Kepedulian Sosial Lembaga Agama

corona-menguji-kepedulian-sosial-lembaga-agama

CERITA pilu datang dari berbagai penjuru.
Ini bukan cerita peperangan, bukan pula kriminal kemanusiaan, bukan cerita
intoleransi, apalagi pelanggaran HAM. Ini cerita tentang bencana akibat ulah
corona, si virus mungil dari Wuhan yang sedang menggila.

Dari Wuhan-Cina, dalam hitungan hari ia
menyebar ke 213 negara termasuk Indonesia. Hadirnya sangat meresahkan seisi
jagat raya. Banyak cerita lain yang dianggap tak berguna dibandingkan virus corona.

Tidak kurang dari 1,1 miliar kali kata “Virus
Corona” dapat dijumpa dalam beranda google. Itu bukti bahwa media sosial
dan media massa lainnya pun mengarahkan perhatiannya pada kasus wabah corona.

Banyak upaya telah dicoba, ragam solusi telah diberi
untuk mencegah dan mengatasi penyebaran virus corona yang akrab disebut
covid-19. Social distancing, tetap di rumah, budayakan cuci tangan
menggunakan sabun dan air mengalir merupakan beberapa diantara banyak solusi
yang telah ditawar. Harapannya mampu memutus rantai penyebaran covid-19.

Namun fakta mencatat bahwa wabah tak kunjung
usai. Seolah-olah ia belum puas mengganas, memangsa umat manusia.

Data dari Gugus Tugas Covid-19, suatu tim
bentukan pemerintah yang konsen pada mitigasi covid-19 menunjukkan tren peningkatan
kasus corona khususnya di Indonesia. Sampai hari
Senin, 17
Mei 2020, kasus wabah Covid-19
di Dunia dan Indonesia khususnya dapat ditunjukkan dalam table berikut:

Wabah corona sebenarnya tidak terlalu
mematikan. Namun proses penularan yang cepat membuat perhatian dunia pada kasus
ini amat besar dibandingkan wabah MERS dan SARS. Dampak Covid-19 juga cukup
beragam.

Bukan hanya berdampak pada kesehatan, melainkan
juga pada perubahan sosial dan budaya, ekonomi dan psikologi. Antaranggota
masyarakat tidak lagi leluasa berinteraksi. Budaya bersalaman saja berubah dari
berjabat tangan ke bentuk lain seperti salam namaste, salam dari hati/salam
dada, senyum dan bentuk salam lainnya.

Masalah ekonomi dan psikologi turut mewarnai
ragam persoalan di negeri ini. Masyarakat kecil seperti buruh harian lepas,
pekerja becak, transportasi online dan konvensional serta para pedagang cukup
merasakan dampaknya. Pedagang tas di bilangan Pasar Sudimampir misalnya
, mengatakan terjadi penurunan
pendapatan yang drastis. Sebelumnya rata-rata bisa laku 10 buah tas, kini
paling banyak 2 buah. Begitu juga pekerja becak dan ojek di depan kampus STT
GKE yang sebelumnya bisa dapat rata-rata 900 ribu/bulan, kini paling tinggi
dapat 250 ribu/bulan.

Belum lagi masalah psikologis yang dialami sebagian
orang. Para medis yang
menangani covid tidak leluasa bertemu keluarganya. Banyak juga orang
penting yang meninggal dan dimakamkan dalam kesunyian tanpa upacara kehormatan
atau sepi pelayat atau dimakamkan segera setelah tiada. Bisa dibayangkan betapa
tertekannya batin anggota keluarga yang ditinggalkan.

Pertanyaannya ialah dimanakah hadirmu lembaga
agama dalam kondisi bumi yang merintih sedih? Di manakah hadirmu lembaga agama
Ketika rakyat memerlukan sesuap nasi? Di manakah hadirmu lembaga agama ketika para
medis perlu bantuan alat kesehatan terutama APD?

Akankah jejak kaki pelayanan mereka tersisa untuk
membantu para pemulung dan tukang becak, pekerja ojek konvensional dan rakyat
jelata? Ataukah mereka sibuk dalam ritual tanpa aksi sosial?

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini amat layak
dialamatkan kepada lembaga suci yang hari-harinya mengajarkan moral dan
kepedulian sosial, mengajarkan etika dan panduan hidup mulia. Secara
fungsional, agama termasuk di dalamnya lembaga keagamaan memang  diperlukan kepekaannya dalam mengatasi
masalah-masalah sosial akibat wabah covid-19. Kehadiran mereka harus menjadi
angin segar bagi masyarakat terdampak covid-19.

Bantuan sosial seperti sembako, alat-alat
Kesehatan, bakti sosial, konseling dan kepedulian sosial lainnya diperlukan.
Kondisi seperti ini mestinya menjadi kesempatan bagi lembaga agama untuk
berkontribusi bersama dengan berbagai pihak dalam mencegah dan mengatasi penyebaran
covid-19.

Anggap sajalah momen ini sebagai masa ujian
bagi lembaga agama. Apakah mereka mampu mendaratkan ajaran sucinya pada tataran
aksi dalam kehidupan nyata.

Termasuk juga mereka diuji, apakah mereka bisa
melakukan pelayanan lintas batas ataukah masih dalam kamar atau tembok
ekslusivismenya?

Idealnya wabah corona menuntut sinergi
antaragama untuk melakukan aksi sosial bersama tanpa memandang perbedaan iman.
Akankah hal itu terjadi? Sejarah dan jejak digital media massa akan mencatat
semuanya.

(Penulis adalah Dosen Tetap Pada STT GKE, Kepala Bagian Pembinaan Warga Gereja,
tinggal di Banjarmasin)

Exit mobile version