Awalnya saya berpikir Bentjok –Benny
Tjokrosaputro– pasti lolos lagi. Kali ini pun. Ternyata Kejaksaan Agung kali
ini hebat. Bentjok sudah ditetapkan sebagai tersangka. Bersama empat tersangka
lainnya. Dalam kasus Jiwasraya yang seru itu.
Semula saya pikir Bentjok masih pintar: bisa
lepas dari jeratan hukum. Dengan menggunakan hukum-hukum dagang yang tersedia.
Yang, menurut hukum itu, bisa saja ia merasa benar. Bisa saja Bentjok merasa
sudah sesuai dengan peraturan yang ada.
Dalam hal itu Bentjok memang orang yang
terkenal pintar. Ia tidak merasa menipu – -meski ada yang tiba-tiba tertipu.
Bentjok pasti merasa benar. Yang salah, menurut jalan pikiran itu, adalah orang
yang merasa tertipu itu.
Atau orang yang membodohkan diri sehingga mau
tertipu. Atau orang itu disuruh bodoh sampai tidak merasa kalau akan tertipu.
Bentjok adalah tipe orang yang berpikir
panjang. Segala langkahnya sudah dihitung. Pun untuk masa yang jauh. Termasuk
sudah memperhitungkan akibat hukumnya.
Bahwa sekarang ia jadi tersangka mungkin
salahnya pepatah –sepandai-pandai tupai melompat akhirnya ada tangga yang
jatuh.
Bahwa ia pernah memakai uang Jiwasraya ratusan
miliar ia akui. Tapi, katanya, sudah lunas. Dan proses pemakaian uang itu pasti
sudah ia persiapkan. Ia pasti sudah melengkapinya dengan dokumen yang rapi.
Bentuknya pun pasti sudah diatur yang tidak
melanggar hukum –menurut ia.
Misalnya waktu mengeluarkan MTN –surat utang
jangka menengah. Mediun term note.
Itulah cara Bentjok pinjam uang secara legal.
Kesalahan Jiwasraya: kok mau meminjami.
Tapi direksinya juga merasa tidak salah. Mereka
mengejar bunga besar. Untuk menutup defisit yang terjadi sejak turun menurun.
Secara hukum semua perusahaan boleh menerbitkan
MTN. Sesuai dengan peraturan internal perusahaan itu.
Secara hukum pula semua perusahaan boleh
membeli MTN. Sesuai dengan aturan internal mereka.
MTN itu sederhana. Untuk bisa menerbitkan MTN
modalnya satu: selembar kertas. Yang diberi tanda tangan dan stempel.
Siapa saja –termasuk Anda– bisa menerbitkan
MTN. Untuk mendapatkan uang berapa saja. Pun sampai ratusan miliar.
Alatnya benar-benar hanya selembar kertas
biasa. Betul-betul selembar kertas saja. Yang ada kop surat perusahaan Anda.
Di kertas itu Anda cukup menulis: dengan ini
kami berhutang, misalnya, Rp 500 miliar. Utang akan dibayar pada tanggal….
(bisa kapan saja atau tiga tahun kemudian atau sesuai dengan kesepakatan).
Dengan bunga…persen setahun. Misalnya 10 persen atau 12 persen. Kian tinggi
bunga yang Anda janjikan kian banyak peminatnya.
Lalu Anda tanda tangani di bagian bawah.
Disertai nama terang. Juga jabatan Anda di perusahaan itu –sebagai direktur
utama.
Selembar surat itu Anda serahkan ke perusahaan
sekuritas. Atau juga disebut pialang. Broker.
Pialanglah yang memasarkan surat itu. Pialang
yang mencari pembeli. Pialang juga yang ikut menjamin utang itu akan kembali.
Anda hanya harus membayar komisi kepada
pialang. Bisa setengah persen. Bisa satu persen. Tergantung tingkat kepepet
Anda untuk segera mendapatkan uang itu.
Bisa juga Anda sendiri yang mencari pembeli.
Misalnya, kebetulan, Anda punya banyak kenalan.
Biar pun bisa mendapat pembeli sendiri tetap
saja Anda harus melewatkan utang itu ke pialang. Hanya bayar fee-nya bisa lebih kecil.
Dalam kasus seperti ini pialangnya tidak perlu
bekerja. Hanya diperlukan legalitasnya.
Untuk orang sekelas Bentjok ia harus punya
perusahaan pialang sendiri. Atau perusahaannya orang lain tapi sebenarnya ia
juga yang punya. Setidaknya pengendalinya –pakai remote control sekali
pun.
Ke mana perusahaan pialang memasarkannya?
Mereka biasanya tahu: siapa saja yang punya
uang nganggur. Atau siapa saja yang ingin memutar uang. Yang kalau ditaruh di
bank hanya mendapat bunga 5 atau 6 persen.
Kalau Anda menawarkan surat utang itu dengan
bunga 12 persen tentu banyak yang mau.
Di Mayapada ini banyak orang yang tertarik
bunga tinggi. Ada juga yang tergiur komisi di bawah tangan –untuk kantong
pribadi.
Kalau Anda direktur utama dari perusahaan milik
Anda sendiri, Anda pasti tidak mau komisi gelap seperti itu.
Anda akan memilih memperoleh bunga
setinggi-tingginya. Ditambah jaminan bahwa utang pasti kembali.
Kalau perlu minta jaminan tambahan yang cukup.
Tapi kalau Anda direktur utama dari sebuah perusahaan
yang bukan milik Anda, komisi gelap itu sangat menggiurkan. Apalagi kalau
pemilik perusahaan itu negara. Yang hanya mementingkan proses legalitas. Yang
penting administrasinya benar. Padahal administrasi itu bisa diberes-bereskan.
Tidak akan ketahuan –kalau nasibnya baik.
Apalagi kalau transaksinya di luar negeri.
Seperti di Petral. Atau di Garuda. Yang proses administrasinya ada di luar
negeri.
Bahwa kasus Garuda terkuak itu hanya karena
nasib tadi –di sononya terbongkar.
Maka Benny Tjokrosaputro pasti merasa akan
lolos lagi. Secara administrasi ia pasti bisa bebuat tidak salah. Semua
transaksinya sudah dibuat legal. Apalagi –seperti dikatakannya kepada media–
ia sudah melunasinya.
Satu-satunya faktor yang bisa membuat Benny
‘kena’ adalah: kalau ia menyuap direksi Jiwasraya. Agar Jiwasraya mau membeli
surat utangnya. Atau kalau ia menyuap siapa pun yang terkait transaksi ini.
Tapi orang seperti Benny pasti teliti. Tidak
akan mengirim suap –sebut saja komisi– seperti itu lewat rekening bank. Yang
bisa dilacak di kemudian hari.
Kalau pun dibayar kontan lewat orang pasti
sudah diputus mata rantainya.
Bagaimana kalau direksi Jiwasraya mengaku
disogok?
Emangnya mau mengaku?
Benny bukan orang bodoh.
Benny itu sudah belajar main saham sejak umur
19 tahun. Sejak masih SMA. Yakni menggunakan uang jajan dari ayahnya –si
pewaris Batik Keris Solo. Yang terkenal itu. Benny adalah cucu pendiri
perusahaan batik itu.
Tapi MTN bukan satu-satunya transaksi antara
Jiwasraya dan perusahaan Bentjok.
Masih ada lagi transaksi lewat pasar modal:
membeli saham Henson International milik Bentjok.
Jiwasraya belanja saham Henson Internasional
ketika harganya Rp 1.300/lembar. Sebanyak Rp 760 miliar.
Banyak yang menilai itu kemahalan. Tapi itulah
harga resmi di pasar modal. Setahun kemudian harga saham itu naik drastis.
Menjadi Rp 1.865/lembar.
Saat inilah mestinya Jiwasraya jual saham. Bisa
untung lebih Rp 100 miliar.
Tapi itu tidak dilakukan. Mungkin menunggu
harga naik lagi. Padahal setelah itu saham Henson terjun bebas. Ke dasar jurang
yang paling dalam: tinggal Rp 50/lembar.
Tidak ada lagi harga saham yang lebih rendah
dari itu. Itulah saham asfalasafilin.
Hitung sendiri berapa ratus miliar uang
Jiwasraya hilang.
Saya bukanlah pengamat pasar modal. Juga tidak
pernah beli saham di bursa –sejak tahun 1999. Sejak uang saya habis terbakar
di bursa saham –akibat krisis moneter terberat dalam sejarah Indonesia. Yang
sampai membuat Presiden Soeharto lengser.
Mungkin justru ada pembaca yang tahu, ada apa
dengan Henson saat itu. Kok sahamnya terjun bebas seperti itu.
Betul-betul terjun bebas. Hanya dalam hitungan
jam. Di sekitar hari pergantian presiden tahun 2014 itu.
Ternyata tidak hanya politik yang memanfaatkan
‘masa transisi’ melainkan juga para pemain saham.
Begitulah jadinya.
Sepanjang yang diberitakan media, hanya dua
jenis transaksi itu yang terkait dengan Benny –MTN dan beli saham.
Yang MTN, katanya, sudah dilunasi empat tahun
lalu. Yang untuk beli saham ya sudah terkubur secara sah di jurang penggorengan
itu.
Kalau benar MTN itu sudah dilunasi empat tahun
lalu, jangan-jangan justru di sini lucunya: uang untuk melunasi utang ke
Jiwasraya itu memakai uang Jiwasraya yang untuk membeli saham itu.
Kalau benar begitu, sungguh luar biasa
lihainya.
Apalagi kalau ia sendiri yang bisa membuat
harga saham naik dan harga saham turun.
Tapi belum tentu seperti itu. Kita tunggu hasil
pengusutannya.
Benny sendiri bukan sosok yang misterius. Bukan
orang yang sembunyi-sembunyi. Ia orang yang selalu yakin langkahnya tidak
melawan hukum.
Misalnya saat Benny mengumpulkan uang dari
publik. Yang juga mencapai ratusan miliar rupiah. Yang kemudian diperiksa OJK.
Dan dinyatakan melanggar.
Benny tenang saja. Memang ia lantas
menghentikan pengumpulan dana itu. Dan hanya membayar denda.
Tapi seandainya perkara ini sampai ke ranah
hukum pun ia sangat siap –dengan dokumen yang bisa dianggap tidak melanggar
hukum.
Bisa saja ada dokumen transaksi yang disiapkan
di balik proses pengumpulan dana itu. Misalnya bisa saja disiapkan
dokumen jual beli tanah. Bisa saja secara resmi mereka itu bukan ‘menempatkan
uang’. Tapi pembeli kapling tanah. Tanahnya ada –setidaknya di layar komputer.
Untuk itu pembeli bisa saja diberi bunga 12
persen setahun. Sebelum tanahnya diserahterimakan. Selama uang mereka disimpan
di situ.
Bisa jadi pemilik uang sendiri tidak berharap
memperoleh tanah itu sungguh-sungguh. Sepanjang bunga tingginya terus dibayar.
Saat harga tanah sudah menjadi mahal Benny bisa
membayar kembali uang mereka. Atau terus membayar bunga. Agar uangnya bisa
dipakai yang lain lagi.
Memang bisa saja kelihatannya orang menabung
uang ke Benny. Tapi disertai dokumen transaksi jual beli tanah –sebagai jaga-jaga
kalau dianggap melanggar.
Benny memang punya banyak tanah. Bisnisnya
memang di bidang bank tanah. Ia beli tanah. Ia jual tanah.
Orang Solo akan menyebut orang seperti Benny
sebagai pengusaha lemah –lemahe akeh tenan.
Kini Benny punya sekitar 6.500 ha tanah. Betapa
kayanya. Pun ia masih perlu banyak uang untuk terus membeli tanah. Kadang ia
‘sulit uang’ kalau jualan tanahnya lagi sepi.
Seperti empat tahun terakhir ini.
Benny sudah main tanah sejak muda. Sejak masih
di Solo.
Awalnya karena ia jengkel: setiap Batik Keris
mau memperluas pabrik harga tanah di sebelahnya sudah naik.
Maka Benny muda memutuskan agar Batik Keris
sekalian saja beli tanah yang luas. Kapan pun mau memperluas pabrik tidak
jengkel lagi.
Ternyata perkembangan Batik Keris tidak terus
memerlukan perluasan pabrik. Ternyata jualan rumah lebih cepat mendapat uang
–daripada jualan batik.
Maka tanahnya yang ‘itu’ dijadikan real estate. Di Solo Baru. Itulah real estate pertama yang modern di Solo. Di
selatan kota Solo. Sudah masuk wilayah kabupaten. Kabupaten apa ya? Sukoharjo?
Dari situ Benny lebih tertarik ke tanah
daripada batik.
Ups… Juga tetap tertarik main saham.
Meski begitu Benny tidak rela digelari tukang
goreng saham. Beberapa kali ia menepis gelar itu. Tapi itulah gelar yang sudah
amat terkenal di lingkungan bursa saham.
“Saya ini lebih tepat dikatakan suka
membawa perusahaan ke pasar modal,” katanya pada media.
Memang banyak sekali perusahaan Benny yang
sudah melantai di pasar modal.
Sudah banyak media yang memuat keterangannya
seperti itu. Bukan penggorengan saham seperti gelar itu. Tapi penjelasannya itu
tidak mampu mencabut gelarnya sebagai tukang goreng saham.
Saham dan tanah.
Langit dan bumi.
Benny menguasai langit dan menguasai bumi.
Saat di bumi ia terlihat lagi di langit.
Saat di langit ia terlihat dari bumi.
Maka Benny bukanlah sosok misterius. Itu
terlihat dari seringnya Benny melayani wartawan.
Mingguan bisnis Kontan pernah menerbitkan
wawancara amat panjang dengan Benny. Sangat menarik. Isinya masih saya ingat
sampai sekarang. Yang antara lain menjadi bahan tulisan ini.
Setidaknya dua kali Benny menjadi orang mulia.
Pertama ketika ia menolong adiknya dari kebangkrutan. Ia lunasi utang adiknya.
Kedua, ketika ia datang ke bank untuk melunasi
utang adiknya.
Sayangnya ia gagal melunasi utang itu. Bukan
karena tiba-tiba tidak mau. Tapi tidak bisa. Saat ia datang ke bank itu banknya
sudah tutup. Selamanya. Bank itu dilikuidasi oleh pemerintah di saat krismon
1998.
Lalu ia datang ke BPPN –yang mengambil alih
bank itu. Sebenarnya Benny tidak harus mengejar untuk melunasi hutang adiknya.
Toh dokumen-dokumennya hilang.
Tapi, menurut Benny, utang adalah utang. Ia
bayar utang adiknya itu dengan tanah.
Benny mengaku menyerahkan 6.000 ha tanah ke
BPPN.
Begitu mulianya.
Yakni tanah di Serpong –entah siapa yang
mengembangkan tanah itu sekarang.
Sebaliknya dalam kasus saham Bank Pikko. Yang
akhirnya ditutup itu. Nama Benny hitam di situ.
Ia terbukti melakukan goreng saham. Ialah yang
menaikkan dan menurunkan harga saham. Tapi ia bisa lolos. Hanya harus membayar
denda. Sebesar keuntungan yang ia dapat. Ia harus menyerahkan seluruh
keuntungan dari goreng sahamnya itu ke kas negara. Negara untung. Tapi para
pembeli saham tetap rugi. Uang mereka hangus di penggorengan.
Kini ujian datang lagi. Di Jiwasraya.
Kali ini ia jadi tersangka.
Kita akan melihat persilatan seperti apa lagi
yang akan dimainkan Benny.
Hanya saja Benny bukan tipe orang yang suka
lari. Ia orang Solo dalam pengertian yang sebenarnya. Tanah airnya adalah Solo.
Tidak akan lari ke mana-mana.
Siapa pun tetap bisa menunggunya di Solo
–meski bukan di stasiun Balapan Solo.
Benny hanyalah salah satu dari mereka yang
mendapat aliran dana Jiwasraya.
Bisa jadi yang lain-lain itu bisa lebih rumit
dari Benny.
Yang kalau diusut secara hukum kelihatannya
belum tentu uang bisa kembali.
Rasanya kalau perlu minta bantuan Pak Harto
–yang dengan tersenyum pun uang bisa kembali.
Yang penting uang kembali.(Dahlan Iskan)