Gerakan penumbangan patung di
Amerika Serikat sedang menuju puncaknya: bongkar gedung bersejarah itu!
Yang dimaksud adalah gedung indah
Thomas Jefferson Memorial. Yang di Washington DC itu. Yang megah itu. Yang
dibangun untuk mengenang jasa-jasa salah satu dari empat proklamator Amerika
Serikat, Thomas Jefferson.
â€Bongkar itu. Ganti dengan patung
Harriet Tubman,†begitu kurang lebih isi tulisan Lucian K. Truscott IV di
harian paling hebat di Amerika Serikat, The New York Times, pekan lalu.
Siapa Lucian si penulis? Begitu
beraninya?
Siapa Harriet Tubman? Sampai
dianggap lebih penting dari proklamator Amerika?
Lucian adalah seorang novelis.
Novel-novelnya pernah jadi best seller di New
York Times. Berminggu-minggu. Misalnya yang berjudul Dress
Gray. Yang disusul dengan berikutnya Full Dress Gray.
Lucian juga seorang pensiunan
militer. Lucian-lah yang pernah menggugat aturan â€militer wajib ke gereja
setiap hari Mingguâ€. Ia menang. Kewajiban itu pun dihapus. Menjadi suka rela.
Yang lebih penting: ia keturunan
Thomas Jefferson sang proklamator.
Hah?
Begitulah. Selalu ada sisi gelap
dari begitu banyak sisi baik. Jefferson ternyata punya istri simpanan: seorang
wanita kulit hitam. Sampai punya anak enam orang.
Nama istri tidak resminya itu:
Selly Hemings. Selly aslinya memang budak di keluarga Jefferson. Sang
proklamator memang punya banyak budak. Sampai ratusan. Yang dipekerjakan di
perkebunan dan pabriknya.
Saat memproklamasikan persamaan
hak-hak warga negara, Jefferson tetap mempekerjakan budak. Sampai ia meninggal
dunia. Masih diteruskan lagi oleh ahli warisnya. Sampai perbudakan dihapus
secara resmi lebih 100 tahun setelah kemerdekaan.
Masuk akalkah kalau gedung memori
Thomas Jefferson harus dihancurkan?
Itulah yang terus jadi perdebatan
di Amerika. Presiden Donald Trump jelas menentang. Perobohan patung-patung
belakangan ini ia anggap sebagai fasistis. Tapi penggulingan patung terus
terjadi. Pun setelah Trump mengancam hukuman yang lebih berat.
Akankah patung Harriet Tubman
akan berdiri di situ?
Tubman adalah seorang wanita
kulit hitam. Dalam sejarah Amerika dia dikenal sebagai seorang abolisialist.
Tubman seorang aktivis anti-perbudakan.
Sejak kecil Tubman sudah kenyang
dengan dipukuli majikan. Atau orang suruhan majikan. Dia memang terlahir dari
seorang ibu yang budak. Di Maryland, sepelemparan batu dari Washington DC.
Tubman baru meninggal tahun 2013 lalu di New York. Di usianyi yang 91 tahun.
Pemukulan-pemukulan masa kecil
itu sampai merusak saraf di otaknyi. Tubman-kecil pun menderita hypersomnia.
Dia selalu mengantuk yang berlebihan. Tapi pikirannyi hidup di dalam kantuknyi
itu.
Dia lantas tumbuh menjadi seorang
yang mirip indigo. Dia punya kemampuan melihat sesuatu dengan mimpinyi. Dan
dengan pikirannyi. Dia pun menjadi sangat taat beragama. Di gereja methodist.
Tubman juga tidak kenal takut.
Dia minggat. Ke Philadelphia. Dengan segala ancaman yang sangat menakutkan.
Setelah itu Tubman diam-diam
kembali ke Maryland. Untuk melarikan seluruh keluarganya. Juga siapa pun yang
ingin lari.
Tengah malam mereka meninggalkan
rumah. Lewat hutan yang tidak dikenal. Begitu dramatiknya pelarian ini sampai
Tubman mendapat julukan sebagai â€Musa†yang berhasil menghindari kekejaman
Fir’aun.
Dia menyelamatkan begitu banyak
orang dari perbudakan.
Nama Tubman belakangan ini lebih
banyak disebut daripada nama Jefferson. Atau sama.
Amerika benar-benar kian
terbelah. Saya seperti Audrey –yang tulisannyi dimuat secara serial di harian
Disway sejak Sabtu lalu– berharap Amerika bisa kembali menjadi Amerika.(Dahlan
Iskan)