25.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Uang Alot

Ini harus diperhitungkan.
Mukhamad Misbakhun sudah berhasil meyakinkan internal Golkar. Apalagi ia juga
telah berhasil meyakinkan fraksi-fraksi lain di DPR. 

DPR
sudah bulat di belakangnya.

”Pertempuran”
berikutnya memang belum ia menangkan. Masih berat. Sangat berat. Lebih berat.
Menghadapi teknokrat kawakan: Sri Mulyani. Yang adalah doktor lulusan Amerika
–dari universitas terkemuka.

Dia
juga pernah menjadi direktur eksekutif Bank Dunia. Lalu terpilih sebagai
menteri keuangan terbaik dunia. Pun dua presiden mempercayainyi sebagai menteri
keuangan. Dia lebih hebat dari menteri keuangan legendaris Ali Wardhana.

Di
barisan teknokrat itu masih ada Perry Warjiyo, gubernur bank sentral. Yang juga
doktor lulusan Amerika. Dengan pengalaman 30 tahun mengelola kebijakan keuangan
negara. 

Tapi
DPR sudah sangat bulat ke arah cetak uang.

Saya
tidak tahu siapa anggota DPR di fraksi lain yang bisa mengimbangi kepintaran
Misbakhun –dalam pembahasan di internal DPR itu. Kok begitu mulusnya.

Saya
tidak bisa membayangkan apakah terjadi dialog yang ilmiah di forum DPR saat
itu. Sebelum akhirnya mereka bulat mendukung ide cetak uang dari Golkar itu.

Maka
betapa serunya perdebatan berikutnya itu: antara kubu politik dan kubu
teknokrat. Antara cetak uang atau utang –kalau ada yang mau ngutangi dengan
bunga murah. 

Misbakhun
mengakui serunya perdebatan itu. ”Alotnya bukan main,” katanya. Sudah tidak
terhitung berapa banyak rapat-rapat itu –perdebatan itu. Siang dan
malam. 

Misbakhun
menggambarkan dengan cukup hidup serunya perdebatan-perdebatan itu –sampai
saya merasa tidak sampai hati untuk menggambarkannya dalam tulisan ini.

Alotnya
pembahasan itu, menurut Misbakhun, berkaitan dengan tidak adanya keberanian
pejabat bidang keuangan. Baik yang di kementerian maupun yang di Bank Indonesia.

”Saya
sebenarnya mengerti. Ada dua macam trauma sekarang ini,” kata Misbakhun.
”Trauma personal dan trauma institusional,” katanya.

Trauma
personal, kata Misbakhun, ada di Menteri Keuangan Sri Mulyani. Dalam kasus Bank
Century dulu. Sedang trauma institusionalnya ada di Bank Indonesia. Juga
gara-gara Bank Century. Yang Misbakhun adalah motor penggerak persoalan itu.

Di
Bank Indonesia pejabat-pejabat tingginya sampai masuk penjara. Bahkan ada yang
terkena stroke berkepanjangan –dan akhirnya meninggal dunia.

Baca Juga :  Ujian Nasional

Tapi
Misbakhun tetap heran atas ketakutan mereka itu. Juga kesel.

”Padahal
DPR sekarang ini sudah habis-habisan mendukung pemerintah. Tetap saja mereka
tidak berani ambil putusan,” ujar Misbakhun. 

Misbakhun
akan terus ngotot. Ia sama sekali tidak silau dengan latar belakang pendidikan
para teknokrat itu.

Misbakhun
tahu. Ia produk lokal. SMA-nya di SMAN 1 Pasuruan. Lalu masuk D3 di STAN
(Sekolah Tinggi Akuntansi Negara). Lantas bekerja di kantor pajak –sampai
pernah sangat dekat dengan Dirjen Pajak, waktu itu, Hadi Purnomo.

Misbakhun
berani berhenti dari pegawai negeri. Untuk jadi pengusaha: bisnis rumput laut
di Pasuruan. Lalu masuk politik –jadi anggota DPR dari Partai Keadilan
Sejahtera.

Saat
menjadi anggota DPR itulah Misbakhun top. Ia menjadi promotor pansus
penyelidikan kasus Bank Century.

Penyelidikan
itu berakhir tragis pada dirinya: ia masuk penjara. Dua tahun. 

Perusahaannya
dituduh menerima aliran kredit dari Bank Century –bukan soal pajak seperti
tertulis di DI’s Way kemarin. 

Di
penjara itulah ia justru bisa sangat sering khatam membaca Alquran. Tiap dua
hari tamat. Selama dua tahun itu.

Belakangan
ia mengajukan PK ke Mahkamah Agung. Dikabulkan. Ia bebas murni. Semua tuduhan
dianggap tidak terbukti. Tapi Misbakhun sudah telanjur babak belur. Di
Indonesia yang seperti itu harus diterima sebagai nasib. Termasuk nasibnya
juga: diberhentikan dari PKS. Ia tidak bisa, misalnya, menggugat Kejaksaan.

Sambil
sibuk seperti itu, Misbakhun kuliah ekonomi untuk S-1 bidang akuntansi. Di
Universitas Trisakti, Jakarta.

Misbakhun
juga kuliah S-2 bidang hukum. Di Universitas Gadjah Mada Jogjakarta –sambil
tidak pernah surut terus mendalami soal-soal ekonomi dan keuangan.

Dan
akhirnya berlabuh di Golkar. Terpilih lagi masuk ke DPR –di Pemilu 2014. Dari
dapil yang sama –Pasuruan-Probolinggo. 

Ia
pun masuk Komisi XI lagi di DPR –yang menjadi partner Kementerian
Keuangan. 

Maka
ia pun bertemu kembali dengan Sri Mulyani.

Terjadilah
CLBK –Ci Luk Ba Kebencian. 

Ups…
Tidak.

”Saya
sangat loyal kepada pemerintah. Termasuk tentu ke Menteri Keuangan,” ujarnya
selepas pelantikannya sebagai anggota DPR dulu. Itu karena Golkar adalah bagian
dari pemerintah.

”Bahkan
saya juga menyatakan sebagai orang yang sangat beruntung. Saya bisa bekerja
sama dengan menteri keuangan terbaik dunia. Berarti kami ini ikut jadi yang
terbaik di dunia,” katanya.

Baca Juga :  Lurah Selat Utara Bersama Tim Pantau PPKM Mikro

Tapi
keloyalan utamanya, tentu, tetap pada idenya sendiri: cetak uang. Sebagai
satu-satunya sumber dana besar. Untuk membangun kembali ekonomi. Yang
dihancurkan oleh Covid-19 –yang sebenarnya memang sudah goyah sejak
sebelumnya.

Misbakhun
menggambarkan dengan jelas di mana letak kegoyahan itu. Termasuk terjadinya
defisit di empat sektor utama sekaligus.

Misbakhun
sudah pada puncak pemikirannya: cetak uang sebagai sapu jagatnya. Ia mengaku
sudah mendalami pilihan-pilihan lain. Semuanya jelek dan lebih jelek. ”Saya
tahu cetak uang itu tidak bagus. Tapi pilihan lain lebih jelek lagi,”
katanya. 

Misalnya
soal inflasi itu. Ia tahu persis cetak uang itu akan mengakibatkan inflasi.
”Tapi janganlah menjadikan akibat buruk cetak uang di tahun 1956 sebagai
argumentasi,” katanya. ”Apalagi menyebut-nyebut pula Zimbabwe,” tambahnya.

Menurut
Misbakhun skala ekonomi kita saat ini sudah tidak bisa disamakan dengan tahun
1956. Apalagi dengan Zimbabwe. 

”Memang
akan terjadi inflasi,” katanya. ”Tapi kalau kenaikan inflasinya bisa dihitung
mitigasinya bisa disiapkan,” katanya.

”Negeri
ini tidak boleh hancur,” ujar Misbakhun. 

Tidak
mungkinkah dicarikan jalan kompromi? Agar Presiden tidak hanya harus memilih
dua pilihan itu? 

”Kompromi
itu tidak mungkin. Hanya akan menghasilkan kebijakan setengah-setengah,” kata
Misbakhun. ”Persoalan sekarang ini terlalu berat untuk diselesaikan dengan
setengah-setengah,” tambahnya.

Misbakhun
memang militan. Berani keluar sebagai pejabat Kantor Pajak adalah contohnya.
Berjuang mengungkap kasus Bank Century adalah contoh yang lain.

Ia
anak orang miskin. Dari desa. Kuliah di STAN pun karena beasiswa. Cari yang
gratis. Ia sebenarnya diterima di universitas terbaik negeri ini. ”Tapi orang
tua saya tidak mungkin mampu membiayai,” ujarnya.

Sang
ayah kini sudah meninggal dunia. Tapi ibunya masih sehat. Tetap tinggal di desa
di pelosok Pasuruan. Di Desa Manik Rejo, Kecamatan Rejoso.

Jelaslah. 

Sulit
kompromi.

Sudah
seperti Sunni dan Syi’ah.

Tapi
kita masih punya Presiden. Yang kita pilih sendiri itu. (Dahlan Iskan)

…

Besok: kemana uang yang dicetak
itu direncanakan akan mengalir.

 

Ini harus diperhitungkan.
Mukhamad Misbakhun sudah berhasil meyakinkan internal Golkar. Apalagi ia juga
telah berhasil meyakinkan fraksi-fraksi lain di DPR. 

DPR
sudah bulat di belakangnya.

”Pertempuran”
berikutnya memang belum ia menangkan. Masih berat. Sangat berat. Lebih berat.
Menghadapi teknokrat kawakan: Sri Mulyani. Yang adalah doktor lulusan Amerika
–dari universitas terkemuka.

Dia
juga pernah menjadi direktur eksekutif Bank Dunia. Lalu terpilih sebagai
menteri keuangan terbaik dunia. Pun dua presiden mempercayainyi sebagai menteri
keuangan. Dia lebih hebat dari menteri keuangan legendaris Ali Wardhana.

Di
barisan teknokrat itu masih ada Perry Warjiyo, gubernur bank sentral. Yang juga
doktor lulusan Amerika. Dengan pengalaman 30 tahun mengelola kebijakan keuangan
negara. 

Tapi
DPR sudah sangat bulat ke arah cetak uang.

Saya
tidak tahu siapa anggota DPR di fraksi lain yang bisa mengimbangi kepintaran
Misbakhun –dalam pembahasan di internal DPR itu. Kok begitu mulusnya.

Saya
tidak bisa membayangkan apakah terjadi dialog yang ilmiah di forum DPR saat
itu. Sebelum akhirnya mereka bulat mendukung ide cetak uang dari Golkar itu.

Maka
betapa serunya perdebatan berikutnya itu: antara kubu politik dan kubu
teknokrat. Antara cetak uang atau utang –kalau ada yang mau ngutangi dengan
bunga murah. 

Misbakhun
mengakui serunya perdebatan itu. ”Alotnya bukan main,” katanya. Sudah tidak
terhitung berapa banyak rapat-rapat itu –perdebatan itu. Siang dan
malam. 

Misbakhun
menggambarkan dengan cukup hidup serunya perdebatan-perdebatan itu –sampai
saya merasa tidak sampai hati untuk menggambarkannya dalam tulisan ini.

Alotnya
pembahasan itu, menurut Misbakhun, berkaitan dengan tidak adanya keberanian
pejabat bidang keuangan. Baik yang di kementerian maupun yang di Bank Indonesia.

”Saya
sebenarnya mengerti. Ada dua macam trauma sekarang ini,” kata Misbakhun.
”Trauma personal dan trauma institusional,” katanya.

Trauma
personal, kata Misbakhun, ada di Menteri Keuangan Sri Mulyani. Dalam kasus Bank
Century dulu. Sedang trauma institusionalnya ada di Bank Indonesia. Juga
gara-gara Bank Century. Yang Misbakhun adalah motor penggerak persoalan itu.

Di
Bank Indonesia pejabat-pejabat tingginya sampai masuk penjara. Bahkan ada yang
terkena stroke berkepanjangan –dan akhirnya meninggal dunia.

Baca Juga :  Ujian Nasional

Tapi
Misbakhun tetap heran atas ketakutan mereka itu. Juga kesel.

”Padahal
DPR sekarang ini sudah habis-habisan mendukung pemerintah. Tetap saja mereka
tidak berani ambil putusan,” ujar Misbakhun. 

Misbakhun
akan terus ngotot. Ia sama sekali tidak silau dengan latar belakang pendidikan
para teknokrat itu.

Misbakhun
tahu. Ia produk lokal. SMA-nya di SMAN 1 Pasuruan. Lalu masuk D3 di STAN
(Sekolah Tinggi Akuntansi Negara). Lantas bekerja di kantor pajak –sampai
pernah sangat dekat dengan Dirjen Pajak, waktu itu, Hadi Purnomo.

Misbakhun
berani berhenti dari pegawai negeri. Untuk jadi pengusaha: bisnis rumput laut
di Pasuruan. Lalu masuk politik –jadi anggota DPR dari Partai Keadilan
Sejahtera.

Saat
menjadi anggota DPR itulah Misbakhun top. Ia menjadi promotor pansus
penyelidikan kasus Bank Century.

Penyelidikan
itu berakhir tragis pada dirinya: ia masuk penjara. Dua tahun. 

Perusahaannya
dituduh menerima aliran kredit dari Bank Century –bukan soal pajak seperti
tertulis di DI’s Way kemarin. 

Di
penjara itulah ia justru bisa sangat sering khatam membaca Alquran. Tiap dua
hari tamat. Selama dua tahun itu.

Belakangan
ia mengajukan PK ke Mahkamah Agung. Dikabulkan. Ia bebas murni. Semua tuduhan
dianggap tidak terbukti. Tapi Misbakhun sudah telanjur babak belur. Di
Indonesia yang seperti itu harus diterima sebagai nasib. Termasuk nasibnya
juga: diberhentikan dari PKS. Ia tidak bisa, misalnya, menggugat Kejaksaan.

Sambil
sibuk seperti itu, Misbakhun kuliah ekonomi untuk S-1 bidang akuntansi. Di
Universitas Trisakti, Jakarta.

Misbakhun
juga kuliah S-2 bidang hukum. Di Universitas Gadjah Mada Jogjakarta –sambil
tidak pernah surut terus mendalami soal-soal ekonomi dan keuangan.

Dan
akhirnya berlabuh di Golkar. Terpilih lagi masuk ke DPR –di Pemilu 2014. Dari
dapil yang sama –Pasuruan-Probolinggo. 

Ia
pun masuk Komisi XI lagi di DPR –yang menjadi partner Kementerian
Keuangan. 

Maka
ia pun bertemu kembali dengan Sri Mulyani.

Terjadilah
CLBK –Ci Luk Ba Kebencian. 

Ups…
Tidak.

”Saya
sangat loyal kepada pemerintah. Termasuk tentu ke Menteri Keuangan,” ujarnya
selepas pelantikannya sebagai anggota DPR dulu. Itu karena Golkar adalah bagian
dari pemerintah.

”Bahkan
saya juga menyatakan sebagai orang yang sangat beruntung. Saya bisa bekerja
sama dengan menteri keuangan terbaik dunia. Berarti kami ini ikut jadi yang
terbaik di dunia,” katanya.

Baca Juga :  Lurah Selat Utara Bersama Tim Pantau PPKM Mikro

Tapi
keloyalan utamanya, tentu, tetap pada idenya sendiri: cetak uang. Sebagai
satu-satunya sumber dana besar. Untuk membangun kembali ekonomi. Yang
dihancurkan oleh Covid-19 –yang sebenarnya memang sudah goyah sejak
sebelumnya.

Misbakhun
menggambarkan dengan jelas di mana letak kegoyahan itu. Termasuk terjadinya
defisit di empat sektor utama sekaligus.

Misbakhun
sudah pada puncak pemikirannya: cetak uang sebagai sapu jagatnya. Ia mengaku
sudah mendalami pilihan-pilihan lain. Semuanya jelek dan lebih jelek. ”Saya
tahu cetak uang itu tidak bagus. Tapi pilihan lain lebih jelek lagi,”
katanya. 

Misalnya
soal inflasi itu. Ia tahu persis cetak uang itu akan mengakibatkan inflasi.
”Tapi janganlah menjadikan akibat buruk cetak uang di tahun 1956 sebagai
argumentasi,” katanya. ”Apalagi menyebut-nyebut pula Zimbabwe,” tambahnya.

Menurut
Misbakhun skala ekonomi kita saat ini sudah tidak bisa disamakan dengan tahun
1956. Apalagi dengan Zimbabwe. 

”Memang
akan terjadi inflasi,” katanya. ”Tapi kalau kenaikan inflasinya bisa dihitung
mitigasinya bisa disiapkan,” katanya.

”Negeri
ini tidak boleh hancur,” ujar Misbakhun. 

Tidak
mungkinkah dicarikan jalan kompromi? Agar Presiden tidak hanya harus memilih
dua pilihan itu? 

”Kompromi
itu tidak mungkin. Hanya akan menghasilkan kebijakan setengah-setengah,” kata
Misbakhun. ”Persoalan sekarang ini terlalu berat untuk diselesaikan dengan
setengah-setengah,” tambahnya.

Misbakhun
memang militan. Berani keluar sebagai pejabat Kantor Pajak adalah contohnya.
Berjuang mengungkap kasus Bank Century adalah contoh yang lain.

Ia
anak orang miskin. Dari desa. Kuliah di STAN pun karena beasiswa. Cari yang
gratis. Ia sebenarnya diterima di universitas terbaik negeri ini. ”Tapi orang
tua saya tidak mungkin mampu membiayai,” ujarnya.

Sang
ayah kini sudah meninggal dunia. Tapi ibunya masih sehat. Tetap tinggal di desa
di pelosok Pasuruan. Di Desa Manik Rejo, Kecamatan Rejoso.

Jelaslah. 

Sulit
kompromi.

Sudah
seperti Sunni dan Syi’ah.

Tapi
kita masih punya Presiden. Yang kita pilih sendiri itu. (Dahlan Iskan)

…

Besok: kemana uang yang dicetak
itu direncanakan akan mengalir.

 

Terpopuler

Artikel Terbaru