JAKARTA – Berkaca dari Pemilu 2019 lalu, sejumlah
masalah yang sering diungkit adalah daftar hadir pemilih di Tempat Pemungutan
Suara (TPS). Bawaslu meminta para pengawas TPS bisa mendokumentasikan form C7
atau daftar hadir pemilih dalam Pilkada 2020. Pasalnya, salah satu sumber
masalah pemilihan bermula pada data C7 yang rancu.
Ketua Bawaslu RI Abhan mengatakan, dengan ada dokumentasi, persoalan di
Pilkada 2020 bisa berkurang. Pengawas TPS harus bisa mendokumentasikan C1 plano
serta C7 daftar hadir. Abhan memberi contoh kasus yang disebabkan tak
didokumentasikannya form C7. Jumlah daftar hadir pemilih di TPS sebanyak 250
pemilih dengan daftar pemilih tetap (DPT) 300 orang.
Harusnya surat suara yang digunakan sebanyak 250 surat suara. Namun kerap
kali surat suara yang digunakan sebanyak 275. “Itu sering terjadi masalah di
situ. Kalau pengawas TPS bisa mendokumentasikan C7 akan bagus,†kata Abhan di
Jakarta, Jumat (11/10).
Dia mengakui, mendokumentasikan C7 sedikit sulit karena jumlahnya banyak.
Bila satu lembar ada 30 nama, maka apabila terdapat 300 pemilih, akan ada 10
lembar C7 yang harus didokumentasikan. “Tapi itu harus dilakukan untuk
mengurangi residu masalah,†bebernya.
Terlebih, lanjut Abhan, semua pihak telah merasakan manfaat besar C1 plano
digital atau pendokumentasian C1 plano oleh pengawas TPS pada Pemilu 2019.
Abhan menilai, C1 plano digital merupakan terobosan yang sangat membantu
berbagai pihak dalam menyelesaikan banyak masalah. Baik selama proses
rekapitulasi hasil pemilu atau dalam sidang-sidang administrasi. “Maka
dokumentasi C7 harus dikembangkan di Pilkada 2020,†terang Abhan.
Hal senada disampaikan anggota Bawaslu Rahmat Bagja. Dia mengungkapkan,
secara tidak sadar Bawaslu sudah menjalankan fungsi peradilan pemilu.
Menurutnya, tugas Bawaslu sebagai quasi peradilan menangani sengketa
administrasi kepemiluan lebih banyak kasusnya ketimbang jumlah permohonan
penyelesaian sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK).
Bagja menjelaskan, dalam menangani sengketa administrasi hasil Pemilu 2019
lalu, MK menangani sekitar 470 perkara. Sedangkan Bawaslu jauh lebih banyak
lantaran Bawaslu menangani sengketa administrasi mulai dari penyusunan DPT
(daftar pemilih tetap), dimulainya tahapan pemilu hingga penghitungan suara.
“Sebenarnya Bawaslu sudah bisa dibilang menjalankan peradilan pemilu karena
jumlahnya dalam menangani kasus administrasi sangat banyak dan berat
sebenarnya,†kata Bagja.
Apalagi, tambahnya, dalam perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) beberapa
waktu lalu, MK banyak menolak permohonan pemohon dengan alasan sudah pernah
diputus Bawaslu melalui putusan administrasinya. (khf/fin/rh/kpc)