TULISAN ekonom Universitas Airlangga Wisnu Wibowo yang berudul
Omnibus Law: Sapujagat Investasi (Jawa Pos, 29/1/2020) menarik untuk
didiskusikan. Menurut Wisnu, investasi diyakini sebagai salah satu faktor
penggerak utama ketika pemerintah hendak mencapai impian menjadikan Indonesia
negara dengan pendapatan Rp 320 juta per kapita per tahun dan PDB 7 triliun
dolar AS.
Namun, tambah Wisnu, iklim
investasi dan daya saing Indonesia masih relatif tertinggal jika dibandingkan
dengan negara-negara lain yang sejajar di ASEAN. Karena itu, Omnibus Law Cipta
Lapangan Kerja dan Perpajakan diharapkan bisa memperbaiki ekosistem investasi
dan daya saing Indonesia di tengah ketidakpastian dan perlambatan ekonomi
global.
Memang posisi dan kontribusi
investasi sulit dielakkan ketika ingin menggerakkan dan memajukan perekonomian.
Bahkan, sulit pula mencari dalil dan pijakan teoretis yang menjelaskan bahwa
investasi itu tidak penting dalam pembangunan ekonomi sebuah negara.
Iklim Investasi
Menyadari hal itu, negara-negara
di dunia berusaha menciptakan iklim investasi (investment climate) yang lebih
baik. Yakni, suatu kondisi (ekonomi, politik, dan sosial) yang membentuk
kesempatan dan insentif bagi pelaku usaha untuk melakukan investasi secara
produktif, menciptakan pekerjaan, dan berkembang. Dalam konteks itu, pemerintah
dituntut untuk menangani tiga hal penting, yakni biaya, risiko, dan pembatasan
bagi persaingan.
Selain itu, seperti dikatakan
oleh Hayes (2019), iklim investasi ikut dipengaruhi secara tidak langsung oleh
banyak faktor seperti kemiskinan, kejahatan, infrastruktur, partisipasi tenaga
kerja, keamanan nasional, ketidakstabilan politik, ketidakpastian rezim, pajak,
aturan hukum, hak properti, peraturan-peraturan pemerintah, serta transparansi
dan akuntabilitas pemerintah.
Pemerintah tentu sadar dan paham
betul tentang hal tersebut. Karena itu, di satu sisi pemerintah sangat berambisi
mengundang investor asing untuk menanamkan modal mereka di berbagai bidang
usaha. Di sisi lain, berusaha menciptakan iklim investasi yang lebih baik
sehingga membuat kegiatan investasi, selain berlangsung efisien, terjamin aman
dan menguntungkan.
Merancang perangkat hukum untuk
lebih sederhana melalui skema omnibus law merupakan salah satu upaya penting
yang dilakukan oleh pemerintah untuk menciptakan iklim yang sehat dan lebih
baik bagi investasi. Kebijakan pembebasan pajak (tax holiday) selama beberapa
tahun kepada sejumlah korporasi juga merupakan bagian dari upaya pemerintah
membangun iklim investasi.
Tuan Besar
Terlihat sekali betapa pemerintah
saat ini punya mimpi besar mendatangkan investasi asing sebanyak-banyaknya.
Cara apa pun hendak ditempuh demi investasi. Pintu dibuka selebar-lebarnya.
Berbagai rintangan disingkirkan.
Presiden Joko Widodo memberi
perintah, termasuk kepada semua kepala daerah, untuk mengutamakan pelayanan
bagi investor, baik asing maupun domestik. Investor harus diberi pelayanan
terbaik. Lalu, aturan-aturan yang dianggap menghambat investasi diminta untuk
dipangkas.
Sesungguhnya tidak ada yang salah
dengan ambisi memburu investasi, terutama investasi asing. Tetapi, ia menjadi
problem ketika menjadi sangat diistimewakan dan diperlakukan sebagai â€tuan
besar†sehingga membuat negara mengerahkan energi begitu besar untuk melayani
kaum investor.
Pada waktu yang sama, terjadi
pengabaian, penelantaran, dan peminggiran terhadap kepentingan
kelompok-kelompok lain yang juga memiliki hak yang sama untuk dilayani dan
dihormati negara. Harga diri bangsa dan nilai-nilai kedaulatan bahkan terkadang
dibiarkan terinjak demi investasi.
Apa yang terjadi di Pulau
Tambako, Bombana, Sultra, sekadar contoh. Masyarakat lokal dipaksa menjual tanah
mereka dengan harga sangat murah –sekitar tujuh ribu rupiah per meter– untuk
kepentingan investasi sebuah perusahaan asing. Aparatur justru perlu terlibat
memaksa dan mengintimidasi warga untuk melepaskan tanahnya. Warga pun kalah.
Beberapa perusahaan asing di
Sulawesi dibiarkan secara bebas mengangkut ribuan tenaga kerja dari home
country investasi. Sementara pengangguran di negara kita sebagai host country
masih sangat tinggi dan terabaikan. Jika itu menjadi bagian dalam perjanjian
antara pemerintah dan investor, menunjukkan betapa lemahnya posisi kita sebagai
host country investasi.
Berhala
Dalam banyak hal, negara mengalah
dan terkalahkan oleh kepentingan investasi. Menunjukkan bahwa negara atau
pemerintah keliru paham dalam memandang dan menempatkan investasi dalam
pembangunan. Kendati ia sangat penting dan sangat perlu dalam menggerakkan
ekonomi, tidak harus mengorbankan dan meminggirkan kepentingan-kepentingan
bangsa dan negara lainnya. Seperti kepentingan masyarakat lokal, lingkungan,
tenaga kerja, pendidikan, kedaulatan, dan lain-lain.
Bagaimanapun, investasi hanyalah
salah satu faktor yang dibutuhkan dalam pembangunan. Pemerintah dituntut untuk
mendesain kebijakan yang mengakomodasi kepentingan semua secara proporsional.
Dalam konteks itu, prinsip-prinsip keadilan mesti hadir dan ditegakkan.
Investasi diletakkan untuk
menopang pertumbuhan ekonomi dan pada ujungnya memberi dampak pada peningkatan
kesejahteraan. Ironisnya, di tengah upaya pemerintah mengistimewakan investasi,
tingkat pertumbuhan ekonomi tidak beranjak dari 5 persen lebih sedikit dalam
lima tahun terakhir. Angka kemiskinan tetap tinggi. Bahkan, seperti dilaporkan
Bank Dunia (2019), sekitar 115 juta penduduk rentan kembali miskin. Mereka
memang berhasil keluar dari garis kemiskinan, tapi belum mampu naik ke tingkat
kelas menengah.
Kerentanan mereka terlihat
semakin rapuh ketika sejumlah subsidi dicabut, harga kebutuhan pokok naik,
serta ada keharusan menanggung iuran ini dan itu untuk mengongkosi pelayanan
pemerintah. Jika demikian, lalu apa makna investasi yang didengung-dengungkan
oleh pemerintah selama ini? Untuk apa dan siapa investasi itu?
Semakin hari semakin kuat
kecenderungan pemerintah menempatkan investasi sebagai objek penyembahan. Ada
gejala pemberhalaan investasi. Wallahu’alam. (*)
(Penulis adalah Dosen ekonomi politik FISIP Universitas Brawijaya)