27.1 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Mata Pertama

Kasihan kita ini. Baru satu orang
ini yang benar-benar telah jadi donor mata di Jatim: Iwan Santoso.

Ia orang Malang. Meninggal dunia
akibat kecelakaan tunggal. Jumat lalu.

Sore itu hujan lebat. Pak Iwan
naik sepeda motor. Dari tugas gereja ke rumah salah satu jemaatnya. Mungkin
terkena lubang. Jatuh.

Meninggal dunia.

Usianya 60 tahun.

Baru seminggu sebelumnya Pak Iwan
menerima kiriman sertifikat dari Bank Mata Indonesia Jakarta: resmi pemegang
kartu pendonor mata.

Tidak terduga. Seminggu kemudian
kartu itu membuatnya jadi orang pertama di Jatim yang donor mata.

Putrinyalah yang menghubungi Bank
Mata Jakarta. Agar ayahnya itu bisa melaksanakan niatnya jadi pendonor mata.

Bank Mata langsung menghubungi
dokter mata Surabaya, Dini Dharmawidiarini. Satu-satunya dokter mata di
Surabaya yang punya keahlian transplantasi mata. Alumnus Universitas Airlangga
Surabaya ini belajar transplantasi kornea di universitas di Hyderabad, India.

Di seluruh Indonesia hanya ada
enam dokter mata seperti Dini.

Malam itu juga dokter Dini ke
Malang. Melakukan pengambilan kornea Pak Iwan. Di RS Syaiful Anwar.

Dokter Dini juga mengambil darah
Pak Iwan.

Ambil darah mayat?

“Masih bisa. Meski agak
sulit,” ujar dokter Dini. “Setelah pindah tiga tempat baru bisa
mendapat sedikit. 5 cc,” tambahnyi.

Pengambilan darah mayat itu
dilakukan lewat urat darah leher bawah –dekat bahu.

Jam 02.00 dini hari dokter Dini
baru tiba kembali di Surabaya. Dua kornea Pak Iwan langsung disimpan di tempat
khusus di RS Mata Undaan Surabaya.

Sedang darah Pak Iwan dimasukkan
ke lab. Untuk diperiksa apakah mengandung HIV atau hepatitis.

“Ayah saya sehat. Mestinya
tidak mengandung penyakit-penyakit itu,” ujar Jessika Juwithatma Santoso, putri
ketiga. “Bapak tidak punya riwayat hepatitis maupun gula darah,”
tambahnyi.

Jessika baru tamat SMA. Inginnyi
menyusul kakak sulungnyi ke Hawaii. Kuliah di sana.

Baca Juga :  Anak-Anak Dikenalkan Permainan Tradisional

Jenazah Pak Iwan kini
diistirahatkan di rumah duka Gotong Royong Malang. Saya melayat ke situ. Yakni
usai mengunjungi sekolah Islam Tazkia.

Setelah menghormati dan berdoa,
saya menengok wajah Pak Iwan di dalam peti matinya. Wajahnya teduh. Matanya
terpejam sempurna.

Tidak terlihat sama sekali bekas
operasi pengambilan kornea.

Pelayat pun tidak akan tahu kalau
kornea mata Pak Iwan sudah tidak ada di tempatnya. Kecuali pelayat yang sudah
baca DI’s Way ini.

Wajah Pak Iwan baru akan ditutup
setelah putri sulung tiba dari Hawaii –pagi ini.

Pak Iwan memang aktivis gereja.
Asal Jogjakarta. Marganya Lim. Beristeri orang Jawa asal Malang.

“Ketemu pertama dengan Pak
Iwan di mana?“ tanya saya pada istrinya.

“Kami sama-sama sekolah di
Akademi Bahasa Asing Malang,” ujar Ny Iwan. “Beliau kakak kelas
saya,” tambahnyi.

Gereja Pak Iwan ini agak jarang
di Indonesia: Gereja Yesus Kristus Orang-orang Suci Zaman Akhir.

Orang mengenalnya dengan sebutan
pendek: Gereja Mormon. Hanya ada satu di Malang. Dengan jemaat sekitar 150
orang.

“Kenapa hujan-hujan naik
motor ke rumah jemaat?” tanya saya.

“Kami tidak punya
mobil,” ujar Ny. Iwan.

Saya juga akrab dengan gereja
ini. Yang oleh gereja mainstream dianggap
menganut aliran sesat –tapi tidak dimusuhi habis-habisan.

Saya pernah bermalam di gereja
Mormon di Hawaii. Dua malam. Tempat anak sulung Pak Iwan kuliah.

Saya juga sudah ke pusat Mormon
di Salt Lake City, Utah, USA. Juga dua kali.

Gus Dur pernah ke rumah sakit
mata di Salt Lake City ditemani orang-orang gereja Mormon.

Saya juga pernah diminta dialog
di gereja Mormon Surabaya –dan Jessika ternyata masih menyimpan foto-fotonya.

Saya juga pernah menonton teater
musikal di Broadway, New York. Judulnya “The Book of Mormon”. Menceritakan
militansi misionaris Mormon. Dengan ciri khas naik sepeda, dua orang, celana
hitam, baju putih lengan pendek, dan dasi hitam.

Baca Juga :  Warga Diimbau untuk Tidak Takut Berobat ke Rumah Sakit

Saya sampai dua kali menonton
teater Broadway ini. Yang kedua mengajak Ustadz Yusuf Mansyur yang kebetulan
juga lagi ke New York.

Orang Mormon sangat benci dengan
pertunjukan itu. Dianggap melecehkan Mormon –meski tidak sampai mendemonya.

Gereja Mormon-lah yang membuat
Pak Iwan menjadi pendonor mata. Waktu itu Pak Iwan ke Jakarta. Bersama pendeta
Mormon se-Indonesia.

“Di pertemuan itu pimpinan
Mormon Indonesia mengarahkan agar kami menjadi pendonor mata,” ujar Ny.
Iwan.

“Kami sekeluarga sudah
mendaftar. Tapi baru tiga orang yang mendapat kartu donor,” ujar Jessika.

Saya pun baru tahu dari dokter
Dini. Bahwa satu kornea dari pendonor bisa diberikan pada lima orang buta.
Tergantung kondisi yang buta.

Saya bertemu dokter Dini secara
kebetulan. Sama-sama akan menonton teater di Ciputra Hall Surabaya Sabtu malam.
Yakni teater Gandrik-nya Butet Kartarajasa. Dengan lakon ‘Para Pensiunan’.

Dokter Dini masih begitu muda.
Tapi dua tahun terakhir sudah melakukan 70 kali transplan mata di Surabaya.

“Sulit sekali mendapat donor
mata di Indonesia,” ujar dokter Dini. “Biasanya kami impor dari Nepal
atau Srilanka,” tambahnyi.

Dua negara Buddha itu memang jadi
sumber utama donor mata dunia.

“Sekarang ini ada 20 orang
yang antre di RS Mata Undaan Surabaya,” ujar dokter Dini.

Saat berbincang dengan dokter
Dini teman saya ikut mendengarkan. Namanyi Rina. Asli Batu. Saya pernah menjadi
atasannyi.

“Saya sudah lama ingin donor
mata. Tapi tidak tahu mendaftar ke mana,” ujar Rina. “Sekarang saya
mendaftar ke dokter Dini,” katanyi. “Saya dan seluruh keluarga. Bapak
ibu saya juga,” tambah Rina.

Dia juga beragama Buddha.(dahlan
iskan)

Kasihan kita ini. Baru satu orang
ini yang benar-benar telah jadi donor mata di Jatim: Iwan Santoso.

Ia orang Malang. Meninggal dunia
akibat kecelakaan tunggal. Jumat lalu.

Sore itu hujan lebat. Pak Iwan
naik sepeda motor. Dari tugas gereja ke rumah salah satu jemaatnya. Mungkin
terkena lubang. Jatuh.

Meninggal dunia.

Usianya 60 tahun.

Baru seminggu sebelumnya Pak Iwan
menerima kiriman sertifikat dari Bank Mata Indonesia Jakarta: resmi pemegang
kartu pendonor mata.

Tidak terduga. Seminggu kemudian
kartu itu membuatnya jadi orang pertama di Jatim yang donor mata.

Putrinyalah yang menghubungi Bank
Mata Jakarta. Agar ayahnya itu bisa melaksanakan niatnya jadi pendonor mata.

Bank Mata langsung menghubungi
dokter mata Surabaya, Dini Dharmawidiarini. Satu-satunya dokter mata di
Surabaya yang punya keahlian transplantasi mata. Alumnus Universitas Airlangga
Surabaya ini belajar transplantasi kornea di universitas di Hyderabad, India.

Di seluruh Indonesia hanya ada
enam dokter mata seperti Dini.

Malam itu juga dokter Dini ke
Malang. Melakukan pengambilan kornea Pak Iwan. Di RS Syaiful Anwar.

Dokter Dini juga mengambil darah
Pak Iwan.

Ambil darah mayat?

“Masih bisa. Meski agak
sulit,” ujar dokter Dini. “Setelah pindah tiga tempat baru bisa
mendapat sedikit. 5 cc,” tambahnyi.

Pengambilan darah mayat itu
dilakukan lewat urat darah leher bawah –dekat bahu.

Jam 02.00 dini hari dokter Dini
baru tiba kembali di Surabaya. Dua kornea Pak Iwan langsung disimpan di tempat
khusus di RS Mata Undaan Surabaya.

Sedang darah Pak Iwan dimasukkan
ke lab. Untuk diperiksa apakah mengandung HIV atau hepatitis.

“Ayah saya sehat. Mestinya
tidak mengandung penyakit-penyakit itu,” ujar Jessika Juwithatma Santoso, putri
ketiga. “Bapak tidak punya riwayat hepatitis maupun gula darah,”
tambahnyi.

Jessika baru tamat SMA. Inginnyi
menyusul kakak sulungnyi ke Hawaii. Kuliah di sana.

Baca Juga :  Anak-Anak Dikenalkan Permainan Tradisional

Jenazah Pak Iwan kini
diistirahatkan di rumah duka Gotong Royong Malang. Saya melayat ke situ. Yakni
usai mengunjungi sekolah Islam Tazkia.

Setelah menghormati dan berdoa,
saya menengok wajah Pak Iwan di dalam peti matinya. Wajahnya teduh. Matanya
terpejam sempurna.

Tidak terlihat sama sekali bekas
operasi pengambilan kornea.

Pelayat pun tidak akan tahu kalau
kornea mata Pak Iwan sudah tidak ada di tempatnya. Kecuali pelayat yang sudah
baca DI’s Way ini.

Wajah Pak Iwan baru akan ditutup
setelah putri sulung tiba dari Hawaii –pagi ini.

Pak Iwan memang aktivis gereja.
Asal Jogjakarta. Marganya Lim. Beristeri orang Jawa asal Malang.

“Ketemu pertama dengan Pak
Iwan di mana?“ tanya saya pada istrinya.

“Kami sama-sama sekolah di
Akademi Bahasa Asing Malang,” ujar Ny Iwan. “Beliau kakak kelas
saya,” tambahnyi.

Gereja Pak Iwan ini agak jarang
di Indonesia: Gereja Yesus Kristus Orang-orang Suci Zaman Akhir.

Orang mengenalnya dengan sebutan
pendek: Gereja Mormon. Hanya ada satu di Malang. Dengan jemaat sekitar 150
orang.

“Kenapa hujan-hujan naik
motor ke rumah jemaat?” tanya saya.

“Kami tidak punya
mobil,” ujar Ny. Iwan.

Saya juga akrab dengan gereja
ini. Yang oleh gereja mainstream dianggap
menganut aliran sesat –tapi tidak dimusuhi habis-habisan.

Saya pernah bermalam di gereja
Mormon di Hawaii. Dua malam. Tempat anak sulung Pak Iwan kuliah.

Saya juga sudah ke pusat Mormon
di Salt Lake City, Utah, USA. Juga dua kali.

Gus Dur pernah ke rumah sakit
mata di Salt Lake City ditemani orang-orang gereja Mormon.

Saya juga pernah diminta dialog
di gereja Mormon Surabaya –dan Jessika ternyata masih menyimpan foto-fotonya.

Saya juga pernah menonton teater
musikal di Broadway, New York. Judulnya “The Book of Mormon”. Menceritakan
militansi misionaris Mormon. Dengan ciri khas naik sepeda, dua orang, celana
hitam, baju putih lengan pendek, dan dasi hitam.

Baca Juga :  Warga Diimbau untuk Tidak Takut Berobat ke Rumah Sakit

Saya sampai dua kali menonton
teater Broadway ini. Yang kedua mengajak Ustadz Yusuf Mansyur yang kebetulan
juga lagi ke New York.

Orang Mormon sangat benci dengan
pertunjukan itu. Dianggap melecehkan Mormon –meski tidak sampai mendemonya.

Gereja Mormon-lah yang membuat
Pak Iwan menjadi pendonor mata. Waktu itu Pak Iwan ke Jakarta. Bersama pendeta
Mormon se-Indonesia.

“Di pertemuan itu pimpinan
Mormon Indonesia mengarahkan agar kami menjadi pendonor mata,” ujar Ny.
Iwan.

“Kami sekeluarga sudah
mendaftar. Tapi baru tiga orang yang mendapat kartu donor,” ujar Jessika.

Saya pun baru tahu dari dokter
Dini. Bahwa satu kornea dari pendonor bisa diberikan pada lima orang buta.
Tergantung kondisi yang buta.

Saya bertemu dokter Dini secara
kebetulan. Sama-sama akan menonton teater di Ciputra Hall Surabaya Sabtu malam.
Yakni teater Gandrik-nya Butet Kartarajasa. Dengan lakon ‘Para Pensiunan’.

Dokter Dini masih begitu muda.
Tapi dua tahun terakhir sudah melakukan 70 kali transplan mata di Surabaya.

“Sulit sekali mendapat donor
mata di Indonesia,” ujar dokter Dini. “Biasanya kami impor dari Nepal
atau Srilanka,” tambahnyi.

Dua negara Buddha itu memang jadi
sumber utama donor mata dunia.

“Sekarang ini ada 20 orang
yang antre di RS Mata Undaan Surabaya,” ujar dokter Dini.

Saat berbincang dengan dokter
Dini teman saya ikut mendengarkan. Namanyi Rina. Asli Batu. Saya pernah menjadi
atasannyi.

“Saya sudah lama ingin donor
mata. Tapi tidak tahu mendaftar ke mana,” ujar Rina. “Sekarang saya
mendaftar ke dokter Dini,” katanyi. “Saya dan seluruh keluarga. Bapak
ibu saya juga,” tambah Rina.

Dia juga beragama Buddha.(dahlan
iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru