PUTUSLAH sudah harapan saya yang sempat meroket itu: pembangunan
kilang besar โagar kita swasembada bahan bakar minyak.
Roket itu meluncur bukan tanpa
alasan. Bacalah keterangan pers Dirut Pertamina usai dengar pendapat di DPR.
Awal tahun tadi.
Di forum itu terkesan begitu
pastinya: sudah tinggal jalan. Ini akan sangat bersejarah. Setelah 30 tahun
Indonesia jalan ditempat: tidak bisa membangun kilang besar.
Sebenarnya tidak semua punya
perasaan meroket seperti saya. Banyak yang pesimistis sejak awal. Pun tetap
pesimistis meski keterangan Dirut Pertamina begitu menggiurkannya.
Saya memang mencoba terus
bersikap optimistis. Termasuk ketika dulu itu: ketika saya tahu begitu sulit
membangun kilang besar.
Saya tidak pernah mencela
kegagalan membangun kilang besar โbegitu sulitnya. Pun sekarang ini โketika
harapan roket itu ternyata menukik.
Tentu saya pernah ikut
rapat-rapat tingkat tinggi. Yang membahas rencana membuat sejarah kilang
seperti itu.
Saya pun tahu betapa SULIT โdengan huruf besar. Jangan
salahkan siapa-siapa.
Maka secara pribadi saya pun
mengambil kesimpulan: harus ada terobosan lain. Yang out of the box.
Sudah terlalu banyak energi untuk
membicarakan pembuatan sejarah itu. Sudah 30 tahun. Sudah sekian presiden.
Setiap presiden ingin membuat
sejarah. Apalagi ini sejarah yang sangat seksi: bisa mengatasi impor BBM โyang
jadi sumber fitnah terbesar dan terpanjang dalam sejarah.
Pikiran baru saya itu, waktu itu,
mobil listrik. Tidak perlu lagi BBM.
Memang ide terlalu awal: sampai
ada yang mempertanyakan soal tingkat emisinya. Betapa lucunya pertanyaan itu.
Atau pertanyaan ini: di mana
nanti charging-nya.
Sampai-sampai saya harus
menemukan jawaban ini: kita itu bisa membangun ribuan pompa bensin. Yang
biayanya bisa Rp 20 miliar/station. Padahal membangun stasiun charging itu hanya
Rp 20 juta. Di mana sulitnya.
Tapi, ya sudahlah. Itu sudah
lewat. Sudah lama sekali. Sudah 8 tahun. Perkembangan mobil listrik di dunia
sudah begitu majunya. Sudah sulit dikejar.
Tapi pilihan solusinya kan tidak
berubah: tanpa mobil listrik kita harus membangun kilang besar. Untuk mengolah
minyak mentah menjadi BBM โdan turunannya.
Satu kilang besar berkapasitas 300.000
barel/hari memerlukan investasi Rp 70 triliun.
Bagaimana bisa balik modal? Siapa
yang mau mengucurkan dana segajah bengkak itu?
Hitungan balik-modalnya lebih
panjang dari jalan Daendels โ -dari Anyer sampai ke Panarukan.
Pun waktu saya masih ikut
rapat-rapat-tingkat-tinggi dulu itu. Yang dicari ya โtinggalโ itu: bagaimana
bisa balik modal.
Kalau pun ada yang mulai berminat
minta fasilitasnya ampun-ampun. Apa saja harus diberikan pada investor. Baik
dari pemerintah maupun dari Pertamina.
Kesimpulan saya lagi: fasilitas
yang diminta itu sampai begitu tidak masuk akalnya โakal sehat maupun akal
nasionalisme.
Padahal kalau pun kita berhasil
membangun kilang itu minyak mentahnya toh masih juga harus impor.
Tetap saja mobil listrik.
Sekarang saya harus tetap
optimistis โ -optimistis level tiga. Saya akan diam saja kalau pun diputuskan
harus impor mobil listrik. Apa boleh buat. Akar pun jadi.
Pun kalau harus perusahaan asing
yang mendirikan pabrik mobil listrik di Indonesia. Saya akan diam menerima.
Saya sudah siap mental untuk
menerima new normal itu โups, new reality itu.
Move on
Toh harapan pada
dua-kilang-besar-baru itu sudah pupus. Investor nan gagah berani dari Oman saja
sudah mundur dari proyek itu di Bontang. Dan investor malaikat dari Saudi
โAramcoโ juga sudah mundur dari proyek kilang Cilacap.
Padahal tidak ada lagi isyu
tanah. Pertamina sudah menyelesaikan pengadaan tanah yang sulit itu. Yang
setiap kilang setidaknya 250 hektare itu.
Saya tidak tahu fasilitas apa
saja yang sudah disetujui saat mereka ok membangun dua kilang itu. Tapi tidak
perlu dibahas. Toh sudah batal.
Upsโฆ Masih ada cadangan
optimisme.
Mengapa tidak membangun kilang
kecil-kecil saja? Misalnya kelas 10.000 barel/hari? Sekaligus banyak? Di
beberapa lokasi? Terutama lokasi di dekat sumur minyak-mentah? Sekaligus
memperbaiki rasio biaya logistik?
Tentu kita ingat lagi kilang
kecil yang mati berdiri itu.
Sudahlah. Move on.
Para pengusaha lokal pasti bisa
melakukannya lagi. Mereka pasti mampu. Seperti terbukti di Tuban โdekat
lapangan minyak Cepu di Banyuurip itu. Yang milik pengusaha nasional dari ITB
itu. Yang kemudian mati di lumbung itu.
Kilang itu milik TWU (Disway:Lumbung Itu
Tidak Untuk Ayam). Yang tidak bisa lagi mendapat minyak-mentah โdari sumur
minyak raksasa milik Exxon dan Pertamina itu.
Sampai sekarang kilang itu masih
berdiri tegak. Mati berdiri.
Mungkin perlu dicoba terobosan
itu lagi. Dengan aturan baru. Misalnya, minyak-mentah bagian pemerintah (dari
bagi hasil) didedikasikan untuk kilang kecil. Asal dibangun di dekat sumur
minyak. Tidak perlu lagi angkut-minyak-mentah-jarak-jauh seperti selama ini.
Tentu masih banyak masalah
teknik. Yang tidak mungkin saya tulis di DIโs Way โpembaca bisa teriak โsaya
tidak bisa bernafasโ. Saking teknisnya.
Tentu banyak juga alasan untuk
tidak menyetujui terobosan itu.
Hanya diperlukan satu alasan saja
untuk setuju. Terlalu banyak alasan untuk tidak setuju.