SIAPA sangka ekonomi global akan sepanik ini. Epidemi virus korona
(Covid-19) yang muncul akhir Desember tahun lalu dari kota kecil Wuhan di
Tiongkok Tengah itu telah memukul sebagian besar aktivitas ekonomi dunia. Tanpa
analisis virus korona pun, sebetulnya ekonomi dunia tengah menghadapi
ketidakpastian yang sangat tinggi akibat tensi geopolitik dan politik ekonomi
negara adikuasa yang kian tidak menentu. Praktis, pada 2020, dunia akan semakin
terimpit ketidakpastian.
Para ekonom dunia lantas
menganalisis dampak korona terhadap ekonomi dengan melihat imbas persebaran
virus SARS hampir dua dekade lalu. Persoalannya, volume ekonomi Tiongkok tidak
lagi sama dengan besaran ekonomi mereka ketika virus SARS menyebar mulai
November 2002.
Pada tahun itu, ekonomi Tiongkok
baru mencapai 4 persen dari total produk domestik bruto (PDB) dunia. Sementara
pada 2019 ekonomi Tiongkok sudah menyentuh 16 persen dari total PDB dunia.
Artinya, untuk membaca dampak ekonomi korona, mestinya kita melihat imbasnya
dalam konteks ekonomi Tiongkok yang jauh lebih besar seperti sekarang.
Volume ekonomi Tiongkok yang
demikian besar memberikan sinyal bahwa penghentian sementara kegiatan industri
di Wuhan dan beberapa kawasan lain di Tiongkok jelas akan berdampak signifikan
terhadap aktivitas ekonomi di negara yang memiliki relasi dagang dengan
Tiongkok.
Disrupsi Rantai Pasok
Hemat saya, dengan volume ekonomi
Tiongkok yang jauh lebih besar seperti sekarang, efek korona akan melampaui
epidemi SARS. Lebih-lebih, Tiongkok hari ini sudah kian terhubung dengan rantai
pasokan global. Karena itu, secara khusus epidemi korona setidaknya akan
memukul rantai pasokan industri sebagaimana yang mulai terasa beberapa pekan
belakangan ini.
Asia diperkirakan menjadi kawasan
yang paling terdampak. Wajar, sebagai kawasan yang secara geografis berdekatan
dengan Tiongkok, 40 persen bahan baku atau bahan penolong industri di Asia
didatangkan dari Negeri Tirai Bambu tersebut.
Selain itu, secara global,
Bloomberg mencatat, terdapat 146 industri otomotif, 47 industri peralatan
elektronik, 28 industri peralatan transportasi, dan 28 industri permesinan yang
produksinya terpengaruh virus korona. Selain di Tiongkok, industri tersebut
tercatat di Jepang, Amerika Serikat (AS), Taiwan, Hongkong, Prancis, dan
beberapa negara lain.
Lebih-lebih, 11 provinsi di
Tiongkok memutuskan untuk menghentikan sementara produksi otomotif. Beberapa
pabrikan yang menghentikan produksi itu, antara lain, General Motors, Nissan,
dan Hyundai. Padahal, komponen industri otomotif dari Tiongkok sangat
dibutuhkan untuk pabrikan di negara lain. HIS Markit menyebut, jika situasi ini
bertahan hingga pertengahan Maret, produksi otomotif di Tiongkok akan turun
32,3 persen.
Selain industri otomotif,
sebagaimana dicatat The Economist, yang juga tak kalah mengkhawatirkan,
Tiongkok disebut memproduksi lebih dari 80 persen bahan baku obat di seluruh
dunia. The Economist lantas menyebutkan, efek wabah korona diperkirakan
memangkas pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada kuartal I 2020 menjadi hanya 4
persen, terendah selama tiga dekade terakhir.
Efek virus korona yang demikian
eksponensial pada akhirnya juga berimbas pada perlambatan pertumbuhan ekonomi
negara mitra dagang Tiongkok. Kajian Bloomberg menyimpulkan, korona diprediksi
memangkas 0,42 persen pertumbuhan ekonomi dunia pada kuartal I 2020.
Sementara itu, untuk
negara-negara mitra dagang, Bloomberg memperkirakan Hongkong sebagai negara
yang paling parah dengan perlambatan pertumbuhan pada kuartal I 2020 mencapai
1,74 persen. Adapun ekonomi Indonesia, pertumbuhannya diperkirakan melambat
lebih sedikit, yakni 0,26 persen, dan diikuti beberapa negara mitra dagang
Tiongkok lain seperti Jepang (0,22 persen); Jerman (0,17 persen); Euro (0,14
persen); dan Amerika Serikat (0,12 persen).
Tantangan
Pandemi virus korona di Tiongkok
yang berdampak negatif terhadap ekonomi dunia menggambarkan bahwa cengkeraman
globalisasi memang nyata adanya. Hal itu tampak dari kegiatan ekonomi
antarnegara yang kian terikat satu sama lain, bagai simpul yang menampakkan
ketergantungan antarnegara dan menghapus batas-batas negara pada sisi lain.
Dunia tentu dibenarkan untuk
panik. Terutama yang ekonominya bergantung pada Tiongkok. Namun, langkah
bersama mesti diambil untuk mencegah persebaran virus yang kian eksponensial
itu. Pun, pada masa mendatang, potensi epidemi yang lebih besar harus diperhatikan
lebih saksama.
World Economic Forum (WEF) dalam
laporannya, Global Risk Report, menyebut ’’new breakthrough, new risks’’
sebagai sebuah keniscayaan dalam dunia kesehatan, yang nyatanya punya imbas
besar pada kegiatan ekonomi.
Sementara itu, sebagai salah satu
mitra dagang penting Tiongkok, Indonesia mesti mengambil tindakan visioner
jangka panjang. Virus korona bisa menjadi pelajaran berharga bahwa keterikatan
global yang tidak dapat terhindarkan dapat memukul aktivitas ekonomi yang hanya
fokus pada satu kawasan.
Namun, sebaliknya, struktur
ekonomi domestik yang kukuh, yang ditopang pemaksimalan berbagai alternatif
pasar nontradisional, dipastikan mampu meminimalkan pengaruh gejolak rantai
pasokan global. (***)
(Penulis adalah Peneliti di
Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia)