30 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Level Lima

Di level berapa tingkat ketakutan Anda pada
virus Corona dari Wuhan?

Itulah pertanyaan saya kepada tiga orang teman
saya di tiga kota di Tiongkok. Satu orang di Beijing. Satu orang dari Nanchang.
Satu lagi dari Dalian.

Saya jelaskan kepada mereka: sangat takut
adalah level 10. Tidak takut sama sekali level 1.

“Tidak sampai level 5,” ujar teman
saya di Beijing.

Jarak Beijing dan Wuhan adalah 2,5 jam naik
pesawat.

“Ketakutan saya di level 7,” ujar
teman saya yang di Kota Nanchang.

Nanchang adalah ibu kota propinsi Jiangxi
–tetangga Selatan Provinsi Hubei yang beribu kota di Wuhan. Jarak Wuhan dan
Nanchang 6 jam menggunakan mobil.

Saya pernah belajar bahasa Mandarin satu bulan
penuh di IKIP-nya Jiangxi.

“Ketakutan saya di level 4. Saya sangat
percaya pemerintah akan mampu mengatasi virus ini,” ujar teman saya yang
di Kota Dalian, kota cantik di Propinsi Liaoning. Kota ini punya pelabuhan
terdalam di Tiongkok. Kapal induk terbaru Tiongkok dibuat di Dalian. Cucu saya,
seperti diakui menantu saya, adalah ‘made in’ Dalian. Ia mulai hamil saat
bersama suaminya menemani saya di Dalian.

Jarak Dalian ke Wuhan 3 jam dengan pesawat.

Kesimpulan saya: kian dekat ke Wuhan kian
tinggi ketakutan mereka.

Lalu saya ingat mahasiswi kita yang kuliah di
dekat Wuhan –Julinten. Begitu beraninyi. Yang saat saya tanya dulu tingkat
ketakutannyi hanya di level 5. Bahwa dia ikut pulang ke Indonesia itu untuk
menghormati pemerintah. Yang sudah mengirim pesawat khusus untuk menjemput
warga Indonesia di sana.

“Ini bukan soal takut atau tidak. Tapi
saya mulai bosan di rumah terus,” ujar teman saya yang di Beijing itu.

Baca Juga :  Kapolda Ingatkan CRT tentang Penggunaan Senjata

Dia memang pengusaha. Yang biasanyi sibuk
mondar-mandir Beijing-Wuhan-Hangzhou-Shanghai-Hongkong-Chengdu-Qinghai.

Kini dia di rumah terus. Sejak 23 Januari lalu.
Hanya tiga hari sekali keluar rumah –untuk belanja di supermarket terdekat.

“Kalau keluar rumah lebih dari dua jam
harus lapor pak RT,” ujarnyi. “Baru sekarang ini saya melihat begitu
sepinya Tiongkok,” tambahnyi.

Supermarket terdekat adalah 300 meter dari
rumahnyi. Tapi dia memilih ke supermarket yang jauhnya 600 meter. Sekalian
menghilangkan kebosanan.

Supermarket itu tidak penuh pembeli. Mereka
punya banyak waktu untuk belanja. Tidak terkonsentrasi di jam-jam tertentu.

Mereka yang saya hubungi itu semua sangat
percaya pada usaha pemerintah mereka. “Pasti berhasil diatasi. Ini soal
waktu saja,” kata mereka. “Dua atau tiga minggu lagi sudah akan
berbeda,” tambahnyi.

Tanggal 8 Februari besok adalah hariraya Cap Go
Meh. Yang di Tiongkok disebut perayaan tanggal 15. Yakni purnama pertama di
bulan pertama Tahun Imlek.

Mereka percaya setelah Cap Go Meh udara
berubah. Cap Go Meh dianggap perayaan akan datangnya musim semi. Atau
berakhirnya musim salju.

Di musim salju biasanya begitu banyak yang
terkena flu. Virus flu merajalela di musim dingin. Pun di Amerika. Menurut data
resmi dari Center of Desease Control and Prevention Amerika, jumlah yang
meninggal akibat virus flu mencapai 10.000 orang. Selama tahun 2018-2019.

Tapi tewas akibat flu tidak seheboh akibat
virus Corona. Padahal virus flu juga menular. Tapi sudah dianggap biasa. Juga
karena sudah ada obatnya.

Tapi benarkah setelah Cap Go Meh akan lebih
baik?

Baca Juga :  12 Bulan Memimpin, Kinerja Fairid-Umi Mastikah Mulai Kelihatan dan Bis

“Dua hari terakhir ini justru turun salju di
Beijing,” ujar teman saya itu.

Ini baru untuk kelima kalinya turun salju di
Beijing. Desember lalu sekali. Januari kemarin dua kali. Lalu di Februari ini
justru dua kali.

Sampai tadi malam salju itu masih terus turun.

Lalu dia pun mengirim foto sela-sela gedung
yang bersalju. Yang foto itu diambil dari dalam rumahnyi kemarin pagi.

Pemerintah kelihatannya juga terus
membangkitkan semangat warganya. Terutama agar rakyat menghargai usaha
kemanusiaan yang sedang dilakukan para dokter dan perawat.

Salah satunya adalah dalam bentuk video. Yang
juga viral di Indonesia.

Saya sampai tiga kali melihat video itu. Betapa
mengharukannya. Terutama ketika para dokter dan perawat itu ternyata tidak
boleh pulang.

Sudah berminggu-minggu lamanya. Mereka harus
tidur meringkuk kedinginan di kursi. Atau hanya dengan meletakkan kepala di
atas meja.

Mereka terlihat begitu kelelahan. Banyak
perawat yang pipi dan hidungnya terluka. Akibat sudah begitu lama terus-menerus
mengenakan masker yang dipasang secara ketat.

Air mata saya meleleh saat melihat adegan anak
kecil yang kangen ibunyi. Dia datang ke rumah sakit mencari ibunyi. Tapi hanya
bisa melihat sang ibu dari jauh.

Lalu sang anak meletakkan rantang berisi
makanan beberapa meter di depan sang ibu. Lalu sang anak mundur, menjauh dari
rantang. Saat si anak sudah menjauh barulah sang ibu melangkah maju. Untuk
mengambil rantang kiriman keluarganya itu.

Saya tahu video itu dibuat untuk kepentingan
agitasi. Tapi tetap saja keharuan saya tidak terbendung. Dan air mata pun
meleleh di pipi.(Dahlan Iskan)

Di level berapa tingkat ketakutan Anda pada
virus Corona dari Wuhan?

Itulah pertanyaan saya kepada tiga orang teman
saya di tiga kota di Tiongkok. Satu orang di Beijing. Satu orang dari Nanchang.
Satu lagi dari Dalian.

Saya jelaskan kepada mereka: sangat takut
adalah level 10. Tidak takut sama sekali level 1.

“Tidak sampai level 5,” ujar teman
saya di Beijing.

Jarak Beijing dan Wuhan adalah 2,5 jam naik
pesawat.

“Ketakutan saya di level 7,” ujar
teman saya yang di Kota Nanchang.

Nanchang adalah ibu kota propinsi Jiangxi
–tetangga Selatan Provinsi Hubei yang beribu kota di Wuhan. Jarak Wuhan dan
Nanchang 6 jam menggunakan mobil.

Saya pernah belajar bahasa Mandarin satu bulan
penuh di IKIP-nya Jiangxi.

“Ketakutan saya di level 4. Saya sangat
percaya pemerintah akan mampu mengatasi virus ini,” ujar teman saya yang
di Kota Dalian, kota cantik di Propinsi Liaoning. Kota ini punya pelabuhan
terdalam di Tiongkok. Kapal induk terbaru Tiongkok dibuat di Dalian. Cucu saya,
seperti diakui menantu saya, adalah ‘made in’ Dalian. Ia mulai hamil saat
bersama suaminya menemani saya di Dalian.

Jarak Dalian ke Wuhan 3 jam dengan pesawat.

Kesimpulan saya: kian dekat ke Wuhan kian
tinggi ketakutan mereka.

Lalu saya ingat mahasiswi kita yang kuliah di
dekat Wuhan –Julinten. Begitu beraninyi. Yang saat saya tanya dulu tingkat
ketakutannyi hanya di level 5. Bahwa dia ikut pulang ke Indonesia itu untuk
menghormati pemerintah. Yang sudah mengirim pesawat khusus untuk menjemput
warga Indonesia di sana.

“Ini bukan soal takut atau tidak. Tapi
saya mulai bosan di rumah terus,” ujar teman saya yang di Beijing itu.

Baca Juga :  Kapolda Ingatkan CRT tentang Penggunaan Senjata

Dia memang pengusaha. Yang biasanyi sibuk
mondar-mandir Beijing-Wuhan-Hangzhou-Shanghai-Hongkong-Chengdu-Qinghai.

Kini dia di rumah terus. Sejak 23 Januari lalu.
Hanya tiga hari sekali keluar rumah –untuk belanja di supermarket terdekat.

“Kalau keluar rumah lebih dari dua jam
harus lapor pak RT,” ujarnyi. “Baru sekarang ini saya melihat begitu
sepinya Tiongkok,” tambahnyi.

Supermarket terdekat adalah 300 meter dari
rumahnyi. Tapi dia memilih ke supermarket yang jauhnya 600 meter. Sekalian
menghilangkan kebosanan.

Supermarket itu tidak penuh pembeli. Mereka
punya banyak waktu untuk belanja. Tidak terkonsentrasi di jam-jam tertentu.

Mereka yang saya hubungi itu semua sangat
percaya pada usaha pemerintah mereka. “Pasti berhasil diatasi. Ini soal
waktu saja,” kata mereka. “Dua atau tiga minggu lagi sudah akan
berbeda,” tambahnyi.

Tanggal 8 Februari besok adalah hariraya Cap Go
Meh. Yang di Tiongkok disebut perayaan tanggal 15. Yakni purnama pertama di
bulan pertama Tahun Imlek.

Mereka percaya setelah Cap Go Meh udara
berubah. Cap Go Meh dianggap perayaan akan datangnya musim semi. Atau
berakhirnya musim salju.

Di musim salju biasanya begitu banyak yang
terkena flu. Virus flu merajalela di musim dingin. Pun di Amerika. Menurut data
resmi dari Center of Desease Control and Prevention Amerika, jumlah yang
meninggal akibat virus flu mencapai 10.000 orang. Selama tahun 2018-2019.

Tapi tewas akibat flu tidak seheboh akibat
virus Corona. Padahal virus flu juga menular. Tapi sudah dianggap biasa. Juga
karena sudah ada obatnya.

Tapi benarkah setelah Cap Go Meh akan lebih
baik?

Baca Juga :  12 Bulan Memimpin, Kinerja Fairid-Umi Mastikah Mulai Kelihatan dan Bis

“Dua hari terakhir ini justru turun salju di
Beijing,” ujar teman saya itu.

Ini baru untuk kelima kalinya turun salju di
Beijing. Desember lalu sekali. Januari kemarin dua kali. Lalu di Februari ini
justru dua kali.

Sampai tadi malam salju itu masih terus turun.

Lalu dia pun mengirim foto sela-sela gedung
yang bersalju. Yang foto itu diambil dari dalam rumahnyi kemarin pagi.

Pemerintah kelihatannya juga terus
membangkitkan semangat warganya. Terutama agar rakyat menghargai usaha
kemanusiaan yang sedang dilakukan para dokter dan perawat.

Salah satunya adalah dalam bentuk video. Yang
juga viral di Indonesia.

Saya sampai tiga kali melihat video itu. Betapa
mengharukannya. Terutama ketika para dokter dan perawat itu ternyata tidak
boleh pulang.

Sudah berminggu-minggu lamanya. Mereka harus
tidur meringkuk kedinginan di kursi. Atau hanya dengan meletakkan kepala di
atas meja.

Mereka terlihat begitu kelelahan. Banyak
perawat yang pipi dan hidungnya terluka. Akibat sudah begitu lama terus-menerus
mengenakan masker yang dipasang secara ketat.

Air mata saya meleleh saat melihat adegan anak
kecil yang kangen ibunyi. Dia datang ke rumah sakit mencari ibunyi. Tapi hanya
bisa melihat sang ibu dari jauh.

Lalu sang anak meletakkan rantang berisi
makanan beberapa meter di depan sang ibu. Lalu sang anak mundur, menjauh dari
rantang. Saat si anak sudah menjauh barulah sang ibu melangkah maju. Untuk
mengambil rantang kiriman keluarganya itu.

Saya tahu video itu dibuat untuk kepentingan
agitasi. Tapi tetap saja keharuan saya tidak terbendung. Dan air mata pun
meleleh di pipi.(Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru