26.1 C
Jakarta
Wednesday, April 16, 2025

Lord Didi

Obituari terbaik untuk almarhum Didi Kempot
adalah yang dibuat Jaya Suprana. Bentuknya: permainan piano –alat musik yang
paling dikuasainya. 

Di depan piano milik Ayla itu Pak Jaya
memainkan lagu Didi Kempot yang paling top saat ini: Pamer Bojo. Ayla
merekamnya diam-diam –lihatlah sendiri hasilnya.

Didi Kempot adalah raja campursari Indonesia
–terbaik di dunia. Jaya Suprana adalah raja piano Indonesia –yang sering
melanglang buana.

Jadinya unik: lagu campursari yang milik rakyat
itu dimainkan di piano yang sangat elite. 

Itu karena Pak Jaya –bos Jamu Jago dan Museum
Rekor Indonesia– sangat mengagumi Didi Kempot – -di samping tetap mengagumi
pemusik klasik Beethoven dan sekelasnya.

Saya sering mengikuti tulisan Pak Jaya. Yang
belakangan sangat produktif itu. Tidak hanya sekali Pak Jaya mengulas musik
Didi Kempot. Berkali-kali. Pertanda Pak Jaya sangat mengapresiasi raja
campursari itu.

Pernah Pak Jaya menulis khusus mengenai lagu
Pamer Bojo. Ia bahas syairnya yang menyayat-nyayat hati. ”Begitu dalam makna
syair lagu itu,” tulisnya.

Sampai membuat Pak Jaya mbrebes mili.

Maka begitu mendengar Didi Kempot meninggal
dunia Pak Jaya syok. ”Saya lebih pantas meninggal lebih dulu,” katanya pada
saya.

Setelah kesedihannya reda, Pak Jaya menuju
piano. Di rumah Ayla di Jakarta itu memang ada sebuah piano besar. Itu piano
kuno. ”Type-nya pun saya sudah lupa. Sudah terhapus,” ujar Pak Jaya merendah.
”Piano ini juga tidak pernah distem ulang. Biarlah. Biar nadanya lebih
merakyat,” guraunya.

Saya putar tiga kali Pamer Bojo versi Pak Jaya
itu. Pikiran saya melayang ke mana-mana: ke panggung-panggung bersama sang raja
di kala belum jadi maharaja seperti sekarang. Juga ke Prapatan Sleko –satu
lagunya tentang sebuah perempatan terkenal di kota Madiun. Yang saya (bersama
istri) diminta sebagai bintang video clip-nya.

Baca Juga :  Pemindahan Ibu Kota Harus Tetap Amankan Lingkungan

Kenangan saya juga ke pedesaan di pelosok
Ngawi. Khususnya ke Desa Majasem. Yakni sebuah desa di lereng timur Gunung
Lawu. Di Kecamatan Kendal yang terpencil. 

Saya sering ke desa-desa sekitar Majasem. Saya
punya keluarga di dekat situ. Di desa Majasem inilah Didi Kempot dimakamkan
kemarin sore. 

Apa hubungan Didi Kempot dengan Desa
Majasem? 

Itulah desa istrinya: Hj Saputri. Yang memberi
pasangan ini dua anak –dua-duanya meninggal saat masih kecil. Lalu mengambil
anak angkat dari lingkungan keluarga sendiri. Anak ini pernah jadi korban bully habis-habisan. Yang akhirnya dijelaskan
bahwa ia memang anak angkat –tapi sudah dianggap anak sendiri.

Didi Kempot bertemu sang istri di Jakarta.
Waktu itu Didi masih sangat sulit. Saputri anak orang berpunya –untuk ukuran
desa.

Setelah nikah, pasangan ini tinggal di Majasem.
Sang istri tidak pernah mau diajak pindah ke Solo, ke kampung Didi. Maka Didi
Kempot-lah yang pulang-pergi Solo-Majasem.

Ketika belakangan Didi Kempot sudah laris,
rumah sang istri itu dipugar. Menjadi rumah yang termegah di desa itu. Adanya
jalan tol Ngawi-Solo membuat jarak Majasem ke Solo tinggal 1 jam –dengan
mobil. 

Mendengar Pamer Bojo versi piano itu saya juga
ingat Pamer Bojo versi Tiara –runner-up Indonesian
Idol RCTI tahun ini. Di grand final Tiara menyanyikan Pamer Bojo –dipopkan.
Lihatlah Pamer Bojo Tiara di YouTube: yang menonton 26 juta orang!

Baca Juga :  Pemko Berkomitmen Mengurangi Penggunaan Kemasan Plastik

Tentu sudah terlalu banyak yang mengulas kehebatan lagu-lagu Didi
Kempot. Tapi saya tetap tidak bisa menjawab: mengapa sejak dua tahun lalu Didi
Kempot begitu diidolakan di kampus-kampus. Para mahasiswa –di mana pun–
begitu gilanya ke lagu-lagu Didi Kempot. Yang semua berideologi patah hati, hancur
batin, dan siksa perasaan. Begitu banyaknyakah mahasiswa yang patah hati –lalu
merasa terwakili oleh lagu seperti Pamer Bojo?

Saya ingat pertunjukan 4 bulan lalu di
Surabaya. Didi Kempot diundang oleh Unesa (d/h IKIP Surabaya). Saya diundang
juga untuk hadir. Begitu gila para mahasiswa di konser itu. Mereka tumplek
bernyanyi bersama, berjingkrat, berjirolupatmonemtuwolu dan bertakgintakgintak
bersama sang raja.

Sebelum acara dimulai saya diminta ke balik
panggung. Baku kangen. Saya pun sempat saling cipika-cipiki. Demikian juga
istri saya. Itulah pertemuan terakhir saya dengan sang raja.

Saya juga kaget Didi Kempot begitu cepat
meninggal dunia. Di usianya yang baru 53 tahun.

Tapi lagu-lagunya akan tetap abadi. Stasiun
Balapan Solo, Cidro, Prapatan Sleko, Perawan Kalimantan, dan terutama Pamer
Bojo tidak akan pernah terlupakan.

Saya pun, setiap pagi, masih akan terus
senam-joget lagu Pamer Bojo. Tentu dengan gerakan yang asyik.

Maafkan, Didi. Saya tidak bisa main piano. Saya
hanya akan terus mengabadikanmu di senamku.(Dahlan Iskan) 

 

Obituari terbaik untuk almarhum Didi Kempot
adalah yang dibuat Jaya Suprana. Bentuknya: permainan piano –alat musik yang
paling dikuasainya. 

Di depan piano milik Ayla itu Pak Jaya
memainkan lagu Didi Kempot yang paling top saat ini: Pamer Bojo. Ayla
merekamnya diam-diam –lihatlah sendiri hasilnya.

Didi Kempot adalah raja campursari Indonesia
–terbaik di dunia. Jaya Suprana adalah raja piano Indonesia –yang sering
melanglang buana.

Jadinya unik: lagu campursari yang milik rakyat
itu dimainkan di piano yang sangat elite. 

Itu karena Pak Jaya –bos Jamu Jago dan Museum
Rekor Indonesia– sangat mengagumi Didi Kempot – -di samping tetap mengagumi
pemusik klasik Beethoven dan sekelasnya.

Saya sering mengikuti tulisan Pak Jaya. Yang
belakangan sangat produktif itu. Tidak hanya sekali Pak Jaya mengulas musik
Didi Kempot. Berkali-kali. Pertanda Pak Jaya sangat mengapresiasi raja
campursari itu.

Pernah Pak Jaya menulis khusus mengenai lagu
Pamer Bojo. Ia bahas syairnya yang menyayat-nyayat hati. ”Begitu dalam makna
syair lagu itu,” tulisnya.

Sampai membuat Pak Jaya mbrebes mili.

Maka begitu mendengar Didi Kempot meninggal
dunia Pak Jaya syok. ”Saya lebih pantas meninggal lebih dulu,” katanya pada
saya.

Setelah kesedihannya reda, Pak Jaya menuju
piano. Di rumah Ayla di Jakarta itu memang ada sebuah piano besar. Itu piano
kuno. ”Type-nya pun saya sudah lupa. Sudah terhapus,” ujar Pak Jaya merendah.
”Piano ini juga tidak pernah distem ulang. Biarlah. Biar nadanya lebih
merakyat,” guraunya.

Saya putar tiga kali Pamer Bojo versi Pak Jaya
itu. Pikiran saya melayang ke mana-mana: ke panggung-panggung bersama sang raja
di kala belum jadi maharaja seperti sekarang. Juga ke Prapatan Sleko –satu
lagunya tentang sebuah perempatan terkenal di kota Madiun. Yang saya (bersama
istri) diminta sebagai bintang video clip-nya.

Baca Juga :  Pemindahan Ibu Kota Harus Tetap Amankan Lingkungan

Kenangan saya juga ke pedesaan di pelosok
Ngawi. Khususnya ke Desa Majasem. Yakni sebuah desa di lereng timur Gunung
Lawu. Di Kecamatan Kendal yang terpencil. 

Saya sering ke desa-desa sekitar Majasem. Saya
punya keluarga di dekat situ. Di desa Majasem inilah Didi Kempot dimakamkan
kemarin sore. 

Apa hubungan Didi Kempot dengan Desa
Majasem? 

Itulah desa istrinya: Hj Saputri. Yang memberi
pasangan ini dua anak –dua-duanya meninggal saat masih kecil. Lalu mengambil
anak angkat dari lingkungan keluarga sendiri. Anak ini pernah jadi korban bully habis-habisan. Yang akhirnya dijelaskan
bahwa ia memang anak angkat –tapi sudah dianggap anak sendiri.

Didi Kempot bertemu sang istri di Jakarta.
Waktu itu Didi masih sangat sulit. Saputri anak orang berpunya –untuk ukuran
desa.

Setelah nikah, pasangan ini tinggal di Majasem.
Sang istri tidak pernah mau diajak pindah ke Solo, ke kampung Didi. Maka Didi
Kempot-lah yang pulang-pergi Solo-Majasem.

Ketika belakangan Didi Kempot sudah laris,
rumah sang istri itu dipugar. Menjadi rumah yang termegah di desa itu. Adanya
jalan tol Ngawi-Solo membuat jarak Majasem ke Solo tinggal 1 jam –dengan
mobil. 

Mendengar Pamer Bojo versi piano itu saya juga
ingat Pamer Bojo versi Tiara –runner-up Indonesian
Idol RCTI tahun ini. Di grand final Tiara menyanyikan Pamer Bojo –dipopkan.
Lihatlah Pamer Bojo Tiara di YouTube: yang menonton 26 juta orang!

Baca Juga :  Pemko Berkomitmen Mengurangi Penggunaan Kemasan Plastik

Tentu sudah terlalu banyak yang mengulas kehebatan lagu-lagu Didi
Kempot. Tapi saya tetap tidak bisa menjawab: mengapa sejak dua tahun lalu Didi
Kempot begitu diidolakan di kampus-kampus. Para mahasiswa –di mana pun–
begitu gilanya ke lagu-lagu Didi Kempot. Yang semua berideologi patah hati, hancur
batin, dan siksa perasaan. Begitu banyaknyakah mahasiswa yang patah hati –lalu
merasa terwakili oleh lagu seperti Pamer Bojo?

Saya ingat pertunjukan 4 bulan lalu di
Surabaya. Didi Kempot diundang oleh Unesa (d/h IKIP Surabaya). Saya diundang
juga untuk hadir. Begitu gila para mahasiswa di konser itu. Mereka tumplek
bernyanyi bersama, berjingkrat, berjirolupatmonemtuwolu dan bertakgintakgintak
bersama sang raja.

Sebelum acara dimulai saya diminta ke balik
panggung. Baku kangen. Saya pun sempat saling cipika-cipiki. Demikian juga
istri saya. Itulah pertemuan terakhir saya dengan sang raja.

Saya juga kaget Didi Kempot begitu cepat
meninggal dunia. Di usianya yang baru 53 tahun.

Tapi lagu-lagunya akan tetap abadi. Stasiun
Balapan Solo, Cidro, Prapatan Sleko, Perawan Kalimantan, dan terutama Pamer
Bojo tidak akan pernah terlupakan.

Saya pun, setiap pagi, masih akan terus
senam-joget lagu Pamer Bojo. Tentu dengan gerakan yang asyik.

Maafkan, Didi. Saya tidak bisa main piano. Saya
hanya akan terus mengabadikanmu di senamku.(Dahlan Iskan) 

 

Terpopuler

Artikel Terbaru