26.3 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Kaya Semarang

Kuburan pun sepi. Padahal Sabtu kemarin adalah hari Cingbing. Pedagang
bunga  –yang biasanya panen raya– ikut gigit jari.
Namun mereka sudah
pintar. Mereka sudah tahu: tahun ini ada Covid-19. Tidak muncul pedagang bunga
dadakan yang memenuhi pinggir jalan.

Pasar bunga pun sepi. Keluarga Tionghoa memilih
mendoakan orang tua di rumah masing-masing.

Mereka tahu resiko tertular Covid-19.
“Jangan sampai terjadi seperti di Semarang,” ujar seorang teman
Tionghoa di Surabaya.

Ada apa di Semarang?

Di kalangan Tionghoa beredar medsos kejadian di
Semarang itu. Empat orang pengusaha meninggal hampir serentak. Banyak lainnya
masuk rumah sakit hampir bersamaan.

“Drama Covid-19 Semarang” mirip
dengan “Drama Gereja GPIB di Bogor”. Atau “Drama Jamaah
Tabligh” di Jakarta. Terlalu banyak tular-menular hanya dari satu
rangkaian acara.

Di Semarang itu yang meninggal sebenarnya
“hanya” empat orang, tetapi semuanya orang kaya raya. Meninggalnya
beruntun pula. Hanya dalam tiga hari. Antara tanggal 25 sampai 28 Maret lalu.

Maka hebohnya melebihi yang lain-lain. Juga karena medsos berseliweran.
Yang benar bercampur dengan yang setengah benar dan yang tidak benar.

Yang terkaya di antara yang kaya itu bernama
–baiknya tidak usah disebut. Saya dikirimi foto-foto lengkap. Termasuk foto
acara ulang tahun dan karaoke itu.

Namun terlalu pahit untuk dipublikasikan. Juga
karena banyak yang tidak ada hubungannya dengan peristiwa.

Yang terkaya itu bisnis di bidang kimia
–pedagang besar barang-barang kimia. Juga dikenal sebagai pengusaha lemah —lemahe akeh banget.

Rumahnya di daerah paling mahal di Semarang:
Jalan Sultan Agung. Di kawasan Candi. Yang dari ketinggian ini bisa melihat ke
bawah: ke pusat kota Semarang. Juga bisa melihat laut yang di utara sana.

Bos-bos Djarum punya rumah di sini. Hartono
bersaudara itu. Rumah mereka di deretan jalan ini. Rumah bos besar Sido Muncul
juga tidak jauh dari sini.

Semarang pun heboh. Dunia orang Tionghoa lebih
heboh lagi. Sudah pula ditambah bumbu-bumbu yang lebih seru. Yang sebenarnya
tidak benar.

Misalnya soal istri orang terkaya di antara
yang meninggal tadi. Dia dikabarkan ikut masuk rumah sakit. Bersama
anak-anaknyi.

Padahal sang istri baik-baik saja. Demikian
juga anak-anaknyi.

Sampai-sampai sang istri harus membuat video.
Klarifikasi. Untuk menunjukkan sang istri dalam keadaan baik-baik saja. Lagi
bersama anak-anaknyi. Bercengkerama di taman di sebelah rumahnyi.

Saya juga mendapatkan video itu.

Kini keluarga tersebut terus sibuk klarifikasi.
Juga mengancam akan menuntut siapa pun yang mengedarkan hoaks tentang keluarga
itu.

Baca Juga :  LKPD Unaudited Tahun 2020 Diserahkan Pemkab

Ups… Kemarin muncul iklan resmi. Iklan
dukacita. Dari keluarga ini. Tidak disebut-sebut bahwa beliau meninggal karena
Covid-19.

Di situ disebutkan bahwa beliau meninggal
karena sakit pernapasan. Ditambah beberapa sakit kronis lainnya: darah tinggi
dan diabetes.

Nama almarhum di iklan itu disebut lengkap:
Agus Setyawan Hartono. Alias Njoo Hok Sing.

Nama istri dan anak-anaknya pun lengkap disebut
di bawahnya. Begitulah memang umumnya iklan dukacita.

Virus corona terbukti tidak mengenal siapa pun.
Uang berlimpah juga tidak bisa menjamin keselamatan nyawa.

Drama itu kian seru karena ada cerita di
baliknya. Ulang tahun suami-istri itu di bulan yang sama. Bulan Maret. Suami di
awal bulan. Istri pertengahan bulan. Hanya beda 10 harian.

Maka di bulan itu ada dua perayaan ulang tahun.
Di rumahnya yang di atas itu. Para pengusaha besar hadir. Kerabat dan keluarga
juga hadir. Termasuk dari Surabaya.

Peluk cium pun terjadi. Lalu mereka berfoto
bersama. Di pinggir kolam renang yang besar.

Apakah mereka saling menularkan Covid-19 di
acara itu? Kalau iya, di acara pertama atau kedua?

Tentu tidak ada yang tahu pasti. Penyelidikan
belum sampai ke sana. Bisa saja bukan karena acara itu.

Bukan?

Bisa jadi. Di antara tanggal dua ulang tahun
tersebut masih ada satu acara lain: arisan. Mereka kumpul di salah satu
restoran milik anggota arisan itu. Juga suami istri.

Banyak juga yang melanjutkan acara itu dengan
karaoke. Kebetulan ada ruang karaoke di lantai atasnya.

Semua orang bergembira. Bahagia.

Saat itu.

Lalu….

Semua orang menjadi sangat sedih. Terutama di
perkumpulan itu. Mereka juga panik. Tentu juga ada yang depresi: bagaimana
orang begitu kaya harus opname di kelas 3.

Itu karena apa boleh buat. Tidak ada lagi kamar
kelas 2. Apa lagi kelas 1. Lebih lagi VIP. Orang yang terkaya di antara empat
itu harus meninggal di kelas 3 itu juga.

Ia tidak sendirian.

Salah satu wanita di perkumpulan itu juga
meninggal di kelas 3 yang sama.

Dia janda. Sudah agak tua. Anak sulungnya yang
satu rumah pun tidak boleh menengoknyi. Demikian juga tiga anak lainnya.

Ketika wanita tersebut meninggal si anak hanya
bisa menyerahkan sepenuhnya jasad ibunya itu ke rumah sakit. Untuk dikuburkan
oleh pihak rumah sakit. Tanpa kehadiran siapa pun.

Baca Juga :  Sinergikan Visi Misi Presiden dan Pemerintah Daerah

Anak-anaknyi itu tentu menangis. Amat sedih. Bagaimana
bisa ibunya sakit keras tanpa bisa menungguinyi. Dan ketika meninggal tidak
bisa di sampingnyi. Bahkan ketika dimakamkan tidak bisa mengantar ke makamnyi.

Untungnyi sang ibu bisa dimakamkan di pemakaman
Tionghoa di Ungaran. Anak-anaknyi yang memohon itu ke rumah sakit. Dengan
mengganti seluruh biaya. Berapa pun.

Sang anak bukan tidak mencintai sang ibu. Tapi
tidak boleh. Pasien yang meninggal karena Covid-19 punya prosedur pemakaman
sendiri.

Namun sang anak juga takut tertular. Lalu harus
masuk rumah sakit. Lebih-lebih mereka takut dengan sal kelas 3 itu.

Kalau sampai ia datang ke rumah sakit berarti
ia harus mengaku: ia tinggal serumah dengan almarhum. Berarti ODP.

Ia membayangkan –yang sebenarnya salah–
begitu dinyatakan ODP harus masuk rumah sakit. Lalu tidak mendapat kamar yang
bagus. Ia harus masuk kelas tiga seperti yang lainnya. Lalu meninggal dunia.

Bayangan itu membuat ia memutuskan: pilih di
rumah saja. Tidak perlu muncul di RS. Biarlah ibunya diurus oleh pihak RS.

Ia pun pilih mengarantina diri di rumah.
Bersama istri, anak, dan pembantu. Total ada 6 orang di rumah itu.

Para tetangga sangat baik. Mau membantu. Mereka
menyiapkan semua keperluan yang lagi isolasi. Dengan cara menyiapkan makanan
yang diminta.

Setiap waktu makan tiba sang tetangga
meletakkan makanan di depan rumah. Begitu si tetangga pergi ia ambil makanan
itu.

Tidak hanya makanan. Apa pun bisa disiapkan
tetangga. Vitamin, buah, dan segala macam keperluan.

Hari Senin ini adalah hari ke 13 mereka
lockdown mandiri. Semua baik-baik saja. Saya ikut mendoakan mereka agar
berhasil melewati hari ke 14 dengan sehat.

Ia tidak sendirian memutuskan cara seperti itu.
Teman-teman lainnya –seperkumpulan– juga melakukan hal yang sama.

Kini kian banyak yang pilih isolasi mandiri di
rumah. Tidak hanya di Semarang. Di seluruh Indonesia. Sambil memperbaiki
kondisi badan secara maksimal. Dengan cara makan sayur dan buah. Dan vitamin.
Dan minum banyak air hangat.

Dan itu bisa meringankan rumah sakit. Toh semua
tahu: belum ada obatnya.

Orang kaya pun kini juga pusing. Hanya
pusingnya memang berbeda dengan yang tidak punya uang.

Coba lihat daftar persoalan orang kaya –dan
orang miskin– yang banyak beredar di medsos ini:

Ups… Pusingnya beda. Hanya urutannya yang sama.(***)

Kuburan pun sepi. Padahal Sabtu kemarin adalah hari Cingbing. Pedagang
bunga  –yang biasanya panen raya– ikut gigit jari.
Namun mereka sudah
pintar. Mereka sudah tahu: tahun ini ada Covid-19. Tidak muncul pedagang bunga
dadakan yang memenuhi pinggir jalan.

Pasar bunga pun sepi. Keluarga Tionghoa memilih
mendoakan orang tua di rumah masing-masing.

Mereka tahu resiko tertular Covid-19.
“Jangan sampai terjadi seperti di Semarang,” ujar seorang teman
Tionghoa di Surabaya.

Ada apa di Semarang?

Di kalangan Tionghoa beredar medsos kejadian di
Semarang itu. Empat orang pengusaha meninggal hampir serentak. Banyak lainnya
masuk rumah sakit hampir bersamaan.

“Drama Covid-19 Semarang” mirip
dengan “Drama Gereja GPIB di Bogor”. Atau “Drama Jamaah
Tabligh” di Jakarta. Terlalu banyak tular-menular hanya dari satu
rangkaian acara.

Di Semarang itu yang meninggal sebenarnya
“hanya” empat orang, tetapi semuanya orang kaya raya. Meninggalnya
beruntun pula. Hanya dalam tiga hari. Antara tanggal 25 sampai 28 Maret lalu.

Maka hebohnya melebihi yang lain-lain. Juga karena medsos berseliweran.
Yang benar bercampur dengan yang setengah benar dan yang tidak benar.

Yang terkaya di antara yang kaya itu bernama
–baiknya tidak usah disebut. Saya dikirimi foto-foto lengkap. Termasuk foto
acara ulang tahun dan karaoke itu.

Namun terlalu pahit untuk dipublikasikan. Juga
karena banyak yang tidak ada hubungannya dengan peristiwa.

Yang terkaya itu bisnis di bidang kimia
–pedagang besar barang-barang kimia. Juga dikenal sebagai pengusaha lemah —lemahe akeh banget.

Rumahnya di daerah paling mahal di Semarang:
Jalan Sultan Agung. Di kawasan Candi. Yang dari ketinggian ini bisa melihat ke
bawah: ke pusat kota Semarang. Juga bisa melihat laut yang di utara sana.

Bos-bos Djarum punya rumah di sini. Hartono
bersaudara itu. Rumah mereka di deretan jalan ini. Rumah bos besar Sido Muncul
juga tidak jauh dari sini.

Semarang pun heboh. Dunia orang Tionghoa lebih
heboh lagi. Sudah pula ditambah bumbu-bumbu yang lebih seru. Yang sebenarnya
tidak benar.

Misalnya soal istri orang terkaya di antara
yang meninggal tadi. Dia dikabarkan ikut masuk rumah sakit. Bersama
anak-anaknyi.

Padahal sang istri baik-baik saja. Demikian
juga anak-anaknyi.

Sampai-sampai sang istri harus membuat video.
Klarifikasi. Untuk menunjukkan sang istri dalam keadaan baik-baik saja. Lagi
bersama anak-anaknyi. Bercengkerama di taman di sebelah rumahnyi.

Saya juga mendapatkan video itu.

Kini keluarga tersebut terus sibuk klarifikasi.
Juga mengancam akan menuntut siapa pun yang mengedarkan hoaks tentang keluarga
itu.

Baca Juga :  LKPD Unaudited Tahun 2020 Diserahkan Pemkab

Ups… Kemarin muncul iklan resmi. Iklan
dukacita. Dari keluarga ini. Tidak disebut-sebut bahwa beliau meninggal karena
Covid-19.

Di situ disebutkan bahwa beliau meninggal
karena sakit pernapasan. Ditambah beberapa sakit kronis lainnya: darah tinggi
dan diabetes.

Nama almarhum di iklan itu disebut lengkap:
Agus Setyawan Hartono. Alias Njoo Hok Sing.

Nama istri dan anak-anaknya pun lengkap disebut
di bawahnya. Begitulah memang umumnya iklan dukacita.

Virus corona terbukti tidak mengenal siapa pun.
Uang berlimpah juga tidak bisa menjamin keselamatan nyawa.

Drama itu kian seru karena ada cerita di
baliknya. Ulang tahun suami-istri itu di bulan yang sama. Bulan Maret. Suami di
awal bulan. Istri pertengahan bulan. Hanya beda 10 harian.

Maka di bulan itu ada dua perayaan ulang tahun.
Di rumahnya yang di atas itu. Para pengusaha besar hadir. Kerabat dan keluarga
juga hadir. Termasuk dari Surabaya.

Peluk cium pun terjadi. Lalu mereka berfoto
bersama. Di pinggir kolam renang yang besar.

Apakah mereka saling menularkan Covid-19 di
acara itu? Kalau iya, di acara pertama atau kedua?

Tentu tidak ada yang tahu pasti. Penyelidikan
belum sampai ke sana. Bisa saja bukan karena acara itu.

Bukan?

Bisa jadi. Di antara tanggal dua ulang tahun
tersebut masih ada satu acara lain: arisan. Mereka kumpul di salah satu
restoran milik anggota arisan itu. Juga suami istri.

Banyak juga yang melanjutkan acara itu dengan
karaoke. Kebetulan ada ruang karaoke di lantai atasnya.

Semua orang bergembira. Bahagia.

Saat itu.

Lalu….

Semua orang menjadi sangat sedih. Terutama di
perkumpulan itu. Mereka juga panik. Tentu juga ada yang depresi: bagaimana
orang begitu kaya harus opname di kelas 3.

Itu karena apa boleh buat. Tidak ada lagi kamar
kelas 2. Apa lagi kelas 1. Lebih lagi VIP. Orang yang terkaya di antara empat
itu harus meninggal di kelas 3 itu juga.

Ia tidak sendirian.

Salah satu wanita di perkumpulan itu juga
meninggal di kelas 3 yang sama.

Dia janda. Sudah agak tua. Anak sulungnya yang
satu rumah pun tidak boleh menengoknyi. Demikian juga tiga anak lainnya.

Ketika wanita tersebut meninggal si anak hanya
bisa menyerahkan sepenuhnya jasad ibunya itu ke rumah sakit. Untuk dikuburkan
oleh pihak rumah sakit. Tanpa kehadiran siapa pun.

Baca Juga :  Sinergikan Visi Misi Presiden dan Pemerintah Daerah

Anak-anaknyi itu tentu menangis. Amat sedih. Bagaimana
bisa ibunya sakit keras tanpa bisa menungguinyi. Dan ketika meninggal tidak
bisa di sampingnyi. Bahkan ketika dimakamkan tidak bisa mengantar ke makamnyi.

Untungnyi sang ibu bisa dimakamkan di pemakaman
Tionghoa di Ungaran. Anak-anaknyi yang memohon itu ke rumah sakit. Dengan
mengganti seluruh biaya. Berapa pun.

Sang anak bukan tidak mencintai sang ibu. Tapi
tidak boleh. Pasien yang meninggal karena Covid-19 punya prosedur pemakaman
sendiri.

Namun sang anak juga takut tertular. Lalu harus
masuk rumah sakit. Lebih-lebih mereka takut dengan sal kelas 3 itu.

Kalau sampai ia datang ke rumah sakit berarti
ia harus mengaku: ia tinggal serumah dengan almarhum. Berarti ODP.

Ia membayangkan –yang sebenarnya salah–
begitu dinyatakan ODP harus masuk rumah sakit. Lalu tidak mendapat kamar yang
bagus. Ia harus masuk kelas tiga seperti yang lainnya. Lalu meninggal dunia.

Bayangan itu membuat ia memutuskan: pilih di
rumah saja. Tidak perlu muncul di RS. Biarlah ibunya diurus oleh pihak RS.

Ia pun pilih mengarantina diri di rumah.
Bersama istri, anak, dan pembantu. Total ada 6 orang di rumah itu.

Para tetangga sangat baik. Mau membantu. Mereka
menyiapkan semua keperluan yang lagi isolasi. Dengan cara menyiapkan makanan
yang diminta.

Setiap waktu makan tiba sang tetangga
meletakkan makanan di depan rumah. Begitu si tetangga pergi ia ambil makanan
itu.

Tidak hanya makanan. Apa pun bisa disiapkan
tetangga. Vitamin, buah, dan segala macam keperluan.

Hari Senin ini adalah hari ke 13 mereka
lockdown mandiri. Semua baik-baik saja. Saya ikut mendoakan mereka agar
berhasil melewati hari ke 14 dengan sehat.

Ia tidak sendirian memutuskan cara seperti itu.
Teman-teman lainnya –seperkumpulan– juga melakukan hal yang sama.

Kini kian banyak yang pilih isolasi mandiri di
rumah. Tidak hanya di Semarang. Di seluruh Indonesia. Sambil memperbaiki
kondisi badan secara maksimal. Dengan cara makan sayur dan buah. Dan vitamin.
Dan minum banyak air hangat.

Dan itu bisa meringankan rumah sakit. Toh semua
tahu: belum ada obatnya.

Orang kaya pun kini juga pusing. Hanya
pusingnya memang berbeda dengan yang tidak punya uang.

Coba lihat daftar persoalan orang kaya –dan
orang miskin– yang banyak beredar di medsos ini:

Ups… Pusingnya beda. Hanya urutannya yang sama.(***)

Terpopuler

Artikel Terbaru