30.8 C
Jakarta
Friday, March 29, 2024

Menang 100

Inilah gambaran hasil pemilu di
Singapura Jumat depan: partai penguasa, PAP, akan menang 100 persen. 

Itulah memang tujuan pemerintah
mendadak melakukan Pemilu. Agar bisa menang mutlak. Hasil survei politik
menjadi landasan keputusan kilat itu. Kalau jadi bisa menang 100 persen itulah
kado terbaik bagi keluarga Lee Kuan Yew, pendiri negeri itu –dari rakyat
Singapura.

Setelah Pemilu nanti, putra
sulung Lee Kuan Yew, Lee Hsien Loong, meletakkan jabatan. Setelah 16 tahun
menjabat perdana menteri.

Tentu rakyat Singapura ingin
memberikan hadiah terbaik. Atas capaian Singapura selama 60 tahun di tangan Lee
Kuan Yew, termasuk oleh anaknya itu.

”Saya pun akan memilih partai
penguasa. Inilah bentuk terima kasih kami kepada Lee Kuan Yew,” ujar seorang
teman di sana. Padahal biasanya sikap politik teman itu sangat independen.

Bagi Lee Hsien Loong sendiri
kemenangan mutlak itu penting. Alasan idealisnya: agar generasi ke-4 pemimpin
Singapura bisa bekerja dengan suasana politik yang tetap tenang. Inilah
peralihan kepemimpinan yang krusial. Bisa saja rakyat Singapura tidak akan
sehormat lagi pada kepemimpinan 4G nanti. Yang memang benar-benar tanpa dinasti
Lee lagi.

Baca Juga :  Warga : Terima Kasih Pak Ben-Nafiah Telah Menepati Janji Membangun Jem

Alasan praktisnya: agar
pemerintah pasca Lee tidak mengungkit-ungkit apa pun yang sudah terjadi selama
ini.

Bagaimana dengan musuh Lee yang
juga bernama Lee. Memang Lee yang adik kini bergabung ke partai oposisi.
Pertengkarannya dengan Lee yang kakak sudah tidak mungkin didamaikan.

Tapi Lee yang adik tidak masuk
caleg dari partai oposisi. Alasannya: justru jangan ada lagi dinasti Lee.

Tapi itu sekaligus melemahkan
partai oposisi. Pertanda bahwa dukungan itu tidak habis-habisan.

Singapura memang tidak
demokratis. UU ujaran kebenciannya sangat keras. Yang tidak suka kepada
pemerintah benar-benar mati kutu.

Kooptasi pada kelompok masyarakat
juga sangat dalam. Negara yang hanya berpenduduk lima juta jiwa itu punya 93
wakil rakyat. Belum lagi 14 wakil rakyat yang diangkat. Ditambah 9 wakil lagi
dari golongan yang tidak terwakili.

Dapilnya kecil-kecil. Tangan
pemerintah benar-benar bisa menjangkau sampai kelompok masyarakat terkecil.

Baca Juga :  Mengalkulasi Ujung Mundurnya Bacawagub Kalteng

Sistem pemerintahan di Singapura
sangat diktator. Tapi diktatornya, ehm, baik hati. Singapura bisa menjadi
contoh ”diktator yang baik bisa menghasilkan kemajuan lebih cepat dari
demokrasi yang tidak baik”.

Sayang sulit sekali mencari
”diktator yang baik hati”. Apalagi di negara sebesar Indonesia.

Sejak awal, Lee Kuan Yew sudah
menantang negara demokrasi. Termasuk negara-negara Barat.

Kelemahan negara demokrasi, kata
Lee, selalu terjebak pada pemilu. Semua pemimpinnya hanya berusaha menyenangkan
rakyat. Termasuk untuk hal-hal yang akan menjerumuskan masa depan rakyat itu
sendiri. Tujuannya satu: agar menang Pemilu.

Negara kampiun demokrasi seperti
Amerika pun kini terjebak hal yang sama: ingin menyenangkan rakyat. Asal menang
pilpres. Walau pun punya dampak terpecahnya bangsa.

Sayang tidak ada mekanisme yang
teruji bagaimana bisa menemukan ”diktator yang baik hati”.

Adakah yang tertarik menyusun
konsep pencarian diktator—baik—hati?

Kalau tidak ada jaminan untuk itu
semua sepakat: demokrasi lebih baik. Asal demokrasi yang disertai berjalannya
sistem hukum. (Dahlan Iskan)

 

Inilah gambaran hasil pemilu di
Singapura Jumat depan: partai penguasa, PAP, akan menang 100 persen. 

Itulah memang tujuan pemerintah
mendadak melakukan Pemilu. Agar bisa menang mutlak. Hasil survei politik
menjadi landasan keputusan kilat itu. Kalau jadi bisa menang 100 persen itulah
kado terbaik bagi keluarga Lee Kuan Yew, pendiri negeri itu –dari rakyat
Singapura.

Setelah Pemilu nanti, putra
sulung Lee Kuan Yew, Lee Hsien Loong, meletakkan jabatan. Setelah 16 tahun
menjabat perdana menteri.

Tentu rakyat Singapura ingin
memberikan hadiah terbaik. Atas capaian Singapura selama 60 tahun di tangan Lee
Kuan Yew, termasuk oleh anaknya itu.

”Saya pun akan memilih partai
penguasa. Inilah bentuk terima kasih kami kepada Lee Kuan Yew,” ujar seorang
teman di sana. Padahal biasanya sikap politik teman itu sangat independen.

Bagi Lee Hsien Loong sendiri
kemenangan mutlak itu penting. Alasan idealisnya: agar generasi ke-4 pemimpin
Singapura bisa bekerja dengan suasana politik yang tetap tenang. Inilah
peralihan kepemimpinan yang krusial. Bisa saja rakyat Singapura tidak akan
sehormat lagi pada kepemimpinan 4G nanti. Yang memang benar-benar tanpa dinasti
Lee lagi.

Baca Juga :  Warga : Terima Kasih Pak Ben-Nafiah Telah Menepati Janji Membangun Jem

Alasan praktisnya: agar
pemerintah pasca Lee tidak mengungkit-ungkit apa pun yang sudah terjadi selama
ini.

Bagaimana dengan musuh Lee yang
juga bernama Lee. Memang Lee yang adik kini bergabung ke partai oposisi.
Pertengkarannya dengan Lee yang kakak sudah tidak mungkin didamaikan.

Tapi Lee yang adik tidak masuk
caleg dari partai oposisi. Alasannya: justru jangan ada lagi dinasti Lee.

Tapi itu sekaligus melemahkan
partai oposisi. Pertanda bahwa dukungan itu tidak habis-habisan.

Singapura memang tidak
demokratis. UU ujaran kebenciannya sangat keras. Yang tidak suka kepada
pemerintah benar-benar mati kutu.

Kooptasi pada kelompok masyarakat
juga sangat dalam. Negara yang hanya berpenduduk lima juta jiwa itu punya 93
wakil rakyat. Belum lagi 14 wakil rakyat yang diangkat. Ditambah 9 wakil lagi
dari golongan yang tidak terwakili.

Dapilnya kecil-kecil. Tangan
pemerintah benar-benar bisa menjangkau sampai kelompok masyarakat terkecil.

Baca Juga :  Mengalkulasi Ujung Mundurnya Bacawagub Kalteng

Sistem pemerintahan di Singapura
sangat diktator. Tapi diktatornya, ehm, baik hati. Singapura bisa menjadi
contoh ”diktator yang baik bisa menghasilkan kemajuan lebih cepat dari
demokrasi yang tidak baik”.

Sayang sulit sekali mencari
”diktator yang baik hati”. Apalagi di negara sebesar Indonesia.

Sejak awal, Lee Kuan Yew sudah
menantang negara demokrasi. Termasuk negara-negara Barat.

Kelemahan negara demokrasi, kata
Lee, selalu terjebak pada pemilu. Semua pemimpinnya hanya berusaha menyenangkan
rakyat. Termasuk untuk hal-hal yang akan menjerumuskan masa depan rakyat itu
sendiri. Tujuannya satu: agar menang Pemilu.

Negara kampiun demokrasi seperti
Amerika pun kini terjebak hal yang sama: ingin menyenangkan rakyat. Asal menang
pilpres. Walau pun punya dampak terpecahnya bangsa.

Sayang tidak ada mekanisme yang
teruji bagaimana bisa menemukan ”diktator yang baik hati”.

Adakah yang tertarik menyusun
konsep pencarian diktator—baik—hati?

Kalau tidak ada jaminan untuk itu
semua sepakat: demokrasi lebih baik. Asal demokrasi yang disertai berjalannya
sistem hukum. (Dahlan Iskan)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru