28.4 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Pencalonan Kepala Daerah Diluar Rekomendasi DPP Parpol, Terancam Pidan

KOALISI partai politik dalam pemilihan kepala daerah tidak ada
kaitannya dengan koalisi dalam pemilihan presiden. Meski demikian, legalitas
atas terbentuknya koalisi itu tetap di tangan dewan pimpinan pusat (DPP) parpol
masing-masing. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi, pencalonan melalui koalisi
yang dimaksud terancam gagal.

“Jadi, nanti DPP partai A, B, dan
seterusnya berkomunikasi. Lalu, calonnya diserahkan ke KPU kabupaten/kota atau
provinsi sebagai calon kepala daerah,” terang Komisioner KPU Ilham Saputra
belum lama ini.

Setiap parpol boleh berkoalisi
dengan partai mana pun untuk mencalonkan kepala daerah. Tidak harus bergantung
koalisi di Pemilu 2019. “Asal memenuhi syarat 20 persen (kursi),” lanjutnya.
Tepatnya, 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah pemilu terakhir.

Aturan tersebut ada di PKPU Nomor
3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Kepala Daerah. Artinya, koalisi parpol itu
menghasilkan 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah pemilu.

Baca Juga :  Begini Penjelasan H Anang Kato Soal Pembelian Lahan yang Dipagari Denp

Komisioner KPU Hasyim Asy’ari
mengingatkan, paslon yang bisa dicalonkan adalah yang mendapat SK dari DPP
parpol masing-masing. “Jadi, tidak ada pasangan calon di luar yang di-SK-kan
atau direkomendasikan DPP,” terangnya. Bila dicalonkan koalisi parpol, harus
ada tanda tangan dari otoritas di DPP parpol tersebut.

Ada ancaman pidana bagi pengurus
parpol di daerah yang mencalonkan kepala daerah di luar rekomendasi DPP.
Ancaman yang sama juga berlaku bagi KPU provinsi dan kabupaten/kota bila mereka
menerima pendaftaran paslon yang tidak menyertakan SK DPP parpol.

Pencalonan tanpa surat resmi dari
DPP parpol mungkin saja terjadi dalam bentuk pemalsuan atau manipulasi surat
keterangan, termasuk SK DPP parpol. Pelanggaran semacam itu diatur dalam pasal
184 UU Nomor 8 Tahun 2015 yang sudah diperbarui menjadi UU Nomor 10 Tahun 2016
tentang Pilkada. Ancaman hukumannya 3 sampai 6 tahun penjara dan denda Rp 36
juta sampai Rp 72 juta.

Baca Juga :  Hasil Patungan Pengurus dan Anggota, TKCI Bagi-Bagi Takjil

Sementara itu, KPU yang
meloloskan pencalonan dengan legalitas yang dipalsukan bisa dijerat dengan
pasal 181 UU No 1 Tahun 2015. Ancamannya sama, yakni 3 sampai 6 tahun penjara
dan denda Rp 36 juta sampai Rp 72 juta.

Hasyim juga menegaskan kebebasan
bagi parpol untuk saling berkoalisi satu sama lain tanpa bergantung koalisi
pemilu. Tidak ada lagi koalisi 01 atau 02. “Yang semula bertentangan akan
mencari pasangan masing-masing untuk pilkada, karena kecocokannya pasti
berubah,” tambahnya.

Menurut Hasyim, cairnya koalisi
dalam pilkada itu adalah pelajaran penting bagi rakyat Indonesia. “Nggak ada
kawan dan lawan abadi dalam politik. Yang abadi adalah kecocokan dan kepuasan
batin,” imbuh mantan komisioner KPU Jateng itu. (JPC/KPC)

KOALISI partai politik dalam pemilihan kepala daerah tidak ada
kaitannya dengan koalisi dalam pemilihan presiden. Meski demikian, legalitas
atas terbentuknya koalisi itu tetap di tangan dewan pimpinan pusat (DPP) parpol
masing-masing. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi, pencalonan melalui koalisi
yang dimaksud terancam gagal.

“Jadi, nanti DPP partai A, B, dan
seterusnya berkomunikasi. Lalu, calonnya diserahkan ke KPU kabupaten/kota atau
provinsi sebagai calon kepala daerah,” terang Komisioner KPU Ilham Saputra
belum lama ini.

Setiap parpol boleh berkoalisi
dengan partai mana pun untuk mencalonkan kepala daerah. Tidak harus bergantung
koalisi di Pemilu 2019. “Asal memenuhi syarat 20 persen (kursi),” lanjutnya.
Tepatnya, 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah pemilu terakhir.

Aturan tersebut ada di PKPU Nomor
3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Kepala Daerah. Artinya, koalisi parpol itu
menghasilkan 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah pemilu.

Baca Juga :  Begini Penjelasan H Anang Kato Soal Pembelian Lahan yang Dipagari Denp

Komisioner KPU Hasyim Asy’ari
mengingatkan, paslon yang bisa dicalonkan adalah yang mendapat SK dari DPP
parpol masing-masing. “Jadi, tidak ada pasangan calon di luar yang di-SK-kan
atau direkomendasikan DPP,” terangnya. Bila dicalonkan koalisi parpol, harus
ada tanda tangan dari otoritas di DPP parpol tersebut.

Ada ancaman pidana bagi pengurus
parpol di daerah yang mencalonkan kepala daerah di luar rekomendasi DPP.
Ancaman yang sama juga berlaku bagi KPU provinsi dan kabupaten/kota bila mereka
menerima pendaftaran paslon yang tidak menyertakan SK DPP parpol.

Pencalonan tanpa surat resmi dari
DPP parpol mungkin saja terjadi dalam bentuk pemalsuan atau manipulasi surat
keterangan, termasuk SK DPP parpol. Pelanggaran semacam itu diatur dalam pasal
184 UU Nomor 8 Tahun 2015 yang sudah diperbarui menjadi UU Nomor 10 Tahun 2016
tentang Pilkada. Ancaman hukumannya 3 sampai 6 tahun penjara dan denda Rp 36
juta sampai Rp 72 juta.

Baca Juga :  Hasil Patungan Pengurus dan Anggota, TKCI Bagi-Bagi Takjil

Sementara itu, KPU yang
meloloskan pencalonan dengan legalitas yang dipalsukan bisa dijerat dengan
pasal 181 UU No 1 Tahun 2015. Ancamannya sama, yakni 3 sampai 6 tahun penjara
dan denda Rp 36 juta sampai Rp 72 juta.

Hasyim juga menegaskan kebebasan
bagi parpol untuk saling berkoalisi satu sama lain tanpa bergantung koalisi
pemilu. Tidak ada lagi koalisi 01 atau 02. “Yang semula bertentangan akan
mencari pasangan masing-masing untuk pilkada, karena kecocokannya pasti
berubah,” tambahnya.

Menurut Hasyim, cairnya koalisi
dalam pilkada itu adalah pelajaran penting bagi rakyat Indonesia. “Nggak ada
kawan dan lawan abadi dalam politik. Yang abadi adalah kecocokan dan kepuasan
batin,” imbuh mantan komisioner KPU Jateng itu. (JPC/KPC)

Terpopuler

Artikel Terbaru