27.3 C
Jakarta
Tuesday, November 26, 2024

Ventilator Salman

Dosen ITB ini tidak terkena Covid-19, tetapi mengisolasi diri di Masjid
Salman, ITB, Bandung.

Di situ sang dosen merenung: bagaimana bisa
membantu penderita Covid-19. Sesuai dengan keahliannya.

Maka terciptalah ventilator made in Indonesia. Namanya:
Vent-I.

Inilah alat kesehatan yang sangat diperlukan
saat ini –di samping alat pelindung diri (APD). Sampai-sampai Presiden Donald
Trump bertengkar dengan para gubernur di Amerika. Ya gara-gara semua rumah
sakit kekurangan ventilator.

Akhirnya Trump menggunakan UU Pertahanan: minta
pabrik mobil Ford, GM, dan pabrik turbin GE memproduksi ventilator. Itu pun
sulit sekali.

Jumlah yang meninggal akibat Covid-19 di
Amerika terus membumbung. Sampai kontainer berpendingin dijajar di halaman
rumah sakit di New York: dijadikan kamar mayat tambahan.

Itu pula yang dibayangkan Dr. Ir. Syarif
Hidayat –dosen ITB yang lagi lockdown di
Masjid Salman itu.

”Sudah dua minggu ini saya tidak pulang. Siang
malam mengerjakan rancangan ventilator ini,” katanya.

Saya ternyata pernah beberapa kali bertemu Dr. Syarif Hidayat. Dulu.
Saat beberapa kali ke ITB –untuk memberikan kuliah umum.

Ventilator penemuan Syarif ini sudah mendekati
babak final. Kemarin tim dari Kementerian Kesehatan sudah datang ke Masjid
Salman. Untuk menguji ventilator pertama made in Indonesia itu.

Alat tersebut dikalibrasi. Diuji. Dites.
”Mudah-mudahan beberapa hari lagi izin dari Kementerian Kesehatan keluar,” ujar
Syarif.

Syarif sangat optimistis. Ia sudah
berkonsultasi dengan tim dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran,
Bandung.

Unpad sudah memberikan rekomendasi. Alat
tersebut bisa dipakai. Bisa berfungsi.

Dengan rekomendasi FK Unpad itulah Syarif maju
ke Kementerian Kesehatan.

Lewat tengah malam, ketika ide ventilator itu
lahir, Syarif perlu uang untuk membuat modelnya. Namun ia tidak mau jauh-jauh
mencari dana.

Itu terlalu lama dan rumit. Ia minta saja uang
ke pengurus Masjid Salman. Menggunakan dana masjid.

Itu tidak sulit. Syarif sendiri pernah menjadi
ketua takmir Masjid Salman. Bahkan dua periode. Ia tahu uang yang ia minta itu
masih dalam kemampuan masjid. Dan ia optimistis karyanya itu tidak akan
sia-sia.

Baca Juga :  Abaikan Prokes, Satgas Covid Bubarkan Lomba Menangkap Ikan

Saya percaya itu. Saya pun langsung memesan 50
buah. Agar proyek Syarif ini cepat berkembang.

Saya tahu ventilator Syarif ini –ia memberi
nama Vent-I, singkatan dari Ventilator Portable Indonesia– bukan yang sangat
wah. Wujud fisiknya tidak akan secantik ventilator bikinan luar negeri. Yang
sudah kompak itu.

Namun saya setuju: yang terpenting adalah
fungsinya. 

Syarif sendiri tidak mau memberikan harapan
yang berlebihan. ”Vent-I ini khusus untuk pasien yang di luar ICU,” katanya.

Justru itu yang penting. Terutama dalam keadaan
wabah seperti ini. Sedapat mungkin pasien dicegat dulu di ruang perawatan.
Jangan sampai banyak yang masuk ICU. Tidak akan ada ICU yang mampu menampung.

Tanpa bantuan ventilator, oksigen yang masuk
tubuh sangat minim. Akhirnya fungsi bagian-bagian tubuh yang lain terganggu.
Ujung-ujungnya pasien menjadi gawat –harus masuk ICU.

Padahal, saat ini, umumnya rumah sakit hanya
punya dua ventilator. Maksimum tiga buah –khusus di rumah sakit besar. Itu pun
hanya ada di ICU. Praktis tidak ada rumah sakit yang punya ventilator di luar
ICU.

Itu lantaran harga ventilator memang mahal.
Bisa mencapai Rp 300 juta/unit. Memang sudah ada ventilator portable. Bikinan
Tiongkok. Yang harganya bisa Rp 25 juta/unit.

Namun, kini, tidak ada barangnya. Jadi rebutan
sedunia.

New York saja, satu kota, memerlukan 70.000
ventilator saat ini. Sampai-sampai Trump tidak percaya. Dikira satu rumah sakit
hanya perlu dua atau tiga ventilator.

Kelangkaan itu pula yang membuat rumah sakit
mulai bikin skenario darurat: pasien yang sudah tidak ada harapan jangan diberi
ventilator.

Atau ventilator yang sudah terpasang pun
dicabut saja. Kalau pasien yang sudah lama dipasangi ventilator itu tidak
mendapat kemajuan.

Itulah yang dibayangkan Syarif: jangan sampai
terjadi. Kelangkaan ventilator harus diatasi. ”Kalau perlu ventilator ini bisa
dipakai Indonesia untuk meningkatkan diplomasi,” kata Syarif.

Ia yakin Indonesia bisa ekspor Vent-I
besar-besaran. Untuk itu Syarif membuka diri: silakan saja. Siapa pun yang
punya kemampuan bisa memproduksi Vent-I.

Baca Juga :  Abaikan Teguran, Satgas Covid-19 Tahan KTP Beberapa Warga Tak Taati PS

Syarif memperkirakan pabrik elektronik seperti
Polytron dan pabrik mesin seperti Pura Barutama mampu mengerjakannya.

Demikian juga BUMN seperti PT Dirgantara
Indonesia dan PT Len Bandung. Syarif siap menyerahkan gambar desain yang siap
produksi.

Syarif sudah memikirkan rantai pasoknya. Ia
sudah menghindarkan diri dari sistem pasok alat kesehatan. Agar komponen Vent-I
itu mudah didapat di pasar bebas.

”Kalau menggunakan komponen alat-alat kesehatan
tidak mungkin lagi. Sudah langka di seluruh dunia,” katanya.

Misalnya saja pompa. Syarif memakai pompa air
yang ada di pasar. Demikian juga selang. Syarif menggunakan selang mesin cuci
baju itu.

Biaya total satu unit Vent-I ini bisa ditekan
menjadi sekitar Rp 12,5 juta. Sangat hemat untuk negara-negara miskin.

Tentu Syarif masih menunggu izin edar dari
Kemenkes. Beberapa hari lagi. Tim Kemenkes sendiri sudah sangat proaktif.
Mereka yang sudah datang ke Bandung.

Teman-teman Syarif di ITB tidak heran atas
penemuannya kali ini. Syarif dikenal sebagai dosen yang sering menemukan
teknologi baru.

Ventilator ini, kata seorang temannya, segini
bagi Syarif –sambil teman itu menjentikkan jari kelingkingnya.

Syarif pernah menemukan teknologi kapal. Khusus
untuk memasang kabel bawah laut. Kabel listrik maupun kabel optik.

Sebutkan di mana ada kabel bawah laut –di situ
pasti ada nama Syarif Hidayat.

Ia itu Si Doel Anak Betawi dalam versi yang
cerdas dan kreatif. Ia lahir di Jakarta. Hanya SMA-nya di SMAN3 Bandung.

Lalu masuk teknik elektro (arus kuat) ITB.
Gelar masternya juga diraih di ITB. Sedang gelar doktor ia peroleh dari Tokyo
University, Jepang.

Waktu saya telepon kemarin, Syarif masih terus
di lokasi lockdown-nya.
Salat malamnya pun dilakukan di bengkel daruratnya itu, di Masjid Salman itu.

Nikmat apa lagi yang masih akan kita dustakan
dari Masjid Salman ini.(dahlan iskan)

Dosen ITB ini tidak terkena Covid-19, tetapi mengisolasi diri di Masjid
Salman, ITB, Bandung.

Di situ sang dosen merenung: bagaimana bisa
membantu penderita Covid-19. Sesuai dengan keahliannya.

Maka terciptalah ventilator made in Indonesia. Namanya:
Vent-I.

Inilah alat kesehatan yang sangat diperlukan
saat ini –di samping alat pelindung diri (APD). Sampai-sampai Presiden Donald
Trump bertengkar dengan para gubernur di Amerika. Ya gara-gara semua rumah
sakit kekurangan ventilator.

Akhirnya Trump menggunakan UU Pertahanan: minta
pabrik mobil Ford, GM, dan pabrik turbin GE memproduksi ventilator. Itu pun
sulit sekali.

Jumlah yang meninggal akibat Covid-19 di
Amerika terus membumbung. Sampai kontainer berpendingin dijajar di halaman
rumah sakit di New York: dijadikan kamar mayat tambahan.

Itu pula yang dibayangkan Dr. Ir. Syarif
Hidayat –dosen ITB yang lagi lockdown di
Masjid Salman itu.

”Sudah dua minggu ini saya tidak pulang. Siang
malam mengerjakan rancangan ventilator ini,” katanya.

Saya ternyata pernah beberapa kali bertemu Dr. Syarif Hidayat. Dulu.
Saat beberapa kali ke ITB –untuk memberikan kuliah umum.

Ventilator penemuan Syarif ini sudah mendekati
babak final. Kemarin tim dari Kementerian Kesehatan sudah datang ke Masjid
Salman. Untuk menguji ventilator pertama made in Indonesia itu.

Alat tersebut dikalibrasi. Diuji. Dites.
”Mudah-mudahan beberapa hari lagi izin dari Kementerian Kesehatan keluar,” ujar
Syarif.

Syarif sangat optimistis. Ia sudah
berkonsultasi dengan tim dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran,
Bandung.

Unpad sudah memberikan rekomendasi. Alat
tersebut bisa dipakai. Bisa berfungsi.

Dengan rekomendasi FK Unpad itulah Syarif maju
ke Kementerian Kesehatan.

Lewat tengah malam, ketika ide ventilator itu
lahir, Syarif perlu uang untuk membuat modelnya. Namun ia tidak mau jauh-jauh
mencari dana.

Itu terlalu lama dan rumit. Ia minta saja uang
ke pengurus Masjid Salman. Menggunakan dana masjid.

Itu tidak sulit. Syarif sendiri pernah menjadi
ketua takmir Masjid Salman. Bahkan dua periode. Ia tahu uang yang ia minta itu
masih dalam kemampuan masjid. Dan ia optimistis karyanya itu tidak akan
sia-sia.

Baca Juga :  Abaikan Prokes, Satgas Covid Bubarkan Lomba Menangkap Ikan

Saya percaya itu. Saya pun langsung memesan 50
buah. Agar proyek Syarif ini cepat berkembang.

Saya tahu ventilator Syarif ini –ia memberi
nama Vent-I, singkatan dari Ventilator Portable Indonesia– bukan yang sangat
wah. Wujud fisiknya tidak akan secantik ventilator bikinan luar negeri. Yang
sudah kompak itu.

Namun saya setuju: yang terpenting adalah
fungsinya. 

Syarif sendiri tidak mau memberikan harapan
yang berlebihan. ”Vent-I ini khusus untuk pasien yang di luar ICU,” katanya.

Justru itu yang penting. Terutama dalam keadaan
wabah seperti ini. Sedapat mungkin pasien dicegat dulu di ruang perawatan.
Jangan sampai banyak yang masuk ICU. Tidak akan ada ICU yang mampu menampung.

Tanpa bantuan ventilator, oksigen yang masuk
tubuh sangat minim. Akhirnya fungsi bagian-bagian tubuh yang lain terganggu.
Ujung-ujungnya pasien menjadi gawat –harus masuk ICU.

Padahal, saat ini, umumnya rumah sakit hanya
punya dua ventilator. Maksimum tiga buah –khusus di rumah sakit besar. Itu pun
hanya ada di ICU. Praktis tidak ada rumah sakit yang punya ventilator di luar
ICU.

Itu lantaran harga ventilator memang mahal.
Bisa mencapai Rp 300 juta/unit. Memang sudah ada ventilator portable. Bikinan
Tiongkok. Yang harganya bisa Rp 25 juta/unit.

Namun, kini, tidak ada barangnya. Jadi rebutan
sedunia.

New York saja, satu kota, memerlukan 70.000
ventilator saat ini. Sampai-sampai Trump tidak percaya. Dikira satu rumah sakit
hanya perlu dua atau tiga ventilator.

Kelangkaan itu pula yang membuat rumah sakit
mulai bikin skenario darurat: pasien yang sudah tidak ada harapan jangan diberi
ventilator.

Atau ventilator yang sudah terpasang pun
dicabut saja. Kalau pasien yang sudah lama dipasangi ventilator itu tidak
mendapat kemajuan.

Itulah yang dibayangkan Syarif: jangan sampai
terjadi. Kelangkaan ventilator harus diatasi. ”Kalau perlu ventilator ini bisa
dipakai Indonesia untuk meningkatkan diplomasi,” kata Syarif.

Ia yakin Indonesia bisa ekspor Vent-I
besar-besaran. Untuk itu Syarif membuka diri: silakan saja. Siapa pun yang
punya kemampuan bisa memproduksi Vent-I.

Baca Juga :  Abaikan Teguran, Satgas Covid-19 Tahan KTP Beberapa Warga Tak Taati PS

Syarif memperkirakan pabrik elektronik seperti
Polytron dan pabrik mesin seperti Pura Barutama mampu mengerjakannya.

Demikian juga BUMN seperti PT Dirgantara
Indonesia dan PT Len Bandung. Syarif siap menyerahkan gambar desain yang siap
produksi.

Syarif sudah memikirkan rantai pasoknya. Ia
sudah menghindarkan diri dari sistem pasok alat kesehatan. Agar komponen Vent-I
itu mudah didapat di pasar bebas.

”Kalau menggunakan komponen alat-alat kesehatan
tidak mungkin lagi. Sudah langka di seluruh dunia,” katanya.

Misalnya saja pompa. Syarif memakai pompa air
yang ada di pasar. Demikian juga selang. Syarif menggunakan selang mesin cuci
baju itu.

Biaya total satu unit Vent-I ini bisa ditekan
menjadi sekitar Rp 12,5 juta. Sangat hemat untuk negara-negara miskin.

Tentu Syarif masih menunggu izin edar dari
Kemenkes. Beberapa hari lagi. Tim Kemenkes sendiri sudah sangat proaktif.
Mereka yang sudah datang ke Bandung.

Teman-teman Syarif di ITB tidak heran atas
penemuannya kali ini. Syarif dikenal sebagai dosen yang sering menemukan
teknologi baru.

Ventilator ini, kata seorang temannya, segini
bagi Syarif –sambil teman itu menjentikkan jari kelingkingnya.

Syarif pernah menemukan teknologi kapal. Khusus
untuk memasang kabel bawah laut. Kabel listrik maupun kabel optik.

Sebutkan di mana ada kabel bawah laut –di situ
pasti ada nama Syarif Hidayat.

Ia itu Si Doel Anak Betawi dalam versi yang
cerdas dan kreatif. Ia lahir di Jakarta. Hanya SMA-nya di SMAN3 Bandung.

Lalu masuk teknik elektro (arus kuat) ITB.
Gelar masternya juga diraih di ITB. Sedang gelar doktor ia peroleh dari Tokyo
University, Jepang.

Waktu saya telepon kemarin, Syarif masih terus
di lokasi lockdown-nya.
Salat malamnya pun dilakukan di bengkel daruratnya itu, di Masjid Salman itu.

Nikmat apa lagi yang masih akan kita dustakan
dari Masjid Salman ini.(dahlan iskan)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Terpopuler

Artikel Terbaru