TANGGAL 7 Januari 2015, Said Kouachi dan Cherif Kouachi (Kouachi
bersaudara yang dikenal fundamentalis itu) melakukan aksi penembakan ke markas
majalah satire Charlie Hebdo (CH) di Paris (Prancis). Tidak kurang 12 orang
tewas dan 11 lainnya luka-luka. Insiden penembakan itu dipicu publikasi
karikatur Nabi Muhammad oleh majalah CH.
Lima tahun kemudian, 16 Oktober
2020, hal mengerikan terjadi di Kota Conflans-Sainte-Honorine, yang berjarak
sekitar 30 km dari barat laut Paris Pusat. Kaum fundamentalis Islam memenggal
kepala seorang guru di Prancis bernama Samuel Paty, 47 tahun, yang sebelumnya
menunjukkan kartun Nabi Muhammad kepada murid-muridnya.
Presiden Prancis Emmanuel Macron
menyatakan, guru itu dibunuh karena mengajarkan â€kebebasan berekspresiâ€. Dengan
alasan itulah, Macron kemudian membela dan tidak akan menghentikan majalah CH
yang mencetak ulang karikatur Nabi Muhammad. Cetak ulang itu dilakukan sehari
sebelum persidangan untuk mengadili tersangka pelaku terorisme yang menyerang
kantor mereka pada 2015 dilangsungkan.
Kita tentu bersepakat mengutuk
aksi pembunuhan keji yang menimpa jurnalis majalah CH (2015) dan Samuel Paty
(2020). Sebab, Islam tidak pernah mengajarkan aksi biadab seperti itu. Namun,
tentang bagaimana Macron memaknai Islam dan kebebasan, ini perlu dikoreksi.
Sebab, jika dibiarkan, citra Islam akan buruk dan tentu saja bisa meningkatkan
islamofobia.
Memaknai Islam
Dalam artikel berjudul Life in
Peace: An Islamic Perspective yang dimuat Bulletin of Peace Proposals (Vol. 18,
No. 3: 1987), Hassan Hanafi –pemikir Islam Mesir berpengaruh– menjelaskan makna
Islam dengan jernih. Dia mengatakan bahwa Islam, sebagai agama, diperoleh dari
akar kata yang sama dengan salam, yang berarti damai.
Kata salam, yang berarti damai
atau perdamaian dalam semua bentuk kejadiannya, disebut secara konstan
berkali-kali dalam Alquran sebagai kata benda dibanding kata kerja. Hanafi
mencatat, kata salam muncul di dalam Alquran 157 kali. Sebagai kata benda 79
kali, sebagai kata sifat 50 kali, dan sebagai kata kerja 28 kali. Karena kata
sifat banyak digunakan untuk menerangkan kata benda, maka secara efektif
digunakan sebagai kata benda sebanyak 129 kali.
Karena kata benda adalah suatu
substansi, sementara kata kerja adalah suatu tindakan, kita dapat mengatakan
bahwa damai yang ditandai oleh kata salam sebagai kata benda adalah suatu
substansi, suatu struktur, dan suatu sistem dunia tidak hanya suatu tindakan.
Itu adalah suatu kenyataan objektif, yang tidak hanya sesuatu yang berhubungan
dengan suasana hati. Islam, oleh karena itu, adalah agama damai dan bukan agama
penganjur pembunuhan.
Kata Islam, terang Hanafi,
awalnya digunakan sebagai kata sifat dibanding kata benda. Segera setelah Islam
diadopsi sebagai sistem kepercayaan oleh perorangan atau kelompok, Islam
menjadi suatu tindakan dan suatu gaya hidup, tunggal atau jamak, maskulin atau
feminin. Salah satu turunan dari kata benda adalah al-silm, yang berarti pada
waktu yang sama Islam dan damai.
Al salam, yang berarti damai,
adalah salah satu dari 99 sifat yang dimiliki Tuhan. Karena nama-nama Tuhan
dipahami sebagai suatu kode perdamaian dan etika universal, maka, mereka
menjadi bagian dari perilaku manusia, baik secara individu maupun kolektif.
Karena nama Tuhan adalah kudus
dan disucikan, tidak ada muslim yang dapat memanggil dirinya sendiri sebagai al
salam. Tapi, muslim bisa dipanggil dengan sebutan abd al-salam, yang berarti
hamba dari damai atau perdamaian. Nabi Muhammad adalah cermin dari apa yang
disebut dengan abd al-salam.
Jadi, apabila ada muslim yang
perilakunya menyimpang dari pemaknaan Islam yang demikian, dia bukanlah pengikut
Nabi Muhammad. Sebab, mereka tidak mencerminkan Islam sama sekali. Mereka
hanyalah teroris yang menafsirkan Islam secara salah, dan teroris kemudian
memanfaatkannya untuk menjustifikasi aksi biadabnya tersebut.
Itu artinya, pemaknaan Macron
tentang Islam adalah sesat pikir. Begitu pula dengan publikasi majalah CH, ini
juga tidak bisa dibenarkan. Satiris dalam karikatur majalah tersebut tentang
Nabi Muhammad sepenuhnya tidak akurat. Jadi, janganlah menggeneralisasi
terorisme dan mengaitkannya dengan Islam. Silakan menyatirekan para pelaku
teror, tapi jangan Nabi Muhammad yang bisa mencederai perasaan umat Islam.
Memaknai Kebebasan
Jika majalah CH dan Macron tetap
bersikukuh bahwa hinaan terhadap Nabi Muhammad dan Islam itu adalah bagian dari
kebebasan berekspresi, hal ini hanya akan membawa keduanya pada pemaknaan
kebebasan yang patologis dan ironis. Padahal, Plato dalam bukunya yang
terkenal, Republik, pernah mengingatkan, ’’kebebasan memang merupakan kebajikan
demokrasi yang terbaik, tetapi demokrasi adalah keadaan yang hanya cocok untuk
manusia yang sehat rohaninyaâ€.
Bagi Plato, sebagaimana dikutip
Daisaku Ikeda dalam For the Sake of Peace (2001), dengan mendukung pencarian
kebebasan yang tidak terpuaskan, demokrasi hanya akan menumbuhkan hasrat luar
biasa besar yang secara bertahap â€merebut benteng pertahanan rohani manusiaâ€
dan menggiringnya ke jalan kesombongan. Kebebasan akan membuat keadaan menjadi
liar, karena nilainya itu telah diyakini dengan salah oleh manusia yang tidak
sehat rohaninya.
Apa yang diperingatkan Plato
melalui buku Republik itu adalah agar tiap-tiap individu bisa melakukan
penguasaan diri dari dalam (rohani). Tujuannya tidak lain agar pemahaman kita
tentang nilai-nilai (demokrasi dan agama) tidak disalahartikan. Tetap sesuai
dengan kebaikan yang terkandung di dalam nilai-nilai tersebut.
Dalam bentuk yang paling konkret,
pemaknaan kebebasan Platonis itu hanya bisa dipahami melalui perkataan Albert
Camus berikut ini: â€kebebasan berarti tanggung jawabâ€. Kebebasan ini menuntut ekspresi
yang dilandasi pengetahuan objektif. Seperti itulah seharusnya majalah CH dan
Macron memaknai kebebasan.(*)
(Penulis adalah peneliti, pendiri
The Asrudian Center)