OMNIBUS Law Cipta Kerja menjadi bahasan panas bagi
publik karena dianggap bertentangan dengan Undang รขโฌโ Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, yang dimana itu adalah hak Otonomi Daerah dan
bahkan berpotensi merusak kedudukan Otonomi Daerah.
Berbicara mengenai Omnibus Law Cipta kerja memeiliki beberapa keunggulan dan salah satunya adalah kepraktisan
untuk mengoreksi banyak regulasi bermasalah. รขโฌลMeningkatkan kecepatan dalam
penyusunan undang-undang, dengan menyusun sebuah Omnibus Law sekaligus
mengoreksi undang-undang bermasalah yang sedang berlaku. Pendekatan Omnibus Law
juga bisa menjadi solusi atas tumpang tindih regulasi di Indonesia. Baik
yang dalam hubungan hirarki sejajar horizontal maupun vertikal. Diakui penyusunan omnibus
law berbiaya mahal dan tidak sederhana karena substansinya pasti multisektor
dan dipersiapkan untuk super power.
Dengan metode
omnibus law,
banyaknya jumlah pasal suatu undang-undang maka menjadi tidak terhindarkan.
Dengan sifatnya mandiri atau berdiri sendiri tanpa terikat dengan peraturan
lain. รขโฌลMengatasi konflik peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif,
dan efisienรขโฌย. Dan hal itulah yang dapat dikhawatirkan akan bertentangan dengan
UU Otonomi Daerah. Semua hal akan berubah dari semangat desentralisasi menjadi
kembali sentralisasi, sama dengan masa Orde Baru.
Satu Pasal yang
dikutip ditulisan ini yaitu Pasal 77 UU Cipta Kerja. Menurut data yang dirilis CNN Indonesia
Pemerintah menambah waktu lembur maksimal
pekerja melalui Undang-undang (UU) Omnibus
Law Cipta
Kerja (Ciptaker).
Kendati menuai kontroversi, aturan itu tetap disahkan pada Senin (5/10).
Batasan waktu kerja dalam Pasal 77 ayat (2) masih
dikecualikan untuk sektor tertentu. Detail skema masa kerja dan sektor tertentu
yang dimaksud akan dijabarkan lebih lanjut melalui peraturan pemerintah . Ini
menimbulkan kekhawatiran akan adanya perbedaan batas waktu kerja bagi sektor
tertentu dan kompensasinya akan dapat merugikan pekerja di sektor-sektor
tertentu, karena mereka dapat diminta untuk bekerja lebih lama dan menerima
pembayaran untuk lembur yang lebih rendah dibandingkan pekerja di sektor lain.
Pengaturan kebijakan waktu kerja yang tidak jelas,
dinilai menjadi celah semakin terbukanya eksploitasi terhadap pekerja. Jika
dilihat kembali selama ini saja banyak kasus pekerja yang upahnya tidak
dibayar, tetapi waktu kerjanya tetap berjalan normal. Bahkan terdapat kasus
pengusaha yang kabur dengan tidak membayar hak-hak normatif pekerja.
Banyak hal kontroversial yang selama ini kasusnya
menimpa pekerja, walau instrumen hukumnya diatur dalam Undang-undang
Ketenagakerjaan, tetapi tidak dipatuhi atau dijalankan oleh perusahaan.
Terlebih lagi ketika memberikan ruang bagi pengusaha untuk mengatur waktu kerja
terhadap pekerja, menghilangkan kewajiban pengusaha membayar upah dalam keadaan
tertentu, dan tidak membayar upah sesuai upah minimum. Hal ini lah yang sangat
dikhawatirkan akan semakin menjerumuskan nasib pekerja di bawah jurang
eksploitasi. (*)
(Penulis adalah mahasiswi Fakultas Hukum ULM)