28.9 C
Jakarta
Wednesday, April 16, 2025

Amerika Serikat dan Demokrasi yang Semu

KETIKA melihat tayangan di CNN
bagaimana polisi Minneapolis menangkap dan memborgol seorang reporter CNN saat live report demonstrasi di kota
tersebut, saya langsung bertanya dalam hati.

“Benarkah Amerika (AS) adalah
kiblat demokrasi, penegakan HAM, kesetaraan gender, penghormatan terhadap
indigenous people, kiblat perang terhadap rasisme, simbol negara yang
menyejahterakan rakyatnya, polisi dunia yang menegakkan keadilan bagi seluruh
umat manusia?”

Lihat saja bagaimana Polisi New
York (NYPD) mengatasi para demonstran. Dua mobil polisi ditabrakkan ke
kerumunan massa. Beberapa demonstran ditangkap, diborgol, pun ada yang
dibenturkan ke tembok. Ada lagi, seorang wartawan foto yang juga ditangkap.
Belum lagi gas air mata, peluru karet, dan pentungan yang dipakai polisi untuk
membubarkan demonstran yang menuntut keadilan atas kematian seorang pria kulit
hitam George Floyd akibat dicekik dengan kaki oleh seorang polisi kulit putih.

Beginilah cara Amerika menghadapi
rakyatnya. Dan rakyat Amerika pun marah, seperti api di dalam sekam yang
akhirnya membara. Unjuk rasa, kerusuhan, dan penjarahan terjadi di lebih dari
20 kota di Amerika mulai dari wilayah pantai barat California sampai New York.

Beginilah wajah Amerika yang
sesungguhnya. Negara yang sejak usainya Perang Dunia II paling banyak terlibat
dalam urusan politik dalam negeri negara lain itu, kini harus sibuk mengatasi
kemarahan rakyat mereka sendiri yang menuntut Amerika lebih adil, lebih
menyejahterakan, dan menjadi rumah bagi semua ras serta golongan sebagaimana
amanah konstitusi mereka.

Rasisme di Amerika

Perbudakan, secara
konstitusional, memang sudah dihapuskan di bumi Amerika. Tetapi rasisme tidak
pernah benar-benar hilang, pun berdarah-darah. Perang Sipil di Amerika juga
dipicu oleh perselisihan antara wilayah yang setuju dengan perbudakan dan wilayah
yang ingin menghapuskan isu tersebut dan bergabung dalam sebuah negara bersama
yang bersatu: Amerika Serikat. Presiden Abraham Lincoln adalah martir pertama
dalam perang melawan rasisme. Pun Presiden JF Kennedy juga ditembak mati karena
salah satu alasannya terlalu keras menentang rasisme di negaranya.

Banyak martir lain dalam perang
melawan rasisme ini, terutama sikap dan perlakuan pemerintah Amerika terhadap
warga kulit hitam (Afrika Amerika). Martin Luther King Jr juga seorang pejuang
anti rasialisme yang akhirnya tewas diterjang peluru. Dari kelompok
Afrika-Amerika Muslim adalah Malcolm X yang sangat lantang dan terang-terangan
menentang diskriminasi terhadap masyarakat kulit hitam. Dengan keterlibatan
FBI, Malcolm X juga tewas diberondong peluru. Jika Anda pergi ke wilayah
Harlem, pinggiran New York, nama Malcolm X dielu-elukan sebagai pahlawan.

Baca Juga :  Relawan PKL Berkah Antusias Beri Dukungan dan Doa untuk Sugianto-Edy

Petinju legendaris Muhammad Ali
juga seorang pejuang anti diskriminasi. Kisah Muhammad Ali (sebelumnya bernama
Cassius Clay) menjadi seorang mualaf juga didorong oleh perlakuan diskriminatif
pemerintah, pun masyarakat Amerika, terhadap masyarakat kulit hitam. Bagaimana
mungkin, Clay yang mengharumkan nama Amerika Serikat dengan membawa medali emas
Olimpiade dari cabang tinju, di negaranya tetap mendapatkan perlakuan
diskriminatif. Tidak bisa duduk di bus dengan bebas, tidak bisa ke toilet umum
untuk orang kulit putih, pun tidak bisa beribadah di gereja untuk orang kulit
putih.

Belajar dari Elijah Muhammad,
pendiri Nation of Islam, Cassius Clay pun mengubah nama menjadi Muhammad Ali
dan semakin keras melawan diskriminasi terhadap masyarakat kulit hitam. Ali
juga menolak wajib militer ke Vietnam dengan alasan agama Islam melarang
umatnya membunuh orang-orang yang tidak berdosa.

“Bagaimana saya mau berperang terhadap
orang-orang Vietnam yang saya sendiri tidak tahu apa kesalahan mereka terhadap
saya. Sementara ketidakadilan masih banyak kita temui di negara kita sendiri,”
tegas Ali.

Terpilihnya Obama sebagai
Presiden AS sempat menjadi oase, seperti harapan yang menjadi kenyataan.
Barrack Obama menjadi orang kulit hitam pertama yang menjadi Presiden Amerika.
Dan Obama selama dua periode (8 tahun) telah menunjukkan kelasnya sebagai presiden
yang diakui dunia sukses menjaga stabilitas ekonomi, keamanan dan perdamaian
tidak saja di dalam negeri AS tetapi juga di dunia.

Banyak orang-orang kulit hitam
yang menjadi tokoh politik dan pemerintahan di Amerika. Saat ini misalnya, ada
Ilhan Omar, anggota Kongres (Partai Demokrat) mewakili negara bagian Minnesota.
Ilhan Omar yang lahir di Mogadishu (Somalia) adalah satu dari dua orang wanita
Muslim yang duduk di Kongres (DPR) Amerika. Satunya lagi adalah Rashida Harbi,
seorang wanita keturunan Palestina, juga dari Partai Demokrat yang mewakili
negara bagian Michigan. Bedanya dengan Ilhan Omar, Rashida lahir di Amerika
sehingga dia memiliki peluang maju menjadi calon presiden Amerika.

Obama, Ilhan Omar, dan Rashida
Harbi sepertinya adalah harapan bagi masa depan Amerika. Tetapi seperti yang
dikatakan Ilhan Omar dalam sebuah acara talk show di TV, “Saya memang harapan
(rakyat) Amerika, tetapi saya juga menjadi mimpi buruk bagi Presiden Amerika
(Donald Trump).”

Kesetaraan hak antara warga kulit
putih dan kulit hitam sepertinya memang masih sekadar etalase daripada
benar-benar sebagai nilai-nilai kehidupan masyarakat maupun pemerintah Amerika.

Bias Gender

Dalam Pilpres Amerika Serikat
2016, saya menyampaikan kritik kepada beberapa teman saya yang bekerja di media.
Liputan mereka tentang kampanye antara Donald Trump dan Hillary Clinton,
terlalu bias. Bias dan terlalu berpihak kepada Hillary, Teman-teman saya tadi
sepertinya mengikuti tren pemberitaan TV-TV di Amerika khususnya CNN. Terkesan,
Hillary sangat dielu-elukan, Trump dikecam. Hasilnya? Meleset semua. Trump
terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat ke-45 menggantikan Barrack Hussein
Obama.

Baca Juga :  Melatih Membudidayakan Ikan

Andaikan saat itu kandidat dari
Partai Demokrat adalah seorang laki-laki, sangat mungkin Trump akan kalah.
Tetapi karena Partai Demorkat mencalonkan Hillary, meskipun lawannya adalah
sosok kontroversial, akhirnya rakyat Amerika tetap memilih Trump. Apalagi dalam
sistem Pilpres dengan electoral college di mana popular vote tidak menjamin
kemenangan dalam Pilpres, semakin sulit mengalahkan Trump apalagi di
wilayah-wilayah yang menjadi basis pendukung Partai Republik.

Selain rasisme, isu lain yang
tidak kalah hangatnya di AS adalah bias gender. Meskipun kajian feminisme
berasal dari Amerika, namun dalam hal ini Indonesia lebih maju. Indonesia yang
baru berusia 75 tahun sudah pernah memilki presiden seorang wanita. Sedangkan
Amerika yang sudah merdeka 244 tahun masih menganggap wanita sebagai warga
negara kelas dua. Para elite politik, juga banyak masyarakat Amerika, masih
berpikiran male chauvinis. Lelaki lebih superior daripada wanita. Sebuah
pemikiran kuno yang sudah didobrak RA Kartini pada awal 1900an.

Kita lihat saja data statistik
berapa banyak jumlah wanita yang pernah menjadi menteri dalam sejarah
pemerintahan Amerika Serikat? Tentu setelah amandemen ke-19 Konstitusi Amerika
tahun 1920, karena sebelumnya tidak mungkin seorang wanita bisa menjadi pejabat
baik di tingkat negara bagian maupun pada pemerintahan Federal. Sepanjang satu
abad tersebut saja, total baru tercatat hanya 32 orang wanita yang pernah
menjadi menteri dalam pemerintahan AS.

Pada masa pemerintahan Obama, ada
4 orang wanita yang menjabat menteri, salah satunya adalah Hillary Clinton
sebagi menteri luar negeri. Sedangkan pada pemerintahan Trump saat ini hanya
ada dua orang menteri wanita yaitu Menteri Perhubungan dan Menteri Pendidikan.
Kabar baiknya adalah semakin banyak wanita yang duduk di Parlemen Amerika,
persentasenya hampir sama dengan Indonesia sekitar 20% dari total anggota
Kongres dan Senat.

Amerika Serikat memang tanah
impian bagi siapa saja. Tetapi mimpi tidak selalu seindah warna aslinya. ***

(Penulis adalah praktisi
komunikasi. Mantan Wakil Pemimpin Redaksi Jawa Pos dan mantan Pemimpin Redaksi
SBO TV Surabaya)

KETIKA melihat tayangan di CNN
bagaimana polisi Minneapolis menangkap dan memborgol seorang reporter CNN saat live report demonstrasi di kota
tersebut, saya langsung bertanya dalam hati.

“Benarkah Amerika (AS) adalah
kiblat demokrasi, penegakan HAM, kesetaraan gender, penghormatan terhadap
indigenous people, kiblat perang terhadap rasisme, simbol negara yang
menyejahterakan rakyatnya, polisi dunia yang menegakkan keadilan bagi seluruh
umat manusia?”

Lihat saja bagaimana Polisi New
York (NYPD) mengatasi para demonstran. Dua mobil polisi ditabrakkan ke
kerumunan massa. Beberapa demonstran ditangkap, diborgol, pun ada yang
dibenturkan ke tembok. Ada lagi, seorang wartawan foto yang juga ditangkap.
Belum lagi gas air mata, peluru karet, dan pentungan yang dipakai polisi untuk
membubarkan demonstran yang menuntut keadilan atas kematian seorang pria kulit
hitam George Floyd akibat dicekik dengan kaki oleh seorang polisi kulit putih.

Beginilah cara Amerika menghadapi
rakyatnya. Dan rakyat Amerika pun marah, seperti api di dalam sekam yang
akhirnya membara. Unjuk rasa, kerusuhan, dan penjarahan terjadi di lebih dari
20 kota di Amerika mulai dari wilayah pantai barat California sampai New York.

Beginilah wajah Amerika yang
sesungguhnya. Negara yang sejak usainya Perang Dunia II paling banyak terlibat
dalam urusan politik dalam negeri negara lain itu, kini harus sibuk mengatasi
kemarahan rakyat mereka sendiri yang menuntut Amerika lebih adil, lebih
menyejahterakan, dan menjadi rumah bagi semua ras serta golongan sebagaimana
amanah konstitusi mereka.

Rasisme di Amerika

Perbudakan, secara
konstitusional, memang sudah dihapuskan di bumi Amerika. Tetapi rasisme tidak
pernah benar-benar hilang, pun berdarah-darah. Perang Sipil di Amerika juga
dipicu oleh perselisihan antara wilayah yang setuju dengan perbudakan dan wilayah
yang ingin menghapuskan isu tersebut dan bergabung dalam sebuah negara bersama
yang bersatu: Amerika Serikat. Presiden Abraham Lincoln adalah martir pertama
dalam perang melawan rasisme. Pun Presiden JF Kennedy juga ditembak mati karena
salah satu alasannya terlalu keras menentang rasisme di negaranya.

Banyak martir lain dalam perang
melawan rasisme ini, terutama sikap dan perlakuan pemerintah Amerika terhadap
warga kulit hitam (Afrika Amerika). Martin Luther King Jr juga seorang pejuang
anti rasialisme yang akhirnya tewas diterjang peluru. Dari kelompok
Afrika-Amerika Muslim adalah Malcolm X yang sangat lantang dan terang-terangan
menentang diskriminasi terhadap masyarakat kulit hitam. Dengan keterlibatan
FBI, Malcolm X juga tewas diberondong peluru. Jika Anda pergi ke wilayah
Harlem, pinggiran New York, nama Malcolm X dielu-elukan sebagai pahlawan.

Baca Juga :  Relawan PKL Berkah Antusias Beri Dukungan dan Doa untuk Sugianto-Edy

Petinju legendaris Muhammad Ali
juga seorang pejuang anti diskriminasi. Kisah Muhammad Ali (sebelumnya bernama
Cassius Clay) menjadi seorang mualaf juga didorong oleh perlakuan diskriminatif
pemerintah, pun masyarakat Amerika, terhadap masyarakat kulit hitam. Bagaimana
mungkin, Clay yang mengharumkan nama Amerika Serikat dengan membawa medali emas
Olimpiade dari cabang tinju, di negaranya tetap mendapatkan perlakuan
diskriminatif. Tidak bisa duduk di bus dengan bebas, tidak bisa ke toilet umum
untuk orang kulit putih, pun tidak bisa beribadah di gereja untuk orang kulit
putih.

Belajar dari Elijah Muhammad,
pendiri Nation of Islam, Cassius Clay pun mengubah nama menjadi Muhammad Ali
dan semakin keras melawan diskriminasi terhadap masyarakat kulit hitam. Ali
juga menolak wajib militer ke Vietnam dengan alasan agama Islam melarang
umatnya membunuh orang-orang yang tidak berdosa.

“Bagaimana saya mau berperang terhadap
orang-orang Vietnam yang saya sendiri tidak tahu apa kesalahan mereka terhadap
saya. Sementara ketidakadilan masih banyak kita temui di negara kita sendiri,”
tegas Ali.

Terpilihnya Obama sebagai
Presiden AS sempat menjadi oase, seperti harapan yang menjadi kenyataan.
Barrack Obama menjadi orang kulit hitam pertama yang menjadi Presiden Amerika.
Dan Obama selama dua periode (8 tahun) telah menunjukkan kelasnya sebagai presiden
yang diakui dunia sukses menjaga stabilitas ekonomi, keamanan dan perdamaian
tidak saja di dalam negeri AS tetapi juga di dunia.

Banyak orang-orang kulit hitam
yang menjadi tokoh politik dan pemerintahan di Amerika. Saat ini misalnya, ada
Ilhan Omar, anggota Kongres (Partai Demokrat) mewakili negara bagian Minnesota.
Ilhan Omar yang lahir di Mogadishu (Somalia) adalah satu dari dua orang wanita
Muslim yang duduk di Kongres (DPR) Amerika. Satunya lagi adalah Rashida Harbi,
seorang wanita keturunan Palestina, juga dari Partai Demokrat yang mewakili
negara bagian Michigan. Bedanya dengan Ilhan Omar, Rashida lahir di Amerika
sehingga dia memiliki peluang maju menjadi calon presiden Amerika.

Obama, Ilhan Omar, dan Rashida
Harbi sepertinya adalah harapan bagi masa depan Amerika. Tetapi seperti yang
dikatakan Ilhan Omar dalam sebuah acara talk show di TV, “Saya memang harapan
(rakyat) Amerika, tetapi saya juga menjadi mimpi buruk bagi Presiden Amerika
(Donald Trump).”

Kesetaraan hak antara warga kulit
putih dan kulit hitam sepertinya memang masih sekadar etalase daripada
benar-benar sebagai nilai-nilai kehidupan masyarakat maupun pemerintah Amerika.

Bias Gender

Dalam Pilpres Amerika Serikat
2016, saya menyampaikan kritik kepada beberapa teman saya yang bekerja di media.
Liputan mereka tentang kampanye antara Donald Trump dan Hillary Clinton,
terlalu bias. Bias dan terlalu berpihak kepada Hillary, Teman-teman saya tadi
sepertinya mengikuti tren pemberitaan TV-TV di Amerika khususnya CNN. Terkesan,
Hillary sangat dielu-elukan, Trump dikecam. Hasilnya? Meleset semua. Trump
terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat ke-45 menggantikan Barrack Hussein
Obama.

Baca Juga :  Melatih Membudidayakan Ikan

Andaikan saat itu kandidat dari
Partai Demokrat adalah seorang laki-laki, sangat mungkin Trump akan kalah.
Tetapi karena Partai Demorkat mencalonkan Hillary, meskipun lawannya adalah
sosok kontroversial, akhirnya rakyat Amerika tetap memilih Trump. Apalagi dalam
sistem Pilpres dengan electoral college di mana popular vote tidak menjamin
kemenangan dalam Pilpres, semakin sulit mengalahkan Trump apalagi di
wilayah-wilayah yang menjadi basis pendukung Partai Republik.

Selain rasisme, isu lain yang
tidak kalah hangatnya di AS adalah bias gender. Meskipun kajian feminisme
berasal dari Amerika, namun dalam hal ini Indonesia lebih maju. Indonesia yang
baru berusia 75 tahun sudah pernah memilki presiden seorang wanita. Sedangkan
Amerika yang sudah merdeka 244 tahun masih menganggap wanita sebagai warga
negara kelas dua. Para elite politik, juga banyak masyarakat Amerika, masih
berpikiran male chauvinis. Lelaki lebih superior daripada wanita. Sebuah
pemikiran kuno yang sudah didobrak RA Kartini pada awal 1900an.

Kita lihat saja data statistik
berapa banyak jumlah wanita yang pernah menjadi menteri dalam sejarah
pemerintahan Amerika Serikat? Tentu setelah amandemen ke-19 Konstitusi Amerika
tahun 1920, karena sebelumnya tidak mungkin seorang wanita bisa menjadi pejabat
baik di tingkat negara bagian maupun pada pemerintahan Federal. Sepanjang satu
abad tersebut saja, total baru tercatat hanya 32 orang wanita yang pernah
menjadi menteri dalam pemerintahan AS.

Pada masa pemerintahan Obama, ada
4 orang wanita yang menjabat menteri, salah satunya adalah Hillary Clinton
sebagi menteri luar negeri. Sedangkan pada pemerintahan Trump saat ini hanya
ada dua orang menteri wanita yaitu Menteri Perhubungan dan Menteri Pendidikan.
Kabar baiknya adalah semakin banyak wanita yang duduk di Parlemen Amerika,
persentasenya hampir sama dengan Indonesia sekitar 20% dari total anggota
Kongres dan Senat.

Amerika Serikat memang tanah
impian bagi siapa saja. Tetapi mimpi tidak selalu seindah warna aslinya. ***

(Penulis adalah praktisi
komunikasi. Mantan Wakil Pemimpin Redaksi Jawa Pos dan mantan Pemimpin Redaksi
SBO TV Surabaya)

Terpopuler

Artikel Terbaru