29 C
Jakarta
Wednesday, December 11, 2024

Miliki Potensi Wisata, Empat Lokasi Hutan Desa di Barito Utara Diduga sebagai Cagar Budaya

PALANGKA RAYA, PROKALTENG.CO –  Hutan Desa Tongka Kabupaten Barito Utara memiliki sejumlah objek yang mempunyai cerita yang sakral dan budaya dari masyarakatnya yang sudah dipercaya turun temurun.

Lokasinya berada di Desa Tonga, Kecamatan Gunung Timang, Kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalteng. Desa Tongka sendiri memiliki 3 hutan desa. Salah satunya, hutan Desa Gunung Oke yang memiliki luas  sebesar 3.467 hektare.

Hal inilah yang membuat sejumlah perempuan di Desa Tongka itu, mengajukan 4 objek diduga cagar budaya (ODCB) yang berada di hutan desa Gunung Oke. Heti Firanata, Ketua Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) Gunung Oke, bersama 9  rekan perempuan lainnya mengajukan 4 ODCB sebagai langkah awal upaya perlindungan terhadap hutan desa dengan melibatkan masyarakat desa dan Negara.

Ada 4 objek yang diajukan ODCB yakni Tanir, Nyeloi, Batu Gadur, dan Pager Buah. Empat objek tersebut berlokasi di Hutan Desa Gunung Oke.

Menurut cerita sejumlah anggota LPHD Gunung Oke, Tanin  adalah nama dari sebuah liang atau goa. Menurut sejarah diketahui secara turun temurun di Desa Tongka, Tanin diduga menjadi tempat pemakaman  tokoh pendiri Desa Tongka yang disebut Kerering.

Hal itu dibuktikan dengan adanya kerering bangunan terbuat dari kayu ulin tempat tulang belulang tersimpan.

Masyarakat Tongka percaya Kerering  terdapat 6 tengkorak beserta tulang belulang yang masih lengkap. Secara ajaib, sering kali tengkorak yang dilihat beberapa orang berbeda. Jumlahnya bisa tak sama. Hal ini dipercaya karena tengkorak dan tulang belulang dapat berpindah secara gaib.

Keberadaan kerering dan kisah mistis ini, juga membuat tanin menjadi salah satu tempat sakral atau dikeramatkan. Bagi yang percaya, Tanin juga dapat menjadi tempat untuk menyampaikan permohonan atau hajat.

Kemudian, Pager Buah merupakan susunan bebatuan di tengah aliran sungai Montalat. Struktur bebatuan melintang memecah aliran air berarus menjadi 3 jalur. Susunan bebatuan ini membentuk bak pagar.

Dalam bahasa Dayak, pager buah berarti benteng buaya. Nama ini dikenal legenda yang diceritakan turun menurun ke generasi di Desa Tongka. Legenda menceritakan kisah pertarungan antara buaya barito dan montalat.

Salah satu lokasi objek hutan desa di Desa Tongka, Kecamatan Gunung Timang, Kabupaten Barito Utara. (IST)

Menurut cerita orang tua di Desa Tongka, banyaknya buaya yang mati saat itu sampai menggubar air sungai Montalat menjadi warna merah. Akibatnya, saat itu air sungai tak dapat dikonsumsi untuk waktu yang lama.

Kisah air menjadi warna merah karena dikisahkan turun menurun sebagai fakta yang dipercaya kakek nenek  pada jaman itu.

Baca Juga :  Kembangkan Destinasi Wisata, Pemkab Lamandau Belajar ke Kota Singkawang

Oleh karena itu, sampai saat ini, Pager Buah menjadi salah satu objek yang sakral atau dikeramatkan. Pager buah biasanya menjadi tempat untuk membayar nazar atau hajat. Sedangkan pada kehidupan sehari-hari, lokasi ini menjadi tempat mencari ikan atau memancing masyarakat.

Saat mendatangi pager buah, ada satu aturan yang harus ditaati. Yakni tak boleh menggunakan pakaian atau membawa benda berwarna merah. Kepercayaan dari masyarakat mengatakan, warna merah terlarang karena mengundang kehadiran ular merah. Ular ini dipercayakan gaib dan berbahaya atau berbisa.

Selanjutnya, Batu Gadur adalah benda berupa batu yang menyerupai bak air. Dalam bahasa Dayak Tewoyam,  Desa Tongka,  bak air disebut gadur. Sehingga batu yang menyerupai bak air ini diberi nama batu gadur.

Menurut kepercayaan masyarakat setempat, air yang ada di dalam batu gadur tak bisa kering. Bahkan saat musim kemarau sekalipun. Air yang ada dalam batu ini dipercaya ajaib, karena itu objek ini menjadi sakral atau dikeramatkan.

Batu gadur menjadi tempat untuk meminta permohonan berupa doa. Permohonan bisa berupa kesehatan, keselamatan dan lain-lain. Caranya dengan mengusap air dari dalam batu gadur ke muka tangan dan kaki. Air ini dipercaya berkhasiat, sehingga bisa digunakan untuk tepung tawar diri, kendaraan ataupun bangunan.

Terakhir, Nyeloi adalah goa yang luas di bagian tengahnya terbuka. Sebab bagai ruang tempat berkumpul. Sementara tiap sisi memiliki ruang ruang seperti kamar.  Bagi masyarakat Desa Tongka,  Nyeloi dikenal sebagai racun. Masyarakat percaya lumut-lumut berwarna hijau tua yang tumbuh di dinding  batu goa itulah yang  menjadi sumber racun.

Kisah ini diceritakan turun-temurun. Pada zaman dulu, sebelum kampung Tongka berbentuk. Manusia masih banyak tinggal di goa. Namun, manusia sering berpergian sering kali, karena ini barang atau makanan hilang. Sehingga muncul ada kecurigaan  adanya pencurian atau mengambil barang atau makanan tersebut.

Akhirnya mereka menaruh racun di minyak umpan pada barang atau makanan  yang ditinggal untuk menghentikan pencurian. Namun ternyata tak ada pencurian. Mereka menemukan binatang buaslah yang selama ini masuk ke goa dan mengambil barang atau makanan.

Mereka kedatangan binatang buas malah membuat racun ini tumbuh- tumbuhan. Minyak inilah yang  jadi penyebab lumut- lumut tumbuh di dinding goa menyebar dan tak bisa hilang sampai sekarang.

Sempat Menolak Hutan Desa Dijadikan Penanaman Sawit

Kembali Heti menceritakan, bahwa hutan Desa Gunung Oke sempat ditawarkan perusahaan perkebunan sawit untuk dijadikan penanaman sawit. Namun mereka menolak untuk dijadikan penanaman sawit.

Baca Juga :  Malam Ngopi di Tepi Sungai, Pagi Rafting di Pinus Songgon Banyuwangi

”Hutan desa lebih baik,” ujar Heti.

Dia menganggap, pengajuan 4 objek untuk menjadi ODCB ini, sangat penting karena mempunyai ketertarikan dari hutan desa tersebut.  Bhkan menurutnya, banyak hal yang sakral dan hutan tersebut bisa dimanfaatkan masyarakat desa setempat untuk keperluan sehari-hari, mata pencaharian dan lain -lainya.

”Seperti berladang, menanam sayur dan lain-lain,” ujar Heti  didampingi rekannya di Best Western Hotel Palangka Raya, Sabtu (5/10).

Lanjutnya, permohonan pengajuan 4 objek untuk dijadikan ODCB sangat penting karena bisa mengundang turis lokal maupun asing melihat lokasi tersebut.

”Bagi masyarakat Tongka, (ODCB) itu sangat penting dijaga budayanya secara turun temurun. Karena, itu bagian dari sejarah Desa Tongka,”terangnya.

Disinggung soal  potensi wisata di 4 objek tersebut, Heti mengakui saat ini sudah mempunyai Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) untuk  pariwisata. Dia menceritakan, pada saat Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes), sudah mengusulkan Desa Wisata di Desa Tongka.

”Itu sudah diterima, dan sudah masuk ke anggaran 2025 untuk Desa Wisata,” bebernya.

Oleh karena itu, dia berharap agar 4 objek yang diajukan menjadi ODCB bisa menjadi objek cagar budaya.

”Harapan kami 4 objek diduga cagar budaya ini, disahkan negara menjadi cagar budaya yang dilindungi dan diakui keberadaannya,” harapnya.

Di tempat yang sama, Direktur Save Our Borneo M Habibi menyebut, hutan Desa Gunung Oke sudah mempunyai kelompok kerja usaha pariwisata, terutama wisata budaya dan wisata ekologi.

”Jadi wisata budaya dan ekologi tidak bisa dipisahkan, karena ada satu kesatuan hubungannya dengan hutan desa dan kebudayaan masyarakat di Desa Tongka sendiri,” ujarnya.

Dia menyebut, ada beberapa tempat tertentu di hutan Desa Gunung Oke memiliki status berkeramat dan ada praktik pamali atau larangan di tempat tersebut. Menurutnya, pamali itu sebagai bentuk perlindungan yang berlaku di masyarakat.

”Dan di sana masih ada praktik denda secara adat bagi pihak-pihak yang melakukan aktivitas tanpa izin. Kemudian tidak sesuai dengan kepercayaan masyarakat suku Dayak Tewoyan yang ada di wilayah itu,” terangnya.

Sementara itu, Kepala Bidang SPCBP, Maria Doya Aden mengapresiasi dengan upaya LPHD Gunung Oke yang telah mengajukan ODCB.

”Dan ini adalah sesuatu yang bagi kami luar biasa, karena masyarakat akhirnya pun memiliki keinginan untuk melindungi apa yang dikatakan benda-benda budaya,” katanya.(hfz/hnd)

PALANGKA RAYA, PROKALTENG.CO –  Hutan Desa Tongka Kabupaten Barito Utara memiliki sejumlah objek yang mempunyai cerita yang sakral dan budaya dari masyarakatnya yang sudah dipercaya turun temurun.

Lokasinya berada di Desa Tonga, Kecamatan Gunung Timang, Kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalteng. Desa Tongka sendiri memiliki 3 hutan desa. Salah satunya, hutan Desa Gunung Oke yang memiliki luas  sebesar 3.467 hektare.

Hal inilah yang membuat sejumlah perempuan di Desa Tongka itu, mengajukan 4 objek diduga cagar budaya (ODCB) yang berada di hutan desa Gunung Oke. Heti Firanata, Ketua Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) Gunung Oke, bersama 9  rekan perempuan lainnya mengajukan 4 ODCB sebagai langkah awal upaya perlindungan terhadap hutan desa dengan melibatkan masyarakat desa dan Negara.

Ada 4 objek yang diajukan ODCB yakni Tanir, Nyeloi, Batu Gadur, dan Pager Buah. Empat objek tersebut berlokasi di Hutan Desa Gunung Oke.

Menurut cerita sejumlah anggota LPHD Gunung Oke, Tanin  adalah nama dari sebuah liang atau goa. Menurut sejarah diketahui secara turun temurun di Desa Tongka, Tanin diduga menjadi tempat pemakaman  tokoh pendiri Desa Tongka yang disebut Kerering.

Hal itu dibuktikan dengan adanya kerering bangunan terbuat dari kayu ulin tempat tulang belulang tersimpan.

Masyarakat Tongka percaya Kerering  terdapat 6 tengkorak beserta tulang belulang yang masih lengkap. Secara ajaib, sering kali tengkorak yang dilihat beberapa orang berbeda. Jumlahnya bisa tak sama. Hal ini dipercaya karena tengkorak dan tulang belulang dapat berpindah secara gaib.

Keberadaan kerering dan kisah mistis ini, juga membuat tanin menjadi salah satu tempat sakral atau dikeramatkan. Bagi yang percaya, Tanin juga dapat menjadi tempat untuk menyampaikan permohonan atau hajat.

Kemudian, Pager Buah merupakan susunan bebatuan di tengah aliran sungai Montalat. Struktur bebatuan melintang memecah aliran air berarus menjadi 3 jalur. Susunan bebatuan ini membentuk bak pagar.

Dalam bahasa Dayak, pager buah berarti benteng buaya. Nama ini dikenal legenda yang diceritakan turun menurun ke generasi di Desa Tongka. Legenda menceritakan kisah pertarungan antara buaya barito dan montalat.

Salah satu lokasi objek hutan desa di Desa Tongka, Kecamatan Gunung Timang, Kabupaten Barito Utara. (IST)

Menurut cerita orang tua di Desa Tongka, banyaknya buaya yang mati saat itu sampai menggubar air sungai Montalat menjadi warna merah. Akibatnya, saat itu air sungai tak dapat dikonsumsi untuk waktu yang lama.

Kisah air menjadi warna merah karena dikisahkan turun menurun sebagai fakta yang dipercaya kakek nenek  pada jaman itu.

Baca Juga :  Kembangkan Destinasi Wisata, Pemkab Lamandau Belajar ke Kota Singkawang

Oleh karena itu, sampai saat ini, Pager Buah menjadi salah satu objek yang sakral atau dikeramatkan. Pager buah biasanya menjadi tempat untuk membayar nazar atau hajat. Sedangkan pada kehidupan sehari-hari, lokasi ini menjadi tempat mencari ikan atau memancing masyarakat.

Saat mendatangi pager buah, ada satu aturan yang harus ditaati. Yakni tak boleh menggunakan pakaian atau membawa benda berwarna merah. Kepercayaan dari masyarakat mengatakan, warna merah terlarang karena mengundang kehadiran ular merah. Ular ini dipercayakan gaib dan berbahaya atau berbisa.

Selanjutnya, Batu Gadur adalah benda berupa batu yang menyerupai bak air. Dalam bahasa Dayak Tewoyam,  Desa Tongka,  bak air disebut gadur. Sehingga batu yang menyerupai bak air ini diberi nama batu gadur.

Menurut kepercayaan masyarakat setempat, air yang ada di dalam batu gadur tak bisa kering. Bahkan saat musim kemarau sekalipun. Air yang ada dalam batu ini dipercaya ajaib, karena itu objek ini menjadi sakral atau dikeramatkan.

Batu gadur menjadi tempat untuk meminta permohonan berupa doa. Permohonan bisa berupa kesehatan, keselamatan dan lain-lain. Caranya dengan mengusap air dari dalam batu gadur ke muka tangan dan kaki. Air ini dipercaya berkhasiat, sehingga bisa digunakan untuk tepung tawar diri, kendaraan ataupun bangunan.

Terakhir, Nyeloi adalah goa yang luas di bagian tengahnya terbuka. Sebab bagai ruang tempat berkumpul. Sementara tiap sisi memiliki ruang ruang seperti kamar.  Bagi masyarakat Desa Tongka,  Nyeloi dikenal sebagai racun. Masyarakat percaya lumut-lumut berwarna hijau tua yang tumbuh di dinding  batu goa itulah yang  menjadi sumber racun.

Kisah ini diceritakan turun-temurun. Pada zaman dulu, sebelum kampung Tongka berbentuk. Manusia masih banyak tinggal di goa. Namun, manusia sering berpergian sering kali, karena ini barang atau makanan hilang. Sehingga muncul ada kecurigaan  adanya pencurian atau mengambil barang atau makanan tersebut.

Akhirnya mereka menaruh racun di minyak umpan pada barang atau makanan  yang ditinggal untuk menghentikan pencurian. Namun ternyata tak ada pencurian. Mereka menemukan binatang buaslah yang selama ini masuk ke goa dan mengambil barang atau makanan.

Mereka kedatangan binatang buas malah membuat racun ini tumbuh- tumbuhan. Minyak inilah yang  jadi penyebab lumut- lumut tumbuh di dinding goa menyebar dan tak bisa hilang sampai sekarang.

Sempat Menolak Hutan Desa Dijadikan Penanaman Sawit

Kembali Heti menceritakan, bahwa hutan Desa Gunung Oke sempat ditawarkan perusahaan perkebunan sawit untuk dijadikan penanaman sawit. Namun mereka menolak untuk dijadikan penanaman sawit.

Baca Juga :  Malam Ngopi di Tepi Sungai, Pagi Rafting di Pinus Songgon Banyuwangi

”Hutan desa lebih baik,” ujar Heti.

Dia menganggap, pengajuan 4 objek untuk menjadi ODCB ini, sangat penting karena mempunyai ketertarikan dari hutan desa tersebut.  Bhkan menurutnya, banyak hal yang sakral dan hutan tersebut bisa dimanfaatkan masyarakat desa setempat untuk keperluan sehari-hari, mata pencaharian dan lain -lainya.

”Seperti berladang, menanam sayur dan lain-lain,” ujar Heti  didampingi rekannya di Best Western Hotel Palangka Raya, Sabtu (5/10).

Lanjutnya, permohonan pengajuan 4 objek untuk dijadikan ODCB sangat penting karena bisa mengundang turis lokal maupun asing melihat lokasi tersebut.

”Bagi masyarakat Tongka, (ODCB) itu sangat penting dijaga budayanya secara turun temurun. Karena, itu bagian dari sejarah Desa Tongka,”terangnya.

Disinggung soal  potensi wisata di 4 objek tersebut, Heti mengakui saat ini sudah mempunyai Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) untuk  pariwisata. Dia menceritakan, pada saat Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes), sudah mengusulkan Desa Wisata di Desa Tongka.

”Itu sudah diterima, dan sudah masuk ke anggaran 2025 untuk Desa Wisata,” bebernya.

Oleh karena itu, dia berharap agar 4 objek yang diajukan menjadi ODCB bisa menjadi objek cagar budaya.

”Harapan kami 4 objek diduga cagar budaya ini, disahkan negara menjadi cagar budaya yang dilindungi dan diakui keberadaannya,” harapnya.

Di tempat yang sama, Direktur Save Our Borneo M Habibi menyebut, hutan Desa Gunung Oke sudah mempunyai kelompok kerja usaha pariwisata, terutama wisata budaya dan wisata ekologi.

”Jadi wisata budaya dan ekologi tidak bisa dipisahkan, karena ada satu kesatuan hubungannya dengan hutan desa dan kebudayaan masyarakat di Desa Tongka sendiri,” ujarnya.

Dia menyebut, ada beberapa tempat tertentu di hutan Desa Gunung Oke memiliki status berkeramat dan ada praktik pamali atau larangan di tempat tersebut. Menurutnya, pamali itu sebagai bentuk perlindungan yang berlaku di masyarakat.

”Dan di sana masih ada praktik denda secara adat bagi pihak-pihak yang melakukan aktivitas tanpa izin. Kemudian tidak sesuai dengan kepercayaan masyarakat suku Dayak Tewoyan yang ada di wilayah itu,” terangnya.

Sementara itu, Kepala Bidang SPCBP, Maria Doya Aden mengapresiasi dengan upaya LPHD Gunung Oke yang telah mengajukan ODCB.

”Dan ini adalah sesuatu yang bagi kami luar biasa, karena masyarakat akhirnya pun memiliki keinginan untuk melindungi apa yang dikatakan benda-benda budaya,” katanya.(hfz/hnd)

Terpopuler

Artikel Terbaru