Sampir jarit dipadu kebaya putih bertabur payet mengilap yang membalut tubuhmu membuatku ragu, benarkah kau putriku yang pernah kubebat tubuh kecilnya dengan handuk sehabis mandi? Sudah sebesar inikah?
Make-up tebal, bibir mungil dalam lukisan lipstik merah bawang, lengkung alis, polesan pewarna, menutupi keaslian wajahmu. Bunga karmelok di samping kanan-kiri sunggar, rumbai kembang semata kaki, tujuh cunduk melati dan cunduk mentul yang menghiasi kepalamu, sungguh asing di mataku.
Kepalamu dulu masih seukuran kelapa gading muda, berambut sepunggung dan sehalus sutra kecokelatan. Kadang kukepang berhias pita. Kadang kuikat dua dengan tali karet berwarna. Itulah yang selama ini melekat dalam ingatanku.
Matamu yang lebar berbulu palsu dan lebat itu, bertahun-tahun lalu, masih sejernih air sumur yang baru ditimba di subuh hari. Mata bening yang mendadak beriak ketakutan, suatu malam, begitu melihat semburan darah di lantai, membercak di meja dan kursi, berlumuran di bajuku, bahkan memerahi kedua tanganku.
18 tahun, atau mungkin 19 tahun yang lalu, lebih tepatnya ketika usiamu menginjak genap 3 tahun, kaki mungilmu gemetar mendapati ruang tamu memerah dan pecahan gelas dan ampas kopi berserakan di mana-mana. Segera kuraih tubuhmu ke dalam pelukan. Membenamkan wajahmu ke dada agar tidak melihat sosok yang terkapar di lantai dengan lubang tusuk bagian perut dan terus menyembur darah segar mengental.
”Embu’….” isakmu tertahan. Bergetar ketakutan.
Tanganku ikut menggigil mendekap tubuh kecilmu. Segigil sekarang, ketika melihat tangan dan jemarimu yang berhias hena putih tempel bermotif manik-gliter, menggenggam buket mawar bercampur rumput artifisial nanas menik, berdiri anggun di depanku dengan tatapan asing. Tak mengenaliku.
”Bibi mencari siapa?”
Bibi?
Aku tergagap. Mulutku ternganga, mengatup, menganga lagi, bergumam tak jelas. Keraguan menyergapku. Pertanyaanmu mempertegas kehadiranku sebagai tamu tak diundang. Atau, mungkin juga tak diharapkan. Bahkan tidak ada yang mengenaliku sejak tadi. Semua orang sibuk dengan pekerjaan masing-masing dalam mempersiapkan acara.
Bibimu dan suaminya tidak tahu mengenai kepulanganku kali ini, dan aku belum bertemu dengan mereka. Gadis remaja yang kutanyai di mana kau berada hanya menunjukkan kamarmu, kemudian berlalu dengan tergesa.
Kuremas tali tas berisi pakaian yang kujinjing sejak tadi. Mungkin seharusnya aku tidak hadir. Mungkin seharusnya aku tidak ke sini. Akan tetapi, kabar pernikahanmu membuat kerinduanku seperti hujan. Semakin lama semakin deras dan menyebabkan banjir bandang, hingga pertahananku tumbang.
Dulu, selepas dari sel jeruji, kuputuskan untuk tak kembali ke kampung halaman demi menyelamatkan kakek-nenekmu, agar tak lagi menanggung cemoohan dan hinaan sebab memiliki anak pembunuh, sebagaimana tahi kering disiram air hujan. Pun, kutekadkan untuk tidak mengunjungimu dan memilih merantau ke negeri seberang demi mengubur kenangan.
”Setidaknya, kau lihatlah anakmu sekali saja!”
Bibimu, kakak perempuanku satu-satunya yang menyambut kebebasanku di gerbang waktu itu, memaksaku mumpung belum ada jadwal keberangkatan.
”Tidak. Cukuplah dia menganggapmu sebagai ibu satu-satunya tanpa tahu status dan keberadaanku. Tak perlu kauceritakan siapa diriku.” Aku menggeleng lemah, memilih numpang di rumah teman yang sama-sama baru dibebaskan dari penjara.
”Dia sudah besar. Sudah kelas lima. Aku yakin bisa memahami tindakanmu waktu itu,” desaknya, namun kembali kubalas dengan gelengan kepala.
Tentu kau bukan lagi bocah mungil yang kutinggal bertahun-tahun silam. Sudah tujuh kali Lebaran kugemakan takbir dan doa di bilik jeruji, selama itu pula kularang dia membawamu mengunjungiku agar kau tak pernah melihatku bergelang besi. Biar kerinduan kutanggung sendiri walau menjadi tikaman paling nyeri. Cukup kudengar kabarmu dari jauh.
Aku hanya berharap kau melupakan peristiwa malam itu. Menghapusnya dari jejak memorimu. Sudah kuminta bibimu untuk membawamu pergi ke luar Madura. Melupakan masa lalu maupun ayahmu.
Seandainya bisa, aku pun ingin melupakan peristiwa itu. Melupakan tanggal muda yang ganjil, ketika tiba-tiba ayahmu kembali selagi matahari masih kuning rekah dan air seduhan kopi belum dijerang. Padahal biasanya dia pulang setelah kelelawar mulai meninggalkan dahan tempat bergelantung sepanjang siang, dan tidurmu sudah mirip kucing kekenyangan.
Aku sedang mengangkat pakaian dari tali jemuran ketika dump truck-nya memasuki gerbang pagar dengan kaca agak buram, dan kau sibuk bermain gundukan pasir di bawah pohon mangga, di sudut halaman.
Raung mobil dan asap knalpot seolah menguluk salam. Kaus kecut dan syal handuk yang lembap sudah menjadi teman kepulangan. Senada dengan celana kotor dan wajah lusuhnya yang berleleh peluh.
Buru-buru kubereskan jemuran dan segera ke dapur.
”Nanti malam temanku mau ke sini,” seraya mengeringkan rambut dengan handuk sehabis mandi. Wangi Sunsilk terendus samar.
”Siapa?” meletakkan kopi mengepul di atas meja.
”Yang Lebaran kemarin main bersama istrinya,” melemparkan handuk ke sandaran kursi. Kebiasaan yang tak kunjung berubah meskipun sudah berulang kali kuminta untuk menyampirkan ke tempatnya.
Aku teringat pada temannya sesama sopir yang memiliki istri berwajah putih dan lekuk-lekuk tubuhnya tampak jelas dalam balutan baju ketat-elastis dan berleher lebar. Bahkan aku sempat memergoki ayahmu sering melirik perempuan itu.
Mereka juga membawa anak lelakinya, sekitar dua tahun lebih tua darimu, memegang kapal-kapalan berbahan kayu.
”Datang bersama istrinya lagi?” menyembunyikan sulur-sulur kecemburuan yang kembali tersulut.
”Mungkin sendiri. Kau beli saja lepet di warung, dia lebih suka barang berbungkus daripada pisang goreng,” tersenyum menyimpan arti, dan aku mulai memahami senyum itu setelah temannya datang sebelum azan Isya berkumandang dan matamu sudah merem-merem ayam di kamar.
”Ayo, masuk!” sambut ayahmu di depan pintu dengan tubuh sudah disemprot parfum.
Kemeja kotak lengan pendek yang dikenakan memberinya isyarat kalau dia tidak akan bersantai di rumah.”Bagaimana?”
Pertanyaan ayahmu yang berhasil kutangkap ketika memasuki ruang tamu dengan membawa nampan berisi dua cangkir kopi dan sepiring lepet janur.
”Beres! Sudah kujelaskan tadi.”
”Berarti tidak ada masalah.”
Aku berlalu, kembali ke kamar dan kulihat matamu sudah terpejam. Tak kudengar perbincangan mereka selanjutnya. Baru 15 menit kemudian ayahmu menyusul dan pamit akan keluar.
”Ke mana?” aku bangkit dari sisimu perlahan, khawatir kau terbangun.
”Nanti tahu sendiri. Kau temani saja dia!” menunjuk keluar.
”Maksudmu?”
”Hanya semalam.”
”Maksudmu, dia akan tidur di sini sementara kau mau pergi?” mendesis tak percaya.
”Iya, hanya semalam. Dia akan menginap di sini dan aku akan menginap di rumahnya,” membuka lemari dan mengacak lipatan baju, tanpa memedulikan tatapanku.
Kutatap lekat-lekat wajahnya setelah berhasil mendapatkan dompetnya. Mencari mimik lelucon yang sama sekali tidak lucu itu.
”Ayolah, ini sudah biasa,” bujuknya, mendapati raut protes di wajahku.
”Kau bilang biasa?” dengan suara sedikit meninggi, masih tak percaya.
”Iya, ini namanya tukar guling, sekadar melepas jenuh. Sama-sama impas. Tidak ada yang dirugikan. Kau bersiap saja, aku pergi dulu,” hendak pergi, namun berhasil kutahan.
”Tunggu dulu! Tukar guling? Apa maksudmu?” kutatap wajahnya lekat-lekat.
”Iya, tukar bini. Hanya sementara. Ini memang sudah biasa!” menyentak, lalu pergi begitu saja dengan kesal.
Aku terpaku diam, mencerna setiap ucapannya. Sudah biasa? Sejak kapan?
Entah sudah berapa tahun hidup bersama dalam simpul tali pernikahan, baru malam itu mengetahui adanya kebiasaan tukar guling. Kebiasan dari mana? Kebiasan di desa itu yang luput dari pengetahuanku? Atau kebiasaan gila di antara sesama sopir? Padahal yang kutahu, para suami rela bertaruh nyawa demi harga dirinya. Lebih baik mati mengacungkan arit daripada hidup menggelung punggung membiarkan istrinya digoda.
Ketika ayahmu pergi dengan sepeda motornya, kuusir lelaki di ruang tamu itu. Rasa muak dan jijik membuatku tak bisa mengendalikan sikap. Akan tetapi, pengusiran yang kulakukan sia-sia, dan lelaki yang semula bersikap manis itu berubah jadi sosok beringas sebagaimana hewan lapar. Memaksakan kehendaknya terhadapku, seolah tak mau dirugikan.
Ketika dia mencoba melepaskan jilbab dan bajuku, barulah aku mengerti bahwa diriku tak lebih dari lepet janur, sementara ayahmu sedang memburu pisang goreng.
Apakah kepatuhan semacam itu yang diinginkan ayahmu? Menjadikan diriku sebagai santapan orang, sedangkan dirinya memburu kesenangan. Perempuan hanya dijadikan barang pertukaran!
Kemarahan memberiku kekuatan baru untuk berontak dan melawan. Tak kubiarkan tangan lelaki itu menyentuh kulitku.
Entah bagaimana, tiba-tiba ada darah menyembur seperti slang bocor, dan di mataku yang terlihat hanya merah. Hitam kopi di lantai bercampur darah. Mataku nanar. Erang kesakitan dan tubuh yang terkapar membuatku tersadar, mendadak ketakutan. Pecahan gelas yang tergenggam dengan tangan gemetar segera kulempar.
Barangkali, kegaduhan itu yang membuatmu terbangun dan melangkah keluar dari kamar. Kau berdiri di ambang pintu sebagaimana sekarang. Akan tetapi kali ini, salak petasan, tabuhan rebana dan riuh pembacaan salawat Thola’al Badru di luar yang menyentak kesadaranku, bukan isak tangismu.
Kulihat wajahmu yang tadi tampak heran penuh tanya kini berubah tegang.
”Kenapa berdiri di sini? Ayo, bersiap! Pengantin prianya sudah datang!”
Seseorang yang menghambur dari belakang sedikit menyenggol pundakku. Perempuan muda yang kutebak sebagai perias itu membetulkan letak karmelok dan kembang rumbai yang menjuntai di dadamu, memeriksa riasan, memperhatikan posisi cunduk melati dan cunduk mentul, membetulkan lipatan sampir, lalu memperhatikan tubuhmu secara keseluruhan.
”Cantik!” serunya, tersenyum puas.
Dengan langkah pendek-pendek kau dituntun keluar untuk menyambut kedatangan keluarga mertuamu. Aku terbiar. Mematung sendiri menatap kamar pengantin yang kautinggalkan. Sebuah kamar berdinding kelambu satin putih gading dan berhias mawar-mawar merah fanta di hulu dipan. Hanya itu yang terlihat dari bingkai pintu.
Riuh di luar memancingku untuk mengintip melalui jendela.
Tamu undangan sudah duduk rapi di kursi menikmati suguhan kue basah dan minuman dalam botol kemasan, menghadap dekorasi model bambu runcing berjajar empat yang dipenuhi bunga bagian tengahnya. Standing oval berdiri di kedua sisi. Daun anggur putih dan kembang melati berjuntaian menghiasi plafon. Lampu-lampu kristal akrilik bergelantungan mirip di kediaman Tuan Takur dalam film India yang dulu sering kutonton. Hatiku tiba-tiba gerimis teringat saat kau masih bermain gundukan pasir di sudut halaman.
Kau berdiri di depan panggung dekorasi, menyambut kedatangan keluarga mertua didampingi bibimu dan seorang lagi yang tak kukenali. Siap menyalami mereka satu per satu.
Lama kupandangi kakak perempuanku yang masih secantik dulu. Rindu bermekaran di dadaku. Pandanganku beralih pada keluarga besan yang mulai memasuki tenda. Tiba-tiba mataku terantuk ke sosok berbaju brokat putih yang berjalan paling depan tanpa membawa parsel apa pun. Lengan dan bagian dadanya menerawang tak berpuring. Kerudungnya melilit leher. Wajah dan senyumnya….
Tidak asing!
Ingatanku mendadak berputar secepat mesin giling, mencari wajahnya di bagian sisi masa lalu.
Deg! Mesin pencarian di otakku berhenti. Bukankah dia pisang goreng yang pernah diburu ayahmu? Diakah yang akan jadi ibu mertuamu?
Jantungku berpacu.
Bagaimana mungkin? Kenapa bibimu menerimanya? Apakah kebiasaan tukar guling di desa itu masih ada? Bagaimana denganmu nanti?
Pertanyaan demi pertanyaan yang berjejalan membuat kepalaku serasa mau meledak! Baru kusadari bahwa dulu bibimu tak pernah bertemu dengan perempuan itu! (*)
—
Madura, 2024
Muna Masyari, Buku-bukunya pernah mendapatkan penghargaan Sutasoma dari Balai Bahasa Jatim dan Kemendikbudristek sebagai buku cerpen terbaik. Juga masuk 5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2021 untuk novelnya, Damar Kambang. Buku yang baru terbit, Kembang Selir, diterbitkan Diva Press.