32.7 C
Jakarta
Friday, November 22, 2024

Dialektika Tradisi Kepenyairan Indonesia-Cile

Tapak utama dari semangat kolaborasi kepenyairan dalam buku ini adalah pengalaman berdarah-darah ketika Indonesia dan Cile dilanda keganasan diktator militer.

 

Oleh DAMHURI MUHAMMAD, SASTRAWAN dan pendiri PORCH LITERARY MAGAZINE

KETERKAITAN penyair Cile dengan Indonesia sesungguhnya bukan hal baru. Pada 1930-an, diplomat muda Cile bernama Ricardo Neftali Reyes telah menginjakkan kaki di Batavia dan bekerja sebagai staf kedutaan Cile untuk Hindia Belanda.

Masa itu usia Reyes baru 26 tahun, tapi telah memiliki reputasi internasional sebagai penyair dengan nama beken Pablo Neruda (1904–1973) –kelak dikenal sebagai sastrawan Cile pemenang Nobel Sastra 1971. Tak lama setelah penugasannya di Batavia, Neruda menikahi seorang gadis Belanda kelahiran Jogjakarta bernama Maria Antonieta Hagenaar.

Jodie A. Shull (2009) dalam Pablo Neruda: Passion, Poetry, Politics –sebagaimana dikutip Maria Inggrid N. (2018)– mencatat bahwa Hagenaar berjumpa dengan Neruda di sebuah klub tenis di Batavia dan menikah tak lama setelahnya.

Tentang pernikahan itu, dalam kolom berjudul Pablo Neruda, Batavia, dan Kudeta, Seno Joko Suyono (2001) mengutip sepenggal surat yang ditulis langsung oleh Pablo Neruda –kini masih tersimpan sebagai arsip penting di Kedutaan Cile, Jakarta– yang berbunyi; …Saya harus mengabari sesuatu yang penting. Saya telah menikah. Istri saya tinggal di kota ini (Batavia). Istri saya keturunan campuran Belanda-Jawa dan bukan orang kaya. Jika kalian bisa bertemu dengannya, tentu bangga dengannya. Jangan mengkhawatirkan saya, karena saya tidak sendiri lagi. Kami miskin tapi bahagia…

Jika 94 tahun yang silam penyair Cile yang menginjakkan kaki di tanah Indonesia, pada 2022, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud RI mengirim dua penyair Indonesia –Afnan Malay dan FX Rudy Gunawan– ke Cile untuk melakukan residensi kepenulisan. Salah satu output dari program residensi itu adalah buku Para Lavida; antologia de poesia (Santiago; Libros del Pez Espiral, Februari 2024) ini.

Baca Juga :  Tentang Ketiak Kota yang tanpa Deodoran

’’Kunjungan kedua sastrawan Indonesia ini telah memberikan kesempatan kepada keduanya untuk mengenal berbagai ragam praktik dan institusionalisasi secara sosial berbagai bentuk ekspresi kesenian, dan apresiasinya dalam konteks politik dan sosial yang sangat dinamis di Cile,’’ tulis Muhammad Anshor, Dubes Indonesia untuk Cile, dalam pengantarnya.

Antologi yang menghimpun karya-karya dari 5 penyair Cile dan 8 penyair Indonesia diterbitkan dalam dua bahasa (Indonesia-Spanyol) dan karya-karya yang dihimpun Rudy Gunawan dari sejumlah penyair Indonesia telah dipresentasikan di forum-forum pertemuannya dengan komunitas sastra di Santiago guna mengokohkan sebuah etos kolaborasi kepenyairan antarkedua negara.

Jiwa kedua bangsa dibayangkan dapat dipertemukan lewat tradisi kepenyairan. Lalu, atas dasar apa kolaborasi kepenyairan Cile-Indonesia dapat dilakukan?

Pertanyaan itu dapat dijawab oleh puisi berjudul 6 de Octubre de 2019 (hal 143) karya Jorge Albornoz Figueroa. Dia mencantumkan keterangan sebelum masuk ke dalam bait-bait puisinya; Untuk mengenang ayahku, Jorge Albornoz Cerda, yang ditembak mati dari belakang oleh seorang tentara pada tahun 1975 pada masa kediktatoran Cile.

Sekelumit peristiwa kematian yang tergambar dalam puisi di atas bukanlah kenyataan yang asing dalam lanskap sejarah kediktatoran Soeharto di mana pembungkaman suara-suara kritis sering berujung pada hilangnya nyawa banyak orang tak berdosa. Dengan begitu, tapak utama dari semangat kolaborasi kepenyairan dalam buku ini adalah pengalaman berdarah-darah ketika kedua bangsa dilanda keganasan diktator militer.

Bagaimana dengan kemiskinan? Baik sebelum kediktatoran militer –sebagaimana diungkap Neruda di akhir suratnya dengan kalimat ’’Kami miskin tapi bahagia’’– maupun pasca kejatuhan Pinochet? Apakah realitas kemiskinan di Indonesia dapat diklaim sebagai pengalaman kemiskinan yang juga diderita warga Cile di era baru mereka?

Baca Juga :  Dua Pembunuh dalam Satu Waktu

Ketika hidup diatur oleh kuasa angka dan data/kenangan menjadi barang mewah/rakyat miskin hanya bisa melihat di etalase/sepanjang trotoar jalanan kota Santiago (hal 112), demikian kutipan puisi FX Rudy Gunawan bertajuk Selamat Datang Desember (Bienvenido, Diciembre) yang seolah-olah sedang melaporkan situasi faktual saat ia berada di Santiago. Selamat Datang Desember/Masihkah bibirmu semerah darah rakyat tertindas? (hal 114).

Rudy seolah-olah sedang bertanya pada orang-orang Cile perihal kenapa kita –orang Cile dan orang Indonesia– yang setelah bebas dari kediktatoran militer selama puluhan tahun tak kunjung bebas dari kemiskinan dan mentalitas tertindas? Dengan begitu, maka garis identifikasi kedua dari tradisi kepenyairan Cile-Indonesia adalah sama-sama sedang bertarung melawan kemiskinan.

Tradisi kepenyairan Indonesia yang diwakili oleh karya-karya Achmad Munjid, Afnan Malay, FX Rudy Gunawan, Dorothea Rosa Herliany, Sihar Ramses Simatupang, Ulfatin Ch, dan Nezar Patria dalam buku ini dapat diandaikan sedang berdialektika dengan tradisi kepenyairan Cile yang diwakili Elisabeth Manosalva, Ulises Mora, Jorge Albornoz, Leonora Diaz, dan Oscar Quiroz Muzat, atas dasar dua garis identifikasi di atas.

Namun, tentu saja kolaborasi yang diharapkan sebagai strategi baru dalam diplomasi budaya Indonesia di kawasan Amerika Latin bukan untuk meratapi pengalaman-pengalaman kelam serupa, melainkan untuk membangkitkan kesadaran guna membangun mentalitas resilien bagi kehidupan masa datang kedua negara; Para Lavida, termasuk menstimulasi ’’denyut hidup’’ kepenyairan Indonesia yang mampu mewarisi pencapaian puitik dari sastrawan besar Cile seperti Gabriela Mistral dan Pablo Neruda. (*)

Judul: Para Lavida; antologia de poesia

Penulis: FX Rudy Gunawan, Afnan Malay dkk

Penerjemah: Annecy Nur Madina

Penerbit: Libros del Pez Espiral, Santiago, Cile

Edisi: Februari, 2024

Tebal: 290 hal

Tapak utama dari semangat kolaborasi kepenyairan dalam buku ini adalah pengalaman berdarah-darah ketika Indonesia dan Cile dilanda keganasan diktator militer.

 

Oleh DAMHURI MUHAMMAD, SASTRAWAN dan pendiri PORCH LITERARY MAGAZINE

KETERKAITAN penyair Cile dengan Indonesia sesungguhnya bukan hal baru. Pada 1930-an, diplomat muda Cile bernama Ricardo Neftali Reyes telah menginjakkan kaki di Batavia dan bekerja sebagai staf kedutaan Cile untuk Hindia Belanda.

Masa itu usia Reyes baru 26 tahun, tapi telah memiliki reputasi internasional sebagai penyair dengan nama beken Pablo Neruda (1904–1973) –kelak dikenal sebagai sastrawan Cile pemenang Nobel Sastra 1971. Tak lama setelah penugasannya di Batavia, Neruda menikahi seorang gadis Belanda kelahiran Jogjakarta bernama Maria Antonieta Hagenaar.

Jodie A. Shull (2009) dalam Pablo Neruda: Passion, Poetry, Politics –sebagaimana dikutip Maria Inggrid N. (2018)– mencatat bahwa Hagenaar berjumpa dengan Neruda di sebuah klub tenis di Batavia dan menikah tak lama setelahnya.

Tentang pernikahan itu, dalam kolom berjudul Pablo Neruda, Batavia, dan Kudeta, Seno Joko Suyono (2001) mengutip sepenggal surat yang ditulis langsung oleh Pablo Neruda –kini masih tersimpan sebagai arsip penting di Kedutaan Cile, Jakarta– yang berbunyi; …Saya harus mengabari sesuatu yang penting. Saya telah menikah. Istri saya tinggal di kota ini (Batavia). Istri saya keturunan campuran Belanda-Jawa dan bukan orang kaya. Jika kalian bisa bertemu dengannya, tentu bangga dengannya. Jangan mengkhawatirkan saya, karena saya tidak sendiri lagi. Kami miskin tapi bahagia…

Jika 94 tahun yang silam penyair Cile yang menginjakkan kaki di tanah Indonesia, pada 2022, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud RI mengirim dua penyair Indonesia –Afnan Malay dan FX Rudy Gunawan– ke Cile untuk melakukan residensi kepenulisan. Salah satu output dari program residensi itu adalah buku Para Lavida; antologia de poesia (Santiago; Libros del Pez Espiral, Februari 2024) ini.

Baca Juga :  Tentang Ketiak Kota yang tanpa Deodoran

’’Kunjungan kedua sastrawan Indonesia ini telah memberikan kesempatan kepada keduanya untuk mengenal berbagai ragam praktik dan institusionalisasi secara sosial berbagai bentuk ekspresi kesenian, dan apresiasinya dalam konteks politik dan sosial yang sangat dinamis di Cile,’’ tulis Muhammad Anshor, Dubes Indonesia untuk Cile, dalam pengantarnya.

Antologi yang menghimpun karya-karya dari 5 penyair Cile dan 8 penyair Indonesia diterbitkan dalam dua bahasa (Indonesia-Spanyol) dan karya-karya yang dihimpun Rudy Gunawan dari sejumlah penyair Indonesia telah dipresentasikan di forum-forum pertemuannya dengan komunitas sastra di Santiago guna mengokohkan sebuah etos kolaborasi kepenyairan antarkedua negara.

Jiwa kedua bangsa dibayangkan dapat dipertemukan lewat tradisi kepenyairan. Lalu, atas dasar apa kolaborasi kepenyairan Cile-Indonesia dapat dilakukan?

Pertanyaan itu dapat dijawab oleh puisi berjudul 6 de Octubre de 2019 (hal 143) karya Jorge Albornoz Figueroa. Dia mencantumkan keterangan sebelum masuk ke dalam bait-bait puisinya; Untuk mengenang ayahku, Jorge Albornoz Cerda, yang ditembak mati dari belakang oleh seorang tentara pada tahun 1975 pada masa kediktatoran Cile.

Sekelumit peristiwa kematian yang tergambar dalam puisi di atas bukanlah kenyataan yang asing dalam lanskap sejarah kediktatoran Soeharto di mana pembungkaman suara-suara kritis sering berujung pada hilangnya nyawa banyak orang tak berdosa. Dengan begitu, tapak utama dari semangat kolaborasi kepenyairan dalam buku ini adalah pengalaman berdarah-darah ketika kedua bangsa dilanda keganasan diktator militer.

Bagaimana dengan kemiskinan? Baik sebelum kediktatoran militer –sebagaimana diungkap Neruda di akhir suratnya dengan kalimat ’’Kami miskin tapi bahagia’’– maupun pasca kejatuhan Pinochet? Apakah realitas kemiskinan di Indonesia dapat diklaim sebagai pengalaman kemiskinan yang juga diderita warga Cile di era baru mereka?

Baca Juga :  Dua Pembunuh dalam Satu Waktu

Ketika hidup diatur oleh kuasa angka dan data/kenangan menjadi barang mewah/rakyat miskin hanya bisa melihat di etalase/sepanjang trotoar jalanan kota Santiago (hal 112), demikian kutipan puisi FX Rudy Gunawan bertajuk Selamat Datang Desember (Bienvenido, Diciembre) yang seolah-olah sedang melaporkan situasi faktual saat ia berada di Santiago. Selamat Datang Desember/Masihkah bibirmu semerah darah rakyat tertindas? (hal 114).

Rudy seolah-olah sedang bertanya pada orang-orang Cile perihal kenapa kita –orang Cile dan orang Indonesia– yang setelah bebas dari kediktatoran militer selama puluhan tahun tak kunjung bebas dari kemiskinan dan mentalitas tertindas? Dengan begitu, maka garis identifikasi kedua dari tradisi kepenyairan Cile-Indonesia adalah sama-sama sedang bertarung melawan kemiskinan.

Tradisi kepenyairan Indonesia yang diwakili oleh karya-karya Achmad Munjid, Afnan Malay, FX Rudy Gunawan, Dorothea Rosa Herliany, Sihar Ramses Simatupang, Ulfatin Ch, dan Nezar Patria dalam buku ini dapat diandaikan sedang berdialektika dengan tradisi kepenyairan Cile yang diwakili Elisabeth Manosalva, Ulises Mora, Jorge Albornoz, Leonora Diaz, dan Oscar Quiroz Muzat, atas dasar dua garis identifikasi di atas.

Namun, tentu saja kolaborasi yang diharapkan sebagai strategi baru dalam diplomasi budaya Indonesia di kawasan Amerika Latin bukan untuk meratapi pengalaman-pengalaman kelam serupa, melainkan untuk membangkitkan kesadaran guna membangun mentalitas resilien bagi kehidupan masa datang kedua negara; Para Lavida, termasuk menstimulasi ’’denyut hidup’’ kepenyairan Indonesia yang mampu mewarisi pencapaian puitik dari sastrawan besar Cile seperti Gabriela Mistral dan Pablo Neruda. (*)

Judul: Para Lavida; antologia de poesia

Penulis: FX Rudy Gunawan, Afnan Malay dkk

Penerjemah: Annecy Nur Madina

Penerbit: Libros del Pez Espiral, Santiago, Cile

Edisi: Februari, 2024

Tebal: 290 hal

Terpopuler

Artikel Terbaru