Site icon Prokalteng

Sesungguhnya Dia Tak Ingin Menjadi Ibu

ILUSTRASI (BUDIONO/JAWA POS)

Oleh FANNY J. POYK

Sebenarnya, jika dia mengilas balik kisah masa lalunya, dia tidak ingin menjadi ibu. Satu alasan dari keinginannya itu adalah baginya akan banyak derita yang diperolehnya kelak. Dia merasa derita ibunya akan menurun kepadanya. Menurutnya, berperan sebagai ibu itu berat, sangat berat.

DIA mengilas balik kenangan masa remajanya, mengenang kembali keseharian peran ibunya. Di matanya, yang telah dialami ibunya sungguh di luar batas dari wujud manusia yang bernama perempuan.

Perempuan yang seharusnya menerima hal-hal baik di sepanjang hidupnya. Tapi, keinginannya untuk tidak menjadi ibu tidak terjadi. Keinginannya itu seolah ditolak takdir dan dia tetap menjadi seorang ibu. Ibu dengan segala problematikanya yang rumit dan kompleks.

Ibu yang harus menerima dengan pasrah dan tegar segala perilaku makhluk-makhluk di sekitarnya. Ibu dengan mengalahkan ego yang ada di hatinya. Ibu yang menurut sebagian orang harus tunduk pada aturan kehidupan yang dibentuk berdasar satu kesepakatan untuk masuk ke dalam satu lembaga yang penuh dengan tanggung jawab. Ibu yang terkadang memosisikannya sebagai budak tanpa dia sadari.

Ya, pilihan tetap pilihan. Hidup selibat dengan mematikan libido yang datang di usia remaja tampaknya tak berjalan searah dengan kehendaknya. Pikirannya mulai mengikuti siklus zaman.

Takdir perempuan adalah menikah seperti yang sudah digariskan alam. Kemudian hamil, melahirkan, membesarkan anak, mengasuh mereka hingga menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa juga memperoleh kesuksesan di berbagai bidang.

Setelah itu, rotasi akan terulang. Para anak akan ”diambil” oleh lelaki atau perempuan yang kemudian menjadi istri atau suami mereka. Lalu kehidupan akan bergulir secara alami dan sesuai dengan kodrat alam. Dia, si perempuan yang pada awalnya tak mau menjadi ibu itu, akan mengikuti siklus bumi, menua lalu mati.

Hidup di dalam satu lembaga yang dinamakan rumah tangga atau keluarga telah mengikat kebebasannya yang dulu selalu diinginkan. Menjadi manusia merdeka tanpa harus mengikuti alur takdir sebagai seorang ibu. Ketika lelaki yang dicintainya datang melamar, dia tidak bisa menolak binar panah amor yang menyusup kuat ke relung hatinya.

Semua itu mematahkan keinginannya untuk tidak menjadi ibu. Ya, ketika dia mengilas balik semuanya, dia kembali ke keinginan semula, seharusnya ia tidak menjadi seorang ibu! Terlalu complicated, pikirnya. Namun, guratan waktu berbicara dengan anomali yang menentang semua rencananya. Panah amor yang kuat itu benar-benar datang tanpa diminta. Mengalahkan komitmen yang semula bercokol di hatinya.

***

”Mengapa kau dulu memilih tidak mau menjadi ibu?” tanya seorang sahabatnya yang memiliki empat anak dan kini ditinggal suaminya yang memilih kawin siri dengan perempuan selingkuhannya.

”Sebenarnya pemikiranku sederhana. Semua itu berawal dari melihat contoh kehidupan orang tuaku dan banyak peristiwa terjadi di sekelilingku,” sahut perempuan itu. Dia enggan untuk memperjelas contoh yang ada di hadapannya. Takut sang sahabat bersedih hati.

”Tapi, itu kan tidak terjadi pada setiap orang. Buktinya setelah kau menikah dan punya anak, hidupmu baik-baik saja,” lanjut sahabatnya dengan wajah sedikit murung. Mungkin dia terkenang akan kisahnya sendiri.

Perempuan itu terdiam sejenak. Wajahnya terlihat suram. Dia mengakui bahwa dirinya tidak salah memilih suami. Cinta yang kuat masih tertanam di dasar sanubarinya. Namun, dalam perjalanan empat dasawarsa usia perkawinannya, beragam kisah muncul dan menjadi sebuah drama realistis tanpa skenario.

Susah dan senang datang bagai gulungan ombak yang memecah di tepian pantai. Dia tak ingin mengenang kisah yang dibarengi dengan ragam kepedihan sehingga air matanya turun di kedua pipinya pada malam-malam sunyi, sepi tanpa suara. Hanya detak jantungnya yang kerap berdetak cepat apabila kisah tentang orang-orang terdekatnya kembali merasuki relung ingatannya.

”Apakah kau memiliki beban hidup sehingga kau bilang jika mengilas balik kehidupan, kau tak ingin menjadi ibu?” selidik sahabatnya kembali.

Perempuan itu masih tetap diam. Pikirannya terbang melayang ke segala arah. Meski demikian, nalarnya masih berjalan sempurna. Satu hal yang membuatnya tak mau terjebak oleh rasa belas kasihan dari tampilan wajah dan tanya penuh dengan aroma jebakan dari sahabatnya itu adalah dia tak ingin apa yang diungkapkannya menjadi sebuah kisah yang meluncur dari mulut ke mulut hingga berkembang biak berbentuk gosip murahan layaknya berita viral di media sosial.

Biar sang sahabat tak tahu sampai sejauh mana kedalaman hati dari kompilasi rasa sedih yang menderanya.”Akan kutanggung sendiri apa yang kurasakan,” kata perempuan yang pada awalnya berencana tidak mau menjadi ibu itu.

Pada perjalanan waktu, rasa nyaman antara perempuan itu dan suaminya mulai terusik. Ketika anak-anak sudah dewasa, ada yang menikah, lalu suami pensiun, dan perempuan itu juga purnatugas dari kantornya. Dan keduanya bukan pegawai negeri yang punya dana pensiun.

Jadi, dana pesangon hari tua yang diberikan perusahaannya dan suaminya secara pelan habis tergerus oleh kebutuhan sehari-hari. Semua yang nyaman mulai berganti arah. Perempuan itu kembali pada pernyataannya semula, dia tak ingin menjadi ibu.

”Mengapa pernyataan itu kukatakan kembali? Karena apa yang telah kulalui, selama mengikuti perjalanan sebagai ibu tak seperti yang kuharapkan. Aku merasa menyesal telah menjadi ibu,” katanya dengan suara datar.

”Kesalahannya di mana? Bukankah kau terlihat nyaman-nyaman saja? Suamimu baik, dua anak telah sukses di dalam pendidikannya, satu sudah menikah, dan kau punya seorang cucu perempuan yang cantik rupawan,” kata sahabatnya yang lain.

”Hidup itu tak selalu berada di zona nyaman. Kita juga akan berada di area yang tak nyaman, hidup seperti memanggul beban dan beban itu akan hilang ketika kita tiada,” lanjut sang sahabat.

Kali ini perempuan itu menghapus air mata yang mengalir deras di pipinya.

”Semua orang mengatakan begitu, hidup memikul beban hingga waktu di dunia berakhir. Tapi, aku sudah tak sanggup. Lelah sekali rasanya menjalani hidup ini,” kata perempuan itu dengan suara serak.

Percakapan pun terhenti. Sejurus kemudian, suara dering handphone berbunyi. Dia tak mengacuhkan bunyi handphone itu dan tak menjawabnya. Dering handphone kembali berbunyi. Kali ini dia mengangkat dan kemudian menaruh ponsel di telinga. ”Kakak, adik Martin hilang. Bagaimana ini?” suara adik ketiganya terdengar dari kejauhan.

Perempuan itu menundukkan wajahnya. Hatinya bagai tergores sembilu. Ingatannya pada sang ibu yang hilang lima belas tahun lalu kembali terbayang. Ibu hilang bagai ditelan bumi, sekarang adik lelakinya yang menderita skizofrenia juga hilang. Dua tahun lalu ayahnya pergi tanpa pamit seperti sang ibu yang hilang entah ke mana. Lalu adik lelakinya yang genius setahun lalu juga tiada akibat kanker otak.

Dia menunduk pedih. Betapa tragis dan absurdnya hidup ini, bisiknya sendirian. Dia ingin menangis lagi, namun air mata itu rasanya sudah tak bersisa. Pada dini hari yang sunyi, dia mengutarakan perasaannya pada sang suami.

”Seharusnya dulu aku tidak menikah, seharusnya aku tidak menjadi ibu, seharusnya aku merawat ayah, ibu, dan adikku yang sakit jiwa, seharusnya aku tidak melihat derita yang beruntun datang. Seharusnya aku tidak pernah tahu kalau kau akan terkena penyakit jantung di usia tuamu, seharusnya aku bisa mengasihani diriku sendiri, dan merasakan penyakit diabetes membunuhku perlahan-lahan.

Seharusnya aku tidak merasakan kepedihan yang teramat dahsyat dari yang kini kuhadapi. Seharusnya aku tidak bekerja keras mencari sesuap nasi di hari tuaku untuk makan kita. Aku lelah,” kata si perempuan.

Waktu kemudian terlarung bersama sepi. Perempuan itu dan suaminya berjalan bergandengan tangan. Mereka menantang ombak, meniti jalan dengan langkah perlahan hingga ke tengah lautan. Ketika wujud mereka lenyap tertelan samudra, terdengar ucap lirih dari perempuan itu pada suaminya. ”Aku telah menuntaskannya. Terlalu berat bagiku menanggung semua ini. Selamat tinggal derita.”

Dan perempuan itu tersentak dari tidur lelapnya. Di sisinya dengkur sang suami terdengar bak kereta yang melaju perlahan memasuki stasiun. Perempuan itu berucap ke diri sendiri, ”Ah, ternyata semua hanya mimpi. Tapi, kalau bisa memilih, aku tak ingin menjadi ibu. Terlalu berat,” ujarnya.

Sang suami membuka matanya. Ruang rumah jompo tempat dia dan perempuan yang juga istrinya itu tinggal terlihat sedikit remang-remang. Mereka berdua ditempatkan di sana oleh anak-anak yang mereka sayangi dan rawat sejak kecil.

Tak ada kekuasaan untuk melawan. Mereka harus pasrah sebab tak punya dana pensiunan yang datang tiap bulan. Keduanya bersyukur masih bisa bersama. Meski gumaman kerap terdengar dari mulut sang istri, ”Sesungguhnya aku tak ingin menjadi ibu.” (*)

FANNY J. POYK, Lahir di Bima, Sumbawa, NTB. Saat ini tinggal di Depok.

Exit mobile version