Oleh ANNISA MOEZHA*
—
Dari balik jendela, Ruminah melihat puluhan orang memenuhi jalanan, berteriak-teriak dengan wajah penuh amarah. Beberapa menyulut api pada tumpukan ban bekas yang berserakan, serapah dan ancaman bergema di udara. Di kejauhan, api merambati rumah-rumah pertokoan dan swalayan seberang jalan.
TIBA-tiba terdengar suara pintu dipukul kasar. Bayangan hitam di luar memaksa masuk. Ibu dan Ruminah bertatapan dengan muka pasrah. Kengerian menjalar di tubuh keduanya.
”Bu, mereka datang,” bisik Ruminah, tercekat. Kedua tangannya menekan pintu, sekuat tenaga menahan dorongan dari luar.
”Buka pintunya!!’’ suara laki-laki memaksa. Teriakan itu mengguncang gagang pintu yang nyaris tercabut. Kaca jendela bergetar saat tangan-tangan liar mengetuk keras. Dua bayangan berkelebat di balik jendela.
”Cepat buka atau kami dobrak warung ini!!’’ suara lain berteriak. Di luar, bunyi gaduh kian menggelegar.
Di pelukan Ibu, kau meringkuk memeluk botol susu kesayanganmu dengan sisa isak tangis. Kau mencium napas Ibu yang tak beraturan, dadanya naik turun menyembunyikan ketakutan.
Dengan segenap keberanian, Ibu menghampiri Ruminah yang susah payah menahan pintu. ”Biar saya hadapi mereka, Rum.” Ibu memberi aba-aba agar Ruminah bergeser.
Sedetik kemudian, Ruminah meraih tubuhmu dalam gendongannya. Ibu menyiapkan nyali menghadapi orang-orang beringas yang menunggu mangsanya keluar.
Ibu menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu. Dua lelaki berdiri di hadapannya, wajahnya sangar, tatap matanya liar. Salah satu membawa balok kayu panjang, sementara lainnya memegang karung besar yang setengahnya telah terisi.
”Mau apa kalian?” suara Ibu bergetar. ”Kami hanya pedagang warung kecil. Tidak ada yang bisa kalian ambil. Tidak ada gunanya kalian menjarah di sini.’’
Lelaki dengan balok kayu menyeringai, matanya menyapu ruangan lalu berhenti di wajah Ibu. ”Kami hanya cari orang. Siapa tahu kalian sembunyikan penghuni-penghuni ruko sebelah.”
Matanya menelanjangi seisi warung lalu tertumbuk padamu di gendongan Ruminah. Kau terdiam, tangismu hening.
”Kami tidak sembunyikan siapa pun,” jawab Ibu cepat. ”Kami hanya tinggal bertiga di sini. Kalau mau makan, saya kasih makanan.” Ibu menunjuk etalase berisi lauk-pauk dingin di belakangnya. Belum ada pelanggan satu pun hari ini. Mereka tak bisa disebut pelanggan pertama. Sebab, mereka tidak datang untuk makan.
Lelaki lain dengan karung besarnya masuk, memeriksa tiap sudut warung, menengok ke berbagai sisi.
”Sesama pribumi jangan saling menyusahkan. Tidak ada barang-barang berharga di warung kecil ini,” ujar Ibu, mengikuti lelaki itu. Di satu sudut, Ruminah yang pucat setia menggendongmu erat.
Lelaki dengan balok kayu mendekati etalase, matanya menyipit, mencari sesuatu. Ia membuka laci. ”Tak ada yang bisa diambil di sini,” katanya sambil meludah ke lantai.
Begitu dua lelaki itu pergi, Ibu cepat menutup pintu, lalu meraihmu. Ruminah kembali berjaga di dekat jendela. Kelegaan tampak di wajah Ibu.
Hari ini warung kecilnya tak beroperasi, padahal semua makanan telah siap tersaji. Pagi-pagi sekali, Ruminah mendapat kabar dari pasar bahwa akan ada aksi massa di mana-mana.
”Tidak akan ada yang mampir hari ini, Rum. Tutup saja dulu warungnya. Di jalan raya akan banyak orang turun aksi,” begitu Ruminah menirukan tukang sayur, berapi-api menceritakan kepada Ibu pagi tadi tentang desas-desus demo besar hari ini.
Tanpa pikir panjang, Ibu menuruti. Semua pintu dikunci, tirai jendela ditutup. Segepok uang dari laci ia bungkus koran, dimasukkan ke plastik, lalu diikat kencang di balik daster lusuhnya.
Kau sibuk menyedot susu dari botol kesayanganmu, belum paham akan kekacauan yang terjadi. Ketika suara dentuman terdengar dari luar, matamu berbinar. Kau melompat, bertepuk tangan, mengira ada pertunjukan kembang api di luar sana.
Ruminah memandang jalanan yang kacau dengan mata berkaca-kaca. Menit demi menit yang dilalui menjadi lebih menakutkan ketika orang-orang memenuhi jalan raya, berteriak, memecahkan kaca, dan menjarah swalayan seberang jalan. Beberapa berlarian membawa barang hasil rampasan, keluar masuk dengan kantong-kantong besar.
Semua orang di luar sana begitu tergesa-gesa dan dipenuhi amarah. Mobil-mobil diarak dan dibakar. Apinya menyala-nyala memenuhi jalanan. Ruminah bergidik. Tak pernah ia menyangka akan melihat kekacauan seperti ini dalam hidupnya.
Di luar masih berisik, Ruminah terduduk di bangku panjang depan etalase, memandang jalanan seperti menonton televisi besar. Bayangan keributan di hadapannya bagai mimpi buruk di siang hari. Sementara di kepalanya, bayangan rumah dan kampung halaman berkelebat tumpang tindih.
Mungkin ada sesal di hatinya, keputusan untuk ikut merantau ke ibu kota dan meninggalkan Badrun, laki-laki pujaan hatinya. Oleh sebab pekerjaan Badrun sebagai kuli panggul di pasar tak menjanjikan, ia lantas bersedia menyumbangkan keringatnya sebagai pelayan warung demi memenuhi biaya pernikahan impiannya.
Sementara kekacauan di luar semakin menjadi-jadi. Ibu turut duduk di bangku panjang, menyelonjorkan kaki, mengusap-usap kepalamu. Menyadari bahwa masih ada kau dalam hidupnya sebagai kekuatan untuk bisa melewati hari yang gaduh ini.
Ibu mulai bersenandung. Ia mengelus rambutmu, membisikkan doa-doa di antara senandungnya. Dan kau sesekali mendongak melihat wajah cantiknya, menikmati senandungnya.
’’Orang-orang di luar makin ramai, Bu. Api makin merambat ke mana-mana,’’ suara Ruminah pilu. Tapi, Ibu masih terus bersenandung kecil, seolah ingin meninabobokanmu dalam dekapannya.
Ibu mengeratkan pelukan. Matanya lurus menatap kalender yang tergantung di atas etalase. Ruminah ikut mengalihkan pandangan ke arah kalender. Mereka menatap hari yang sama. Hari ini, Rabu minggu kedua di bulan Mei.
Ibu mengusap pelipismu lembut, mulutnya terus bersenandung. Jadwal tidur siangmu tak boleh terlewatkan. Kau tak kuasa menahan kantuk. Suara ramai di luar makin sayup-sayup kau dengar. Dalam sesaat, pejam matamu kian gelap.
Ibu mengajakmu pergi menemui Bapak yang sudah lama tak ditemui. Di sampingmu, Ibu duduk memegangi nisan kayu bertulisan nama Bapak. Tempat ini sunyi dan dingin, tapi kau mengenalinya –tempat di mana Bapak tertidur dan tak pernah bangun lagi.
”Kami baik-baik saja, Pak. Kami bertahan meskipun sulit,” suara Ibu pelan dan berat. Tangannya mengusap nisan dengan kelembutan yang sama seperti ketika ia mengusap pipimu. ’’Anakmu pintar, Pak. Usianya dua tahun kini. Dia sudah pandai berlari, banyak mengoceh, dan bernyanyi.”
Kau hanya bisa memandangi Ibu yang terus berbicara.
”Aku rindu, Pak,” suaranya sesak, sudut matanya basah. ”Andai kamu masih ada, melindungi kami…” Pada kata melindungi, suaranya patah. Air matanya jatuh satu-satu.
’’Aku takut, Pak,” ucap Ibu. Pandangannya beralih padamu. ’’Aku takut tak bisa menjaganya. Dunia ini terlalu keras untuknya.”
Wajahnya dipenuhi kekhawatiran. ’’Sungguh aku sangat takut menghadapi hari ini.” Lalu, tangisnya pecah. Ia terisak. Kau tak pernah melihat Ibu menangis seperti itu.
’’Pak, apa boleh aku menyerah?” bisiknya, menusuk keheningan. Kau ingin mendekat memeluk Ibu, tapi tubuhmu terasa beku. Tangis Ibu menggema, membelah ruang mimpi menjadi serpihan kecil.
Tiba-tiba, cahaya putih menarik paksa tubuhmu. Kau tersentak bangun, tubuh kecilmu berkeringat. Begitu membuka mata, suara senandung Ibu masih terdengar lirih, hampir tenggelam di antara keriuhan.
Kau teringat mimpimu, lalu jemarimu berusaha meraih pipinya yang ternyata basah. Mata sembapnya menatapmu, seperti sedang mengunci semua ketakutan jauh di dalam dirinya.
’’DARRR!” bunyi ledakan mendadak menggetarkan dinding. Suaranya meninju udara, terlalu keras, terlalu nyata. Mengacaukan jadwal tidur siangmu.
’’DARRR! DARRR!” Ledakan bertubi-tubi datang, mengguncang tubuh kecilmu. Kau menangis ketakutan. Rasa lapar turut menggerogotimu. Susu di botolmu habis.
’’DARRR! DARRR! DARRR!”
Bunyinya menjalar seperti gelombang, berpadu dengan suara teriakan, derit roda kendaraan, dan benda-benda yang dilemparkan. Tak ada pertunjukan kembang api seperti dugaanmu.
Ibu terus bersenandung. Sementara Ruminah masih berjibaku dengan televisi besar dan pertunjukan mencekam di hadapannya, wajahnya kian pucat.
’’Bu, bisakah kita keluar dan pergi dari sini?” isak Ruminah. Gadis itu mempertanyakan nasibnya.
Ibu menggeleng. ’’Situasi di luar tidak aman. Bertahanlah sebentar lagi, Rum.” Suara Ibu terdengar begitu kuat. Tapi, kau tahu. Kau tahu bahwa Ibu tidak sekuat yang ia tunjukkan. Kau tahu bahwa dunia ini terlalu menakutkan untuk seorang Ibu yang sendirian.
Dari balik dekapan Ibu, kau ingin sekali mengeja semua kejadian aneh hari ini. Kau bahkan tak pernah membayangkan akan datang hari di mana semua hal menumbuhkan pertanyaan di kepalamu.
Dan semua pertanyaan itu tak bisa kau ajukan sekarang –entah nanti, atau semuanya akan terlupa saat kau tumbuh dewasa. Meski demikian, saat ini kau memiliki keyakinan bahwa dunia akan baik-baik saja selama Ibu masih bersenandung. (*)
—
*) ANNISA MOEZHA, Penulis asal Brebes, Jawa Tengah, yang aktif menekuni dunia literasi. Beberapa karyanya tersiar di sejumlah media cetak serta digital.