Oleh YOGA ZEN
—
Pada hari ketika Paman Gordi meninggal, semua orang di rumahku sepakat bilang kepada pelayat bahwa ia jatuh di kamar mandi. Hanya sebatas itu.
KETIKA mereka bertanya lebih lanjut bagaimana persisnya, pihak keluargaku memberikan jawaban yang berbeda seakan terkesan menyembunyikan sesuatu. Nenekku berkata bahwa almarhum sudah tidak sadarkan diri sejak kali pertama ditemukan subuh ketika ia hendak bersiap ke surau. Sedang ibuku mencoba meyakinkan semua orang bahwa kepala almarhum membentur sanding bak mandi meski kenyataannya tidak ada bekas luka.
Dan ayahku seakan memperumit semua. Dengan percaya diri ia bilang bahwa almarhum terkena serangan jantung, persis seperti almarhum kakekku. Ini yang paling konyol dari semua, kukira, sebab ayah ibu dan ayah paman berbeda.
Di sini jelas sekali terlihat bahwa tak ada seorang pun yang benar-benar mengenal paman, termasuk aku. Seharusnya akulah yang paling terpukul atas kepergiannya. Tapi, entah kenapa aku merasa begitu hampa. Tak mengerti apa-apa. Bahkan untuk sekadar meneteskan air mata pun aku tak sanggup.
Waktu itu hari Jumat. Tak ayal banyak orang menyarankan supaya almarhum dimakamkam selepas salat Jumat. Namun, keluargaku bersikeras secepat mungkin. ”Lebih baik disegerakan. Lagi pula tak ada yang kami nanti,” kata ibuku. Sebelum pukul sepuluh jenazah selesai dikebumikan. Aku menghitung, hanya ada sembilan orang yang menghadiri pemakaman. Dua di antaranya tukang gali kubur.
Tidak ada isak tangis mengiringi kepergian Paman Gordi seolah-seolah kami tidak kehilangan siapa-siapa. Keesokan harinya ibu sepenuhnya lupa bahwa masih dalam kondisi berkabung. Hal itu terbukti tatkala para tetangga melayat ke rumah membawa beras dan mereka nyaris pulang bila tidak segera ditahan oleh nenek. Bagaimanapun, hidup terus berjalan dengan atau tanpa kehadiran Paman Gordi.
Paman Gordi adalah kakak dari ibuku. Meski begitu, ibu terlihat lebih dominan sebagaimana terhadap kami serumah. Ibu tak segan-segan menyuruh Paman Gordi bila ia di rumah. Gor, pangkas dahan mangga itu sekalian bersihkan atapnya! Gor, pergi belikan gas di kedai. Sapu halaman! Cuci piring! Jemput Ian ke sekolah! Paman Gordi selalu menurut. Ia tidak pernah mengeluh, apalagi menolak –paling tidak belum pernah terjadi di depan kami.
Paman Gordi memiliki wajah yang agak runyam. Kepalanya besar ditopang leher yang kecil serupa permen tangkai berbentuk hati. Letak matanya ada di sisi paling ujung tengkorak dengan tulang hidung bongok sebagai pemisah. Lidahnya terjulai sedikit keluar. Ketika bicara ia senantiasa mengulum-ngulum bibir bagian bawah untuk mengurangi kadar liur yang terbuang. Jakunnya besar serupa induk bekicot menempel di bawah dagu.
Paman Gordi tidak idiot sebagaimana banyak orang menganggap demikian. Ia dulu pernah jadi mahasiswa dan lulus sebagai sarjana. Nenek sempat ragu apakah menguliahkannya keputusan yang tepat. Ibu bahkan terang-terangan menentang permintaan konyol itu mengingat jurusan yang diambil; perbankan. Tetapi, Paman Gordi berhasil membuktikan dengan meraih gelar itu dalam waktu empat tahun.
Setahuku Paman Gordi belum berkeluarga dan ia juga belum punya pekerjaan tetap. Selepas wisuda paman tinggal bersama seorang kerabat di provinsi sebelah selama beberapa saat kemudian memutuskan merantau ke Jawa selama tujuh atau delapan bulan, aku tak begitu ingat, sebelum akhirnya pulang dan hilir mudik di terminal. Ketika di rumah paman selalu tampak murung. Aku tak tahu apakah hal tersebut berkaitan dengan struktur wajah yang memaksanya terlihat demikian atau justru sebaliknya.
Usiaku sebelas tahun dan aku masih tidur bersama orang tuaku. Jelas bukan sesuatu yang harus dibanggakan. Sejak kecil aku punya kebiasaan kencing tengah malam. Orang tuaku telah berkali-kali mengingatkan agar selalu ke kamar mandi sebelum tidur demi meredam kebiasaan itu.
Namun, entah bagaimana aku selalu terbangun dan berjalan menuju kamar mandi sendirian. Usiaku sebelas tahun, tapi kukira aku sudah cukup dewasa untuk tahu apa yang mereka lakukan tengah malam.
Suatu kali Paman Gordi bertanya mengapa aku terlihat lesu. ”Gigiku sakit,” jawabku bohong. Sejujurnya aku merasa malu mengutarakan ketidaknyamananku sekamar lagi bersama mereka. Tiba-tiba saja keesokan harinya Paman Gordi sibuk memindahkan barang-barang dari kamarnya ke gudang. Lalu ia menata kamar itu serapi mungkin dan menyerahkan kunci padaku.
”Penting bagi anak perempuan punya kamar sendiri agar tidak keseringan sakit gigi,” guraunya tersenyum seakan bisa membaca keinginanku. Aku senang sekali. Aku semakin yakin bahwa kami memiliki ikatan kuat sebab boleh dikatakan ialah satu-satunya orang di rumah yang benar-benar perhatian padaku
Pada libur akhir tahun lalu, Paman Gordi menghabiskan hari-harinya bersama kami. Aku sengaja memakai kata itu ketimbang mengasuh agar terdengar pantas. Ibu sibuk menolong ayah di toko. Barangkali ibulah yang menyuruh Paman Gordi menjaga kami selagi ia bekerja. Sementara nenek belakangan sibuk dengan grup pengajian yang setiap hari mengadakan pertemuan membahas surga dan neraka.
Kami cuma mengisi waktu menonton SpongeBob yang ditayangkan tiga kali sehari di televisi. Paman Gordi begitu menyukai Squidward tanpa alasan yang kumengerti. Ketika ia bilang cumi-cumi menyebalkan itu seniman hebat, kami –aku dan Ian– yang jarang sepakat dalam banyak hal kompak tertawa mengejek.
”Yang benar saja!” kataku seraya terkekeh. Ian segera ke kamar mengambil buku gambar, lalu memperlihatkan hasil gambar terbaiknya dan bilang betapa hebatnya ia menggambar daripada Squidward. Kalau boleh jujur keduanya sama saja; sama jeleknya.
Paman Gordi percaya bahwa kelak Ian akan jadi pelukis hebat. ”Tidak boleh berbohong pada anak kecil! Dosa, kata nenek!” ucapku mencibir. Paman Gordi lalu mengusap kepala Ian untuk meyakinkannya bahwa ia bersungguh-sungguh. Akibatnya, beberapa hari kemudian tak ada yang bisa menghentikan Ian berjalan dengan dada membusung seraya sesekali melempar senyum pongah padaku.
Itulah yang kukagumi dari Paman Gordi. Ia memperlakukan kami setara. Hal yang jarang kutemukan kala bersama orang tuaku. Ia menyayangiku sebagaimana mencintai adikku. Tak ada perlakuan istimewa, apalagi membanding-bandingkan.
Aku muak dibanding-bandingkan dengan makhluk cengeng itu. Nenek suka sekali menyebut makhluk itu si pembawa keberuntungan. Dulu nenek dan anak-anaknya hidup biasa saja sampai akhirnya ibu menikah dengan ayah.
Ayah pedagang beras. Ia punya dua toko dan dalam waktu dekat ini akan membuka satu toko lagi. Nenek dengan bangga sering bilang ke tetangga bahwa toko semakin ramai semenjak Ian lahir. Hal demikian juga ikut diamini oleh ibu. Aku tak percaya sebab menurutku ayahlah yang mengangkat derajat keluarga kami!
Di suatu sore, masih dalam suasana liburan akhir tahun, ada satu peristiwa yang tak bisa kulupakan sekaligus ingin kulupakan. Saat ibu pulang membelikan Ian robot Bumble Bee, aku merampok mematahkan kepala mainan itu atas dasar kebencian. Ian pun menangis sejadi-jadinya. Ibu dan ayah keluar, berlomba menghardikku.
”Mengapa aku tidak dibelikan juga?” tagihku kepada mereka. ”Kan kamu sudah besar. Buat apa mainan?” bentak ibu dengan murka. ”Bukan, maksudku, saat ibu membelikan Ian robot, aku juga ingin dibelikan sesuatu. Kalau merasa boneka kemahalan, paling tidak jepit rambut!
Aku sama sekali tidak keberatan dengan itu. Atau jangan belikan kami apa pun. Biar setimpal!” kataku dalam suara tinggi dan sekali tarikan napas. ”Hei! Bicara yang sopan pada ibumu!” tegur ayah, kemudian melanjutkan, ”kamu itu seorang kakak. Harus banyak mengalah.
”Aku menjawab sambil berteriak di depan mereka, ”Mengapa aku yang harus mengalah?” Seketika itu pipiku panas dan perih. Ibu menamparku. Kedua matanya terlihat berlinangan. Aku tidak menangis. Tidak setetes pun! Dan aku bangga dengan itu.
Kurasa aku perlu menceritakan ini. Aku dan ibu mempunyai hubungan yang rumit. Kami kerap bertengkar dan berdebat hal-hal yang menurutnya sepele, tetapi justru sebaliknya bagiku.
Misal, saat kami berada dalam angkot yang penuh sesak, ibu pasti memintaku duduk dipangku. Aku menolak dengan alasan aku bukan anak kecil lagi. Namun, ia terus memaksaku menuruti perintahnya. Kadang ia juga menarik lenganku di hadapan orang banyak.
Untuk yang terakhir, kubilang bahwa ibu tak perlu mengeluarkan uang sepeser pun bila itu yang menghalangiku duduk sendiri sebab aku punya cukup uang untuk membayar ongkos sampai ke rumah, lagi pula aku bisa pulang sendiri! Sejak itu ia tidak lagi menjemputku ke sekolah, melimpahkan tugas itu sepenuhnya pada nenek dan paman.
Aku lebih suka pulang bersama paman sebab selain membebaskanku menentukan pilihan duduk di mana, ia juga mengizinkanku membuka jendela asalkan tidak terlalu menjulurkan kepala keluar.
Aku menurut tanpa bersungut. Kupejamkan mata. Kurasakan angin membelai wajahku, mengibaskan rambutku. Aku senang menantang angin. Aku senang saat aku bisa menentukan pilihan sendiri. Dan aku menantikan hari-hari itu.
Balik ke peristiwa itu. Ketika aku duduk terdiam di teras rumah, Paman Gordi datang dan mengajak pergi dengan motor butut yang setahuku cuma hidup di hari-hari tertentu seperti pada malam takbiran atau tahun baru. Ia menggeber motor itu sesaat setelah mengisi tangki dengan bensin ketengan yang dijual tetangga dalam botol-botol jamu.
”Bisa temani sebentar?” pintanya sambil mengelap jok dengan kain basah. Tak ada alasan untuk menolak. Aku menurut seperti biasa.
Dalam perjalanan aku tidak bertanya hendak ke mana. Aku cuma diam. Tiba-tiba motor paman menepi di alun-alun. Di sana banyak pedagang kaki lima yang berjualan. Selagi membeli telur gulung, paman memintaku membeli minuman di toserba terdekat dan seperti biasa, ia membebaskanku memilih satu atau dua. Aku membelikannya minuman dengan kemasan biru putih, sementara aku menikmati minuman bersoda pertamaku.
Setelah itu kami pergi menuju lapangan tempat orang-orang sekitar biasa berkumpul dan bermain kala petang. Kami duduk di bawah pohon akasia bungkuk yang mana dahannya menjuntai hingga ke pojok lapangan. Langit senja kuning cerah dan dari kejauhan terdengar berita duka dari corong toa.
”Menangislah jika kamu ingin menangis,” kata Paman Gordi tiba-tiba tanpa melirik padaku seolah sedang bicara sendiri. Pandangannya jauh ke depan, seperti masyuk menyaksikan anak-anak berlarian. ”Belajarlah menikmati kesedihanmu.”
”Nikmati?” kataku penuh keheranan setelah hening sejenak.
Paman Gordi mengangguk cepat. ”Menangislah. Biarkan air matamu jatuh. Tak usah ditahan. Kalau sudah selesai, berjanjilah padaku untuk bangkit. Paling tidak berjalan selangkah demi selangkah. Tinggalkan kesedihan itu di belakang atau rangkul bila memang perlu. Dengan begitu paman yakin kamu akan jadi lebih baik.”
Aku tersenyum mengejek, menganggap semua itu cuma nasihat biasa. Tetapi, tanpa kusadari, setetes air mata jatuh saat aku memaksakan untuk tersenyum. Aku tak tahu mengapa aku merasa begitu sedih.
Aku berusaha menghapusnya dengan punggung tangan secara bergantian, memaksakan semua baik-baik saja, tetapi itu justru membuatku tak dapat membendung deraian air mata. Bahkan di detik itu aku tak yakin dengan apa yang sedang terjadi. Aku tak percaya bahwa aku punya air mata sebanyak ini. Aku terisak, menunduk memeluk lutut.
”Tak apa-apa,” telapak tangan paman mengusap kepalaku. ”Menangislah.”
Kami pulang dan di jalan paman berhasil membuatku kembali tertawa dengan leluconnya. Aku tiba di rumah dengan mata sembap, tapi merasa lega. Lebih baik dari sebelumnya. Ternyata semudah itu, pikirku. Usiaku sebelas tahun dan hari itu aku belajar banyak hal. Kurasa aku juga mulai mengerti banyak hal tentang dunia ini. Tetapi, di malam di mana aku melihat kaki paman mengawang di udara, kurasa aku keliru.
Usiaku sebelas tahun dan aku tidak mengerti apa-apa. (*)
—
YOGA ZEN, Penulis asal Batusangkar, Tanah Datar, Sumbar.