27.5 C
Jakarta
Monday, March 31, 2025

Lebaran, Ibu, dan Seekor Kucing

Sejak daerah tempatku bekerja dinyatakan sebagai zona merah, aku selalu
menaruh curiga pada Barto, kucing kesayanganku yang sudah dua tahun menemaniku
di kontrakan ini.

—

EKORNYA yang meliuk panjang berparam bulu halus-tebal yang berwarna
kuning dan putih itu tak lagi memunculkan keindahan di mataku. Setiap kali ia
pulang ke kontrakan dan mengeong untuk makan, akhir-akhir ini kerap kuabaikan
hingga ia hanya meringkuk di pojok dapur dengan mata redup dan lidah
menjilat-jilat kaki depan. Aku baru memberinya makan bila ia ada di sana.

Aku menjaga jarak dengan kucing
yang sebelumnya selalu tidur bersamaku itu. Berkali-kali ia berusaha masuk ke
kamar, tapi selalu kuusir hingga ia pergi sambil mengibaskan ekornya dengan
gerak yang lemas. Seiring persebaran Covid-19 makin merebak, gerak Barto makin
kubatasi. Memasuki bulan puasa, ia hanya kuperbolehkan pulang hingga di teras.
Ia sering mengeong keras bermaksud hendak masuk sambil ke sana kemari seperti
memanggil-manggil namaku. Aku sekadar mengintip dari kaca jendela dan melemparinya
makanan sekadarnya.

Setahuku Barto punya banyak
betina di sepanjang gang pepaya ini. Setiap kali keluar rumah, tentu ia akan
bersentuhan dengan betinanya. Di antara betina-betina itu bisa saja salah
satunya milik orang yang positif Covid-19. Jika demikian, tubuh Barto sedang membawa
virus mematikan itu. Aku tak ingin kucing itu menularkannya padaku. Sebab, jika
itu terjadi, aku pasti sakit keras dan meninggal. Kalaupun tidak demikian, aku
akan menularkan virus itu kepada yang lain. Lebih-lebih kepada ibu yang berada
nun jauh di sana ketika nanti aku pulang kampung. Aku tak ingin hal itu
terjadi.

“Maaf, Barto. Untuk sementara,
keadaan dunia sedang mengubah keakraban dan kebersamaan kita saat ini,” batinku
di balik kaca jendela. Barto mengeong mondar-mandir di luar.

*

Aku membayangkan malam Lebaran di
kampung: ibu duduk di depan tungku, menyorong carahan kayu nyamplung kering
hingga apinya berkobar, membuat air dalam panci bergelegak. Mengepulkan asap
putih yang membubung. Keringat ibu membutir di dahinya, menduga-duga satu atau
dua jam lagi ketupat yang dimasaknya akan matang.

Sedang di luar, langit kelam
ditaburi pecahan cahaya kembang api dan jalanan berbedak sobekan kertas halus
dari petasan yang meledak, asap bau potasium memenuhi pembauan. Aroma kue dan
masakan dari dapur-dapur seolah berpapasan karib dan saling sapa dengan suara
takbir dan tahmid yang melengking lembut dari speaker surau dan masjid-masjid.

Biasanya ibu akan mengingatkanku
dengan tatap mata suram. Bahwa besok sesudah salat Id mesti berziarah ke makam
ayah, membawa bunga, dupa, dan membaca Fatihah.

“Ah! Tahun ini tak mungkin!”

Aku menutup jendela. Menjatuhkan
tubuh di kasur. Membenamkan wajah dalam impitan bantal-bantal, merasakan
lelehan dingin di pipi dan di kejauhan ada sosok ibu seperti memanggil-manggil
namaku dengan suara serak.

“Meooong!” tiba-tiba suara Barto
di dekat telinga. Aku sangat terkejut setelah memindah bantal dan membuka mata,
ternyata ia berada di samping kepalaku. Sontak aku berdiri dan mengibaskannya
hingga ia sedikit terlempar ke luar pintu.

“Huhh! Virus!”

*

Ibu mengabarkan semuanya melalui
telepon bahwa dia sudah menyiapkan hal-hal yang berhubungan dengan Lebaran
sejak tanggal 15 Ramadan. Kue tupaserat, bajik, halwa, dan kue khas Madura
lainnya yang menjadi kesukaanku telah dia kemas rapi dalam stoples karet
bergambar pecahan kelopak bunga yang ibu beli atas permintaanku dulu ketika
usiaku masih 5 tahun.

Baca Juga :  Tangan yang Merawat

Rumah sudah dia bersihkan dan
bagian eksteriornya telah dicat ungu sesuai dengan permintaanku beberapa minggu
sebelum puasa. Ibu menghabiskan separo uang yang kukirimkan beberapa waktu lalu
untuk membeli cat dan mengongkos tukang.

Tak hanya itu, ibu juga sudah
memesan rentengan petasan kepada Man Umar yang sejak dulu memang dikenal
sebagai pedagang petasan paling bermutu di desaku. Ingatan ibu masih tajam.
Bahwa aku gemar menyulut petasan pada malam Lebaran atau seusai salat Id di
surau Kiai Hanif.

“Pokoknya kamu harus pulang.
Semua kesukaanmu di Hari Lebaran sudah ibu siapkan dengan susah payah, Cong!”
pinta ibu di ujung telepon dengan suara lembut yang diulang dua kali. Aku
menjelaskan dengan rinci kenapa Lebaran tahun ini tidak bisa pulang. Ibu
menyimak dengan baik semua penjelasanku, tapi pada akhirnya tetap memaksaku
untuk pulang. Ibu tidak tahu bahwa pandemi benar-benar ada. Dan dia malah
mengabarkan beberapa teman sepermainanku yang nekat mudik dengan
sembunyi-sembunyi. Ada yang ikut truk pengangkut barang, ada yang ikut travel
dengan harga mahal, dan ada yang menempuh jalur laut melalui sampan kecil yang
penuh risiko.

“Semua pulang demi berlebaran di
kampung. Mereka rela berkorban demi berlebaran dengan keluarga. Kamu harus
seperti mereka,” suara ibu agak nyaring. Sejenak kami terdiam. Hanya napas ibu
yang terdengar naik turun.

Di akhir percakapan aku hanya
minta kepada ibu untuk mempertimbangkan semua itu. Aku yang semula tak ingin
mudik, sedikit demi sedikit muncul keinginan untuk mudik. Tapi, aku bimbang,
khawatir aku membawa virus yang malah membawa pengantar kematian bagi ibu.

*

Aktivitas menarik yang bisa
mengusir kegalauan tidak lain adalah menyiram bunga. Sore itu pikiranku
berkecamuk oleh dua keinginan antara pulang kampung atau tidak. Wajah ibu
selalu berkelebat di kelopak mata. Seolah aku durhaka bila di Hari Lebaran nanti
tidak bersamanya. Aku memaklumi itu karena ibu hanya hidup sendirian. Setahun
tanpaku tentu memunculkan rasa rindu yang mendalam dari seorang ibu kepada anak
satu-satunya. Tapi, keadaan pandemi membuatku bimbang. Aku galau dan gundah.

Kuambil bor berleher mirip angsa.
Mulai menyiram bunga pada pukul 4 sore. Selain mengusir galau, hitung-hitung
sambil menunggu waktu berbuka puasa. Ujung bor yang dipenuhi lubang-lubang
halus memancarkan air dengan alir halus yang menyebar lebar ke sekitar mirip
kelopak bunga yang panjang. Aku memulainya dari jenis bunga-bunga yang kecil
hingga jenis bunga yang besar. Angin sore bertiup lirih. Perlahan kegalauanku
pudar.

Ketika kali keenam aku menyalin
air ke tabung bor, tanpa kuduga Barto datang dan langsung menggesek betisku.
Aku melompat terkejut seraya melepas bor hingga jatuh ke tanah, menimpa
sebagian bunga.

“Huh! Barto!” bentakku seketika.
Barto mengeong dan kembali berjalan menuju betisku dengan tatap yang lembut
seperti memintaku agar menggendong tubuhnya seperti bulan-bulan lalu ketika
belum terjadi pandemi. Aku berusaha menghindar, tapi ia mengejarku.

Baca Juga :  Akibat Bergosip di Polindes

“Pergi kau, Barto. Kau pasti
membawa virus,” kataku nyaring.

Ia terus mengeong, berlari
menyusuri rerimbun bunga hingga ia melompat ke luar pagar di bagian timur.

Ketika berbuka puasa, aku baru
sadar, sudah tiga hari Barto tak kuberi makan. Mungkin tadi ia datang untuk
mengisi perutnya yang keroncongan. Aku sedikit kasihan pada kucing itu. Saat
kulihat ke luar pagar, ternyata sudah tidak ada.

Saat aku melangkah untuk mencari
Barto ke arah gang pepaya, tiba-tiba ponsel berbunyi, ada panggilan dari ibu.
Saat kuterima, suara pertama yang kudengar adalah isak tangis. Aku terkejut.
Sejenak tak ada kata-kata.

“Kenapa ibu seperti menangis?”
aku membuka percakapan.

“Apa kamu tetap tak ingin mudik,
Nak?” ibu balik bertanya.

Sebentar aku balik masuk ke
pekarangan dan mengunci pintu pagar.

“Lebaran sudah di depan mata,
Nak! Jika kamu tak punya uang, biar perhiasan ibu kujual dan uangnya akan
kukirimkan kepadamu.”

“Oh, tidak, Bu, bukan karena saya
tak punya uang.”

“Lalu karena apa?”

“Begini, Bu. Sekarang ada anjuran
agar tidak mudik dulu. Semua orang lebih baik di rumah saja. Agar tidak terkena
virus korona, Bu. Virus itu sangat mematikan.”

Ibu hanya terdiam, mungkin
bimbang mau menjawab apa. Suara isaknya masih terdengar.

*

Berlebaran di tanah rantau cukup
membuat rasa rindu kepada keluarga begitu tajam. Tapi, tahun ini, semua itu
harus terjadi demi keselamatan bersama. Subuh hari ketika gema takbir, tahlil,
dan tahmid kemenangan dilantunkan di masjid-masjid, kerinduanku kepada ibu
makin mengiris batin. Tak terasa air mata berlinang. Segera kupanggil dia. Aku
ingin mendengar suaranya di hari yang fitri ini.

Setelah tiga kali panggilan,
akhirnya baru diterima. Aku bisa meminta maaf padanya. Suara ibu serak dan
lemas. Isak tangisnya kembali kudengar, ternyata ibu sedang sakit. Tapi, meski
dirinya sakit, ibu sudah menyiapkan ketupat kesukaanku sejak semalam.

“Saya kan tidak ada di situ. Lalu
bagaimana dengan ketupat itu, Bu?”

“Nanti sesudah salat Id, aku akan
memanggil bocah-bocah ke sini. Biar mereka yang makan ketupat ini. Aku akan
menganggap mereka adalah kamu yang lain yang kini bersamaku,” suara ibu lirih,
beriring isak. Tak terasa air mataku juga tumpah. Setelah puas kami berbincang,
lalu telepon kumatikan. Dadaku gundah karena teringat ibu. Demi sedikit
mengobati kegundahan itu, aku menuju pekarangan, menyejukkan mata dengan
melihat bunga-bunga berkeramas embun.

Setelah beberapa langkah di
antara barisan bunga melati, aku terkejut melihat Barto terkulai lemas.
Semut-semut sudah memenuhi ekornya. Aku berteriak memanggil namanya. Tapi tak
berani menyentuh. Aku tetap khawatir ia membawa virus.

Suara takbir, tahlil, dan tahmid
masih menggema. Aku bingung bagaimana harus meminta maaf pada kucing
kesayanganku itu. (*)

Rumah Ibel, 2021

(WARITS ROVI: Lahir di Sumenep,
20 Juli 1988. Memenangi beberapa lomba karya tulis sastra. Telah menerbitkan
buku cerpen ”Dukun Carok & Tongkat Kayu” (Basabasi, 2018) serta buku puisi
”Kesunyian Melahirkanku sebagai Lelaki” (Basabasi, 2020))

Sejak daerah tempatku bekerja dinyatakan sebagai zona merah, aku selalu
menaruh curiga pada Barto, kucing kesayanganku yang sudah dua tahun menemaniku
di kontrakan ini.

—

EKORNYA yang meliuk panjang berparam bulu halus-tebal yang berwarna
kuning dan putih itu tak lagi memunculkan keindahan di mataku. Setiap kali ia
pulang ke kontrakan dan mengeong untuk makan, akhir-akhir ini kerap kuabaikan
hingga ia hanya meringkuk di pojok dapur dengan mata redup dan lidah
menjilat-jilat kaki depan. Aku baru memberinya makan bila ia ada di sana.

Aku menjaga jarak dengan kucing
yang sebelumnya selalu tidur bersamaku itu. Berkali-kali ia berusaha masuk ke
kamar, tapi selalu kuusir hingga ia pergi sambil mengibaskan ekornya dengan
gerak yang lemas. Seiring persebaran Covid-19 makin merebak, gerak Barto makin
kubatasi. Memasuki bulan puasa, ia hanya kuperbolehkan pulang hingga di teras.
Ia sering mengeong keras bermaksud hendak masuk sambil ke sana kemari seperti
memanggil-manggil namaku. Aku sekadar mengintip dari kaca jendela dan melemparinya
makanan sekadarnya.

Setahuku Barto punya banyak
betina di sepanjang gang pepaya ini. Setiap kali keluar rumah, tentu ia akan
bersentuhan dengan betinanya. Di antara betina-betina itu bisa saja salah
satunya milik orang yang positif Covid-19. Jika demikian, tubuh Barto sedang membawa
virus mematikan itu. Aku tak ingin kucing itu menularkannya padaku. Sebab, jika
itu terjadi, aku pasti sakit keras dan meninggal. Kalaupun tidak demikian, aku
akan menularkan virus itu kepada yang lain. Lebih-lebih kepada ibu yang berada
nun jauh di sana ketika nanti aku pulang kampung. Aku tak ingin hal itu
terjadi.

“Maaf, Barto. Untuk sementara,
keadaan dunia sedang mengubah keakraban dan kebersamaan kita saat ini,” batinku
di balik kaca jendela. Barto mengeong mondar-mandir di luar.

*

Aku membayangkan malam Lebaran di
kampung: ibu duduk di depan tungku, menyorong carahan kayu nyamplung kering
hingga apinya berkobar, membuat air dalam panci bergelegak. Mengepulkan asap
putih yang membubung. Keringat ibu membutir di dahinya, menduga-duga satu atau
dua jam lagi ketupat yang dimasaknya akan matang.

Sedang di luar, langit kelam
ditaburi pecahan cahaya kembang api dan jalanan berbedak sobekan kertas halus
dari petasan yang meledak, asap bau potasium memenuhi pembauan. Aroma kue dan
masakan dari dapur-dapur seolah berpapasan karib dan saling sapa dengan suara
takbir dan tahmid yang melengking lembut dari speaker surau dan masjid-masjid.

Biasanya ibu akan mengingatkanku
dengan tatap mata suram. Bahwa besok sesudah salat Id mesti berziarah ke makam
ayah, membawa bunga, dupa, dan membaca Fatihah.

“Ah! Tahun ini tak mungkin!”

Aku menutup jendela. Menjatuhkan
tubuh di kasur. Membenamkan wajah dalam impitan bantal-bantal, merasakan
lelehan dingin di pipi dan di kejauhan ada sosok ibu seperti memanggil-manggil
namaku dengan suara serak.

“Meooong!” tiba-tiba suara Barto
di dekat telinga. Aku sangat terkejut setelah memindah bantal dan membuka mata,
ternyata ia berada di samping kepalaku. Sontak aku berdiri dan mengibaskannya
hingga ia sedikit terlempar ke luar pintu.

“Huhh! Virus!”

*

Ibu mengabarkan semuanya melalui
telepon bahwa dia sudah menyiapkan hal-hal yang berhubungan dengan Lebaran
sejak tanggal 15 Ramadan. Kue tupaserat, bajik, halwa, dan kue khas Madura
lainnya yang menjadi kesukaanku telah dia kemas rapi dalam stoples karet
bergambar pecahan kelopak bunga yang ibu beli atas permintaanku dulu ketika
usiaku masih 5 tahun.

Baca Juga :  Tangan yang Merawat

Rumah sudah dia bersihkan dan
bagian eksteriornya telah dicat ungu sesuai dengan permintaanku beberapa minggu
sebelum puasa. Ibu menghabiskan separo uang yang kukirimkan beberapa waktu lalu
untuk membeli cat dan mengongkos tukang.

Tak hanya itu, ibu juga sudah
memesan rentengan petasan kepada Man Umar yang sejak dulu memang dikenal
sebagai pedagang petasan paling bermutu di desaku. Ingatan ibu masih tajam.
Bahwa aku gemar menyulut petasan pada malam Lebaran atau seusai salat Id di
surau Kiai Hanif.

“Pokoknya kamu harus pulang.
Semua kesukaanmu di Hari Lebaran sudah ibu siapkan dengan susah payah, Cong!”
pinta ibu di ujung telepon dengan suara lembut yang diulang dua kali. Aku
menjelaskan dengan rinci kenapa Lebaran tahun ini tidak bisa pulang. Ibu
menyimak dengan baik semua penjelasanku, tapi pada akhirnya tetap memaksaku
untuk pulang. Ibu tidak tahu bahwa pandemi benar-benar ada. Dan dia malah
mengabarkan beberapa teman sepermainanku yang nekat mudik dengan
sembunyi-sembunyi. Ada yang ikut truk pengangkut barang, ada yang ikut travel
dengan harga mahal, dan ada yang menempuh jalur laut melalui sampan kecil yang
penuh risiko.

“Semua pulang demi berlebaran di
kampung. Mereka rela berkorban demi berlebaran dengan keluarga. Kamu harus
seperti mereka,” suara ibu agak nyaring. Sejenak kami terdiam. Hanya napas ibu
yang terdengar naik turun.

Di akhir percakapan aku hanya
minta kepada ibu untuk mempertimbangkan semua itu. Aku yang semula tak ingin
mudik, sedikit demi sedikit muncul keinginan untuk mudik. Tapi, aku bimbang,
khawatir aku membawa virus yang malah membawa pengantar kematian bagi ibu.

*

Aktivitas menarik yang bisa
mengusir kegalauan tidak lain adalah menyiram bunga. Sore itu pikiranku
berkecamuk oleh dua keinginan antara pulang kampung atau tidak. Wajah ibu
selalu berkelebat di kelopak mata. Seolah aku durhaka bila di Hari Lebaran nanti
tidak bersamanya. Aku memaklumi itu karena ibu hanya hidup sendirian. Setahun
tanpaku tentu memunculkan rasa rindu yang mendalam dari seorang ibu kepada anak
satu-satunya. Tapi, keadaan pandemi membuatku bimbang. Aku galau dan gundah.

Kuambil bor berleher mirip angsa.
Mulai menyiram bunga pada pukul 4 sore. Selain mengusir galau, hitung-hitung
sambil menunggu waktu berbuka puasa. Ujung bor yang dipenuhi lubang-lubang
halus memancarkan air dengan alir halus yang menyebar lebar ke sekitar mirip
kelopak bunga yang panjang. Aku memulainya dari jenis bunga-bunga yang kecil
hingga jenis bunga yang besar. Angin sore bertiup lirih. Perlahan kegalauanku
pudar.

Ketika kali keenam aku menyalin
air ke tabung bor, tanpa kuduga Barto datang dan langsung menggesek betisku.
Aku melompat terkejut seraya melepas bor hingga jatuh ke tanah, menimpa
sebagian bunga.

“Huh! Barto!” bentakku seketika.
Barto mengeong dan kembali berjalan menuju betisku dengan tatap yang lembut
seperti memintaku agar menggendong tubuhnya seperti bulan-bulan lalu ketika
belum terjadi pandemi. Aku berusaha menghindar, tapi ia mengejarku.

Baca Juga :  Akibat Bergosip di Polindes

“Pergi kau, Barto. Kau pasti
membawa virus,” kataku nyaring.

Ia terus mengeong, berlari
menyusuri rerimbun bunga hingga ia melompat ke luar pagar di bagian timur.

Ketika berbuka puasa, aku baru
sadar, sudah tiga hari Barto tak kuberi makan. Mungkin tadi ia datang untuk
mengisi perutnya yang keroncongan. Aku sedikit kasihan pada kucing itu. Saat
kulihat ke luar pagar, ternyata sudah tidak ada.

Saat aku melangkah untuk mencari
Barto ke arah gang pepaya, tiba-tiba ponsel berbunyi, ada panggilan dari ibu.
Saat kuterima, suara pertama yang kudengar adalah isak tangis. Aku terkejut.
Sejenak tak ada kata-kata.

“Kenapa ibu seperti menangis?”
aku membuka percakapan.

“Apa kamu tetap tak ingin mudik,
Nak?” ibu balik bertanya.

Sebentar aku balik masuk ke
pekarangan dan mengunci pintu pagar.

“Lebaran sudah di depan mata,
Nak! Jika kamu tak punya uang, biar perhiasan ibu kujual dan uangnya akan
kukirimkan kepadamu.”

“Oh, tidak, Bu, bukan karena saya
tak punya uang.”

“Lalu karena apa?”

“Begini, Bu. Sekarang ada anjuran
agar tidak mudik dulu. Semua orang lebih baik di rumah saja. Agar tidak terkena
virus korona, Bu. Virus itu sangat mematikan.”

Ibu hanya terdiam, mungkin
bimbang mau menjawab apa. Suara isaknya masih terdengar.

*

Berlebaran di tanah rantau cukup
membuat rasa rindu kepada keluarga begitu tajam. Tapi, tahun ini, semua itu
harus terjadi demi keselamatan bersama. Subuh hari ketika gema takbir, tahlil,
dan tahmid kemenangan dilantunkan di masjid-masjid, kerinduanku kepada ibu
makin mengiris batin. Tak terasa air mata berlinang. Segera kupanggil dia. Aku
ingin mendengar suaranya di hari yang fitri ini.

Setelah tiga kali panggilan,
akhirnya baru diterima. Aku bisa meminta maaf padanya. Suara ibu serak dan
lemas. Isak tangisnya kembali kudengar, ternyata ibu sedang sakit. Tapi, meski
dirinya sakit, ibu sudah menyiapkan ketupat kesukaanku sejak semalam.

“Saya kan tidak ada di situ. Lalu
bagaimana dengan ketupat itu, Bu?”

“Nanti sesudah salat Id, aku akan
memanggil bocah-bocah ke sini. Biar mereka yang makan ketupat ini. Aku akan
menganggap mereka adalah kamu yang lain yang kini bersamaku,” suara ibu lirih,
beriring isak. Tak terasa air mataku juga tumpah. Setelah puas kami berbincang,
lalu telepon kumatikan. Dadaku gundah karena teringat ibu. Demi sedikit
mengobati kegundahan itu, aku menuju pekarangan, menyejukkan mata dengan
melihat bunga-bunga berkeramas embun.

Setelah beberapa langkah di
antara barisan bunga melati, aku terkejut melihat Barto terkulai lemas.
Semut-semut sudah memenuhi ekornya. Aku berteriak memanggil namanya. Tapi tak
berani menyentuh. Aku tetap khawatir ia membawa virus.

Suara takbir, tahlil, dan tahmid
masih menggema. Aku bingung bagaimana harus meminta maaf pada kucing
kesayanganku itu. (*)

Rumah Ibel, 2021

(WARITS ROVI: Lahir di Sumenep,
20 Juli 1988. Memenangi beberapa lomba karya tulis sastra. Telah menerbitkan
buku cerpen ”Dukun Carok & Tongkat Kayu” (Basabasi, 2018) serta buku puisi
”Kesunyian Melahirkanku sebagai Lelaki” (Basabasi, 2020))

Terpopuler

Artikel Terbaru