31.3 C
Jakarta
Monday, April 7, 2025

Orang Desa dan Pesisir Juga Berhak Punya Selera

Mahfud Ikhwan seolah melawan tulisan musik populer arus utama dengan irama desa yang diusungnya.

MEMBICARAKAN Mahfud Ikhwan memang tak bisa mencerabutnya dari pembahasan musik. Hampir semua novelnya memasukkan unsur musik di dalamnya.

Dari alunan musik Melayu pada novel Ulid hingga dangdut pada karya terbarunya, Anwar Tohari Mencari Mati. Namun, sebenarnya semesta musik penulis alumnus Jurusan Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada itu jauh lebih luas dari apa yang sudah termaktub dalam novel-novelnya.

Dalam buku terbarunya yang berjudul Kepikiran Dangdut dan Hal-Hal Pop Lainnya, Mahfud seolah memamerkan semua wawasan musikalnya. Tak cukup di situ, penulis asal Lamongan itu merangkum semua memori estetis yang menemani masa tumbuh kembangnya mulai anak-anak, remaja, hingga dewasa. Ludruk, film, buku, hingga ceramah agama diulasnya dengan gaya khasnya yang segar.

Buku terbitan Warning Books awal 2024 ini sebenarnya adalah kumpulan esai Mahfud yang pernah terbit di beberapa media massa cetak dan daring. Pembaca media massa mungkin pernah membaca satu atau dua esainya secara tidak sengaja.

Karena itu, buku setebal 260 halaman ini menjadi jalan termudah untuk memahami wawasan seni budaya Mahfud secara lebih mendetail dan menyeluruh.

Irama Desa

Lahir di sebuah desa di Lamongan, Jawa Timur, membuat Mahfud selalu berjarak dengan kultur pop urban. Hal itulah yang selalu tecermin dalam esai-esainya. Walaupun pernah mengenyam kuliah di Jogjakarta, dia selalu mencoba menantang realitas dan memberikan wacana yang menurutnya lebih proporsional. Di sini Mahfud seolah melawan tulisan musik populer arus utama dengan irama desa yang diusungnya.

Hal itu terjadi bukannya tanpa alasan. Sebagai anak yang dibesarkan di lingkungan desa, dia akan sangat akrab dengan musik dan tontonan yang ada di desanya. Dalam lingkar yang lebih sempit lagi, keluarga mempunyai andil yang cukup besar dalam membentuk selera musik dan tontonannya.

Melalui buku catatan lagu milik ayahnya, Mahfud mulai mengenal lagu sekaligus musisi yang populer di masa generasi sebelumnya. Sebut saja Layar Tancap Nomo Koeswoyo, Maria Julius Sitanggang, dan Suratan Tommy J. Pisa sudah dikenalnya saat dia kecil.

Baca Juga :  Octavio Paz dan Sumber-Sumber Primordial Masa Lampau

Tak sekadar mendengarkan dan mendendangkan lagunya, dari sana dia juga mempelajari makna bahasa yang dipakai di dalam lirik lagu sekaligus memberikan analisis kritis dari lirik-lirik lagu tersebut. Hal itu diceritakan dalam esai yang berjudul Lagu di Buku dan Buku Lagu.

Satu yang unik dari Mahfud adalah dia tidak dibesarkan dalam keluarga yang mempunyai artefak musik. Dia tidak mempunyai koleksi kaset dan tidak memiliki alat pemutarnya.

Dia juga bukan pembaca majalah musik dan bukan anak skena pada eranya. Wawasan musiknya meluas justru dari peristiwa budaya di sekitar seperti acara pernikahan yang selalu memasang toa untuk menyetel musik dari dangdut hingga ludruk.

Dari sini dia mengenal akrab lagu-lagu dangdut klasik Awara dan duet klasik Evy-Oma. Selain itu, dia sangat akrab dengan lakon-lakon ludruk yang diputar di beberapa sesinya. Hal itu dituangkan dalam esai Toa dan Budaya (Massa).

Sementara itu, untuk ludruk, penerima Anugerah Sutasoma dari Balai Bahasa Jawa Timur tersebut memperdalam pembahasannya dalam esai Melepas Sapari, Melanjutkan Ludruk. Esai tersebut sangat spesial karena jarang sekali pembahasan ludruk layaknya membahas film-film populer.

Mahfud memaparkan wawasannya terhadap lakon ludruk klasik seperti Jaran Putih Mayang Seto, Branjang Kabel, dan Suminten Edan. Dengan lincah Mahfud menceritakan kisah tokoh-tokoh di dalamnya bak menceritakan semesta Marvel dan DC.

Dari tulisan ini, kita jadi mengingat kembali jika di Marvel ada Punisher, semesta ludruk juga mempunyai vigilante garang seperti Joko Sambang, Sawunggaling, Bambang Sutejo, dan Sogol.

Kritik Musik

Kembali ke kritik musik, Mahfud melanjutkan kritiknya dalam esai yang berjudul Yang Bebal (Barangkali) Yang Lebih Kekal. Dalam artikel ini, dia menceritakan betapa emosionalnya ketika dirinya membaca statemen kritikus musik Remy Sylado di awal 2000-an yang menyebut dangdut sebagai musik ”frustrasi” dan cap bebal pada lagu pop cengeng karena mengulang pertanyaan tanpa menemukan jawabannya.

Baca Juga :  Tentang Ketiak Kota yang tanpa Deodoran

Hal yang unik adalah cara Mahfud merespons. Dia menyetujui banyak hal dari kritik itu sekaligus memberikan kritik balik apa yang dikemukakan Remy Sylado dalam majalah Aktuil. Walaupun terkesan keras kepala, argumen Mahfud seolah menjadi warna baru yang menguatkan statemen bahwa penikmat musik itu bukan orang kota saja. Orang desa dan pesisir juga berhak mengajukan seleranya.

Satu yang paling melekat dalam nama seorang Mahfud adalah kesukaannya pada musik India. Hal itu dia ungkapkan dengan bangga dalam esai Musik India Adalah Musik Kita. Dia merasa kehidupannya sangat relevan dengan musik-musik (dan film) India yang tumbuh dalam budaya pinggiran dan pedesaan.

Walaupun mengaku tak dekat dengan budaya Jawa seperti wayang, dia masih mampu membuat satu tulisan apik tentang wayang berjudul Menjadi Jawa tanpa Menonton Wayang: Renungan Autobiografis Seorang Pengarang Pantura. Keterbatasannya dalam menonton wayang malah membuat dia menghasilkan tulisan yang reflektif tentang wayang.

Walaupun merasa berjarak dengan budaya kota tidak membuat Mahfud sama sekali mendengarkan beraneka macam lagu ”modern”. Dia juga mendengar beberapa lagu beragam genre dari rock sampai pop alternatif.

Salah satu band yang berhasil menarik perhatiannya adalah Sheila on 7. Judul dan lirik lagu Sheila on 7 yang sangat berjarak dengan ibu kota dengan tidak menggunakan Jakarta sebagai sebuah kota impian membuatnya lolos dari kurasi ketat dan menjadi satu dari sedikit musik pop kekinian yang masuk playlist musik Mahfud Ikhwan. (*)

Judul buku: Kepikiran Dangdut dan Hal-Hal Pop Lainnya

Penulis: Mahfud Ikhwan

Penerbit: Warning Books

Tahun terbit: Januari 2024

Jumlah: 263 halaman

ISBN: 978-623-5879-09-3

*) KUKUH BASUKI RAHMAT, Alumnus Magister Psikologi UGM dan anggota komunitas Radio Buku

Mahfud Ikhwan seolah melawan tulisan musik populer arus utama dengan irama desa yang diusungnya.

MEMBICARAKAN Mahfud Ikhwan memang tak bisa mencerabutnya dari pembahasan musik. Hampir semua novelnya memasukkan unsur musik di dalamnya.

Dari alunan musik Melayu pada novel Ulid hingga dangdut pada karya terbarunya, Anwar Tohari Mencari Mati. Namun, sebenarnya semesta musik penulis alumnus Jurusan Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada itu jauh lebih luas dari apa yang sudah termaktub dalam novel-novelnya.

Dalam buku terbarunya yang berjudul Kepikiran Dangdut dan Hal-Hal Pop Lainnya, Mahfud seolah memamerkan semua wawasan musikalnya. Tak cukup di situ, penulis asal Lamongan itu merangkum semua memori estetis yang menemani masa tumbuh kembangnya mulai anak-anak, remaja, hingga dewasa. Ludruk, film, buku, hingga ceramah agama diulasnya dengan gaya khasnya yang segar.

Buku terbitan Warning Books awal 2024 ini sebenarnya adalah kumpulan esai Mahfud yang pernah terbit di beberapa media massa cetak dan daring. Pembaca media massa mungkin pernah membaca satu atau dua esainya secara tidak sengaja.

Karena itu, buku setebal 260 halaman ini menjadi jalan termudah untuk memahami wawasan seni budaya Mahfud secara lebih mendetail dan menyeluruh.

Irama Desa

Lahir di sebuah desa di Lamongan, Jawa Timur, membuat Mahfud selalu berjarak dengan kultur pop urban. Hal itulah yang selalu tecermin dalam esai-esainya. Walaupun pernah mengenyam kuliah di Jogjakarta, dia selalu mencoba menantang realitas dan memberikan wacana yang menurutnya lebih proporsional. Di sini Mahfud seolah melawan tulisan musik populer arus utama dengan irama desa yang diusungnya.

Hal itu terjadi bukannya tanpa alasan. Sebagai anak yang dibesarkan di lingkungan desa, dia akan sangat akrab dengan musik dan tontonan yang ada di desanya. Dalam lingkar yang lebih sempit lagi, keluarga mempunyai andil yang cukup besar dalam membentuk selera musik dan tontonannya.

Melalui buku catatan lagu milik ayahnya, Mahfud mulai mengenal lagu sekaligus musisi yang populer di masa generasi sebelumnya. Sebut saja Layar Tancap Nomo Koeswoyo, Maria Julius Sitanggang, dan Suratan Tommy J. Pisa sudah dikenalnya saat dia kecil.

Baca Juga :  Octavio Paz dan Sumber-Sumber Primordial Masa Lampau

Tak sekadar mendengarkan dan mendendangkan lagunya, dari sana dia juga mempelajari makna bahasa yang dipakai di dalam lirik lagu sekaligus memberikan analisis kritis dari lirik-lirik lagu tersebut. Hal itu diceritakan dalam esai yang berjudul Lagu di Buku dan Buku Lagu.

Satu yang unik dari Mahfud adalah dia tidak dibesarkan dalam keluarga yang mempunyai artefak musik. Dia tidak mempunyai koleksi kaset dan tidak memiliki alat pemutarnya.

Dia juga bukan pembaca majalah musik dan bukan anak skena pada eranya. Wawasan musiknya meluas justru dari peristiwa budaya di sekitar seperti acara pernikahan yang selalu memasang toa untuk menyetel musik dari dangdut hingga ludruk.

Dari sini dia mengenal akrab lagu-lagu dangdut klasik Awara dan duet klasik Evy-Oma. Selain itu, dia sangat akrab dengan lakon-lakon ludruk yang diputar di beberapa sesinya. Hal itu dituangkan dalam esai Toa dan Budaya (Massa).

Sementara itu, untuk ludruk, penerima Anugerah Sutasoma dari Balai Bahasa Jawa Timur tersebut memperdalam pembahasannya dalam esai Melepas Sapari, Melanjutkan Ludruk. Esai tersebut sangat spesial karena jarang sekali pembahasan ludruk layaknya membahas film-film populer.

Mahfud memaparkan wawasannya terhadap lakon ludruk klasik seperti Jaran Putih Mayang Seto, Branjang Kabel, dan Suminten Edan. Dengan lincah Mahfud menceritakan kisah tokoh-tokoh di dalamnya bak menceritakan semesta Marvel dan DC.

Dari tulisan ini, kita jadi mengingat kembali jika di Marvel ada Punisher, semesta ludruk juga mempunyai vigilante garang seperti Joko Sambang, Sawunggaling, Bambang Sutejo, dan Sogol.

Kritik Musik

Kembali ke kritik musik, Mahfud melanjutkan kritiknya dalam esai yang berjudul Yang Bebal (Barangkali) Yang Lebih Kekal. Dalam artikel ini, dia menceritakan betapa emosionalnya ketika dirinya membaca statemen kritikus musik Remy Sylado di awal 2000-an yang menyebut dangdut sebagai musik ”frustrasi” dan cap bebal pada lagu pop cengeng karena mengulang pertanyaan tanpa menemukan jawabannya.

Baca Juga :  Tentang Ketiak Kota yang tanpa Deodoran

Hal yang unik adalah cara Mahfud merespons. Dia menyetujui banyak hal dari kritik itu sekaligus memberikan kritik balik apa yang dikemukakan Remy Sylado dalam majalah Aktuil. Walaupun terkesan keras kepala, argumen Mahfud seolah menjadi warna baru yang menguatkan statemen bahwa penikmat musik itu bukan orang kota saja. Orang desa dan pesisir juga berhak mengajukan seleranya.

Satu yang paling melekat dalam nama seorang Mahfud adalah kesukaannya pada musik India. Hal itu dia ungkapkan dengan bangga dalam esai Musik India Adalah Musik Kita. Dia merasa kehidupannya sangat relevan dengan musik-musik (dan film) India yang tumbuh dalam budaya pinggiran dan pedesaan.

Walaupun mengaku tak dekat dengan budaya Jawa seperti wayang, dia masih mampu membuat satu tulisan apik tentang wayang berjudul Menjadi Jawa tanpa Menonton Wayang: Renungan Autobiografis Seorang Pengarang Pantura. Keterbatasannya dalam menonton wayang malah membuat dia menghasilkan tulisan yang reflektif tentang wayang.

Walaupun merasa berjarak dengan budaya kota tidak membuat Mahfud sama sekali mendengarkan beraneka macam lagu ”modern”. Dia juga mendengar beberapa lagu beragam genre dari rock sampai pop alternatif.

Salah satu band yang berhasil menarik perhatiannya adalah Sheila on 7. Judul dan lirik lagu Sheila on 7 yang sangat berjarak dengan ibu kota dengan tidak menggunakan Jakarta sebagai sebuah kota impian membuatnya lolos dari kurasi ketat dan menjadi satu dari sedikit musik pop kekinian yang masuk playlist musik Mahfud Ikhwan. (*)

Judul buku: Kepikiran Dangdut dan Hal-Hal Pop Lainnya

Penulis: Mahfud Ikhwan

Penerbit: Warning Books

Tahun terbit: Januari 2024

Jumlah: 263 halaman

ISBN: 978-623-5879-09-3

*) KUKUH BASUKI RAHMAT, Alumnus Magister Psikologi UGM dan anggota komunitas Radio Buku

Terpopuler

Artikel Terbaru