Industri literasi dan kebudayaan di Indonesia, kata Kalis Mardiasih, penuh produk bergenre religi dengan plot cerita serupa: protagonis laki-laki saleh bertemu dengan karakter perempuan yang perlu dibuat baik dalam beragama.
JILBAB, pada dasarnya, bukan padanan yang mapan untuk mengartikulasi keislaman perempuan.
Keinginan perempuan menutup aurat dengan menggunakan jilbab, misalnya, bukan semata karena kedahagaan atas nilai-nilai keagamaan yang belum paripurna. Bisa jadi dia sebatas kelindan konsumerisme yang berkedok agama semata.
Karena bagian dari cara muslimah berpakaian, jilbab tak melulu tentang kesalehan, kadang juga berbau uang dan keuntungan. Di sinilah pasar masuk pelan-pelan dengan beragam tawaran. Tentu saja melalui kemudahan-kemudahan yang bisa lebih cepat diamplifikasi ke dalam dorongan perempuan.
Kalis Mardiasih memperjelas hal ini dalam bukunya yang berjudul Esok Jilbab Kita Dirayakan: Muslimah yang Merdeka Tanpa Menindas yang Berbeda. Menurutnya, gaya berpakaian seseorang ditentukan oleh banyak faktor, tidak hanya tentang selera pribadi pemakainya, tetapi juga pasar fashion dan taraf ekonomi.
Hingga pada akhirnya juga dapat dipahami kalau penilaian, identifikasi, bahkan justifikasi terhadap perbedaan penutup aurat itu adalah dampak dari perang pasar. Kita bisa membayangkan bagaimana di desa-desa perempuan menggunakan jilbab seadanya. Tapi, berbeda dengan mereka yang berada di perkotaan di mana simbolisasi jilbab begitu marak ditonjolkan.
Muncullah citra bahwa yang menggunakan jilbab dengan gaya masyarakat kota itu lebih cantik dan elegan. Padahal, ini hanya untuk melengkapi atribusi keagamaan yang harusnya sebagai ”penutup aurat”.
Sementara yang berada di desa, karena penggunaannya diperuntukkan untuk aktivitas sehari-hari –paling jauh membantu tetangga yang merayakan nikahan putranya atau karena penyedia jilbab hanyalah pasar tradisional bukan mal, dianggap old-fashioned, bahkan cenderung distigma negatif atau menyimpang dari nilai-nilai agama. Apalagi, di desa, kadang para ibu menggunakan jilbab dengan daster berlengan pendek.
Berkolerasi dengan Konsumerisme
Simbol-simbol agama itu, menurut Hasanuddin Ali (In Bed With Data, 2024), berkolerasi dengan konsumerime di kalangan muslim kota. Kesadaran terhadap produk halal meningkat, meskipun juga sering kebablasan. Gerai dan toko pakaian muslim serta hijab merebak bak cendawan di musim hujan.
Medan konsumerisme ini diperkuat melalui produk kultural. Film memainkan, setidaknya bagi masyarakat Indonesia, peran penting dalam mendorong perempuan dalam menggunakan jilbab.
Dengan beragam karakter yang diperankan oleh perempuan, sedikitnya jilbab menjadi citra yang membuat ketidakberdayaan untuk menerima, bahwa kebaikan atau perempuan baik itu ada pada mereka yang menggunakan perempuan.
Kita bisa kembali ke belakang, puluhan tahun silam saat Fahri melalui Ayat-Ayat Cinta lebih memilih Aisha ketimbang perempuan lain yang tidak berkerudung untuk menjadi istrinya.
Ada pesan yang disematkan bahwa perempuan yang berkerudung adalah perempuan yang akan menjadi idaman laki-laki yang pintar, cerdas, serta mempunyai kehambaan yang kuat terhadap agama.
Industri literasi dan kebudayaan di Indonesia, kata Kalis, penuh produk bergenre religi dengan plot cerita serupa: protagonis laki-laki saleh bertemu dengan karakter perempuan yang perlu dibuat baik dalam beragama. Dan cadar Aisha, yang sepaket dengan citra kesalehan, pelan-pelan bergeser menjadi jilbab urban.
Begitu pula sebaliknya jika kita juga berbicara tentang Ipar Adalah Maut. Pergeseran citra perempuan yang berjilbab tidak selalu mulus seperti karakter Aisha. Ia bergeser menjadi pelaku perselingkuhan dengan iparnya, kendati penontonnya malah tembus jutaan.
Pergeseran tersebut bukan menghadirkan fenomena paradoks. Dia hanya gelombang citra tentang jilbab, yang objeknya melulu ditujukan kepada seorang perempuan.
Kendati didominasi oleh tema-tema jilbab dan perempuan, buku ini juga menghadirkan celah-celah yang lebih luas tentang perempuan untuk didiskusikan. Penarasian yang santai dilengkapi dengan beragam pengalaman menjadikan buku setebal 180 halaman ini mudah untuk dinikmati dan dipahami. Sangat ringan, tapi kontemplatif. (*)
” Penilaian, identifikasi, bahkan justifikasi terhadap perbedaan penutup aurat itu adalah dampak dari perang pasar. Kita bisa membayangkan bagaimana di desa-desa perempuan menggunakan jilbab seadanya. Tapi, berbeda dengan mereka yang berada di perkotaan di mana simbolisasi jilbab begitu marak ditonjolkan.”
Judul: Esok Jilbab Kita Dirayakan: Muslimah yang Merdeka Tanpa Menindas yang Berbeda
Penulis: Kalis Mardiasih
Penerbit: Buku Mojok
Cetakan: Pertama, Februari 2025
Tebal: vi + 180 halaman
ISBN: 978-623-8463-15-2
*) AHMAD RIYADI, Pegiat Akademi Literasi Ansor, bekerja di Komisi Penyiaran Indonesia Pusat