Oleh TARA FEBRIANI KHAERUNNISA
Aku duduk di kursi terdepan rumah duka, tempat yang paling dekat dengan mayat dan pigura Sang Pencipta. Apakah ini saatnya memanjatkan doa tanda berduka atau doa meminta ampunan atas dosa yang telah kuperbuat? Kepalaku pening sejak aku dilibatkan dalam rencana yang dibuatnya. Rencana untuk membunuh dirinya.
Hanya ada dua cara baginya untuk mati. Menunggu ajal yang menurut ceritanya semakin menjauhinya atau mencari Kaum Umur Panjang lain untuk diminum darahnya. Pilihan pertama atau kedua sama sulitnya. Hanya saja, dia punya rencana untuk pilihan kedua.
”Aku akan meminum darahku sendiri. Mungkin aku bisa mati karenanya,” ucapnya lantang dan percaya diri. ”Kau akan membantuku melakukannya,” tambahnya. Aku baru melewati tiga musim panas bersamanya saat dia mulai menyusun rencana itu. Rencana yang baru terlaksana hari ini.
Pagi tadi kami memasuki hutan dan dia sudah menyusun perangkap untuk dirinya. Batu yang tak terlalu besar, rata di satu sisinya, dilepaskan dari ketinggian yang cukup untuk membuatnya tak langsung mati, tapi juga tak hidup terlalu lama untuk merasa sakit. Dalam waktu yang singkat, dia akan meminum darahnya yang mengucur deras dari lukanya dan dia akan mati. Begitulah rencananya.
Sejauh ini, seluruh rencana berhasil. Batu mengenai bagian kiri wajahnya dan membuatnya terpelanting, lalu dia meminum darah yang mengalir dari luka yang menganga.
Tak lama kemudian, dia sudah sepenuhnya tak sadarkan diri dengan darah bersimbah memenuhi seluruh wajah hingga lehernya. Dia memintaku menjalankan peran; berteriak meminta bantuan para pemburu yang biasa lewat.
Saat orang-orang mulai datang, aku menceritakan kepada mereka kecelakaan yang menimpanya. Kemudian, mereka membawanya ke rumah duka dan berencana menguburkannya selepas senja. Sekarang tinggal menunggu jasadnya selesai disemayamkan dan dia akan dikebumikan saat langit sudah sepenuhnya gelap.
”Kami akan meninggalkanmu dengan kakekmu. Saat matahari sepenuhnya sudah hilang, para pemburu yang tadi membantu akan menguburkannya. Nikmati waktumu yang singkat berdua,” ucap kepala rumah duka, lalu pergi begitu saja.
Apakah waktu hanya bisa dinikmati jika ia hanya sebentar saja? Aku melayangkan pertanyaan itu entah untuk siapa, tapi wajahku sepenuhnya menghadap ke arahnya. Sosoknya yang pagi tadi berlumuran darah, kini sudah bersih nyaris seperti sedia kala.
Beberapa noda darah terlihat di baju tebalnya yang berwarna hitam, tapi tak apa, dia akan senang dimakamkan tanpa mengganti pakaiannya. Sudah tak ada lagi darah yang mengucur. Bagian kiri wajahnya dijejali kapas.
”Kau benar-benar sudah mati?” tanyaku tepat di atas wajahnya.
Matanya terbuka. ”Ternyata teoriku gagal,” ucapnya pelan. Lalu bangkit dari tidurnya. Wajahnya berkerut masam, hidungnya mendengus beberapa kali.
Dia turun dari dipan, merenggangkan tangannya, lalu mengusap bagian belakang kepalanya. ”Kita harus secepatnya pergi dari desa ini,” ucapnya lirih. Aku mengangguk, mengambil barang-barangku, lantas berjalan keluar untuk memastikan daerah sekitar rumah duka sudah bersih dari penduduk desa. Mereka benar-benar meninggalkan kami hanya berdua. Aku menghadap kembali padanya dan mengangguk tanda aman.
Dia mulai berjalan keluar dari rumah duka. Aku menjadi ekornya, mengikuti tapak kakinya.
Desa ini sepi. Saat senja, orang-orang memutuskan untuk mendekam di rumah. Mereka takut akan perpindahan dari terang ke gelap. Hanya setan yang berjalan-jalan di waktu senja, peringat mereka. Orang tua di depanku berjalan secepat biasanya.
Suasana hatinya sedang tidak baik, aku tahu walau dia tidak pernah mengatakannya. Namun, dari caranya menginjak tanah, menendang kerikil, menyibak syalnya yang tertiup angin, dan tekanan jari-jarinya saat mengusap bagian kiri kepalanya; aku bisa membacanya seterang butir-butir bintang yang mulai tampak di langit malam.
Bagaimana waktu berjalan bagi tubuhnya? Wajahnya tak berubah sejak sepuluh tahun lalu; perjumpaan pertama kami. Aku berusia lima pada saat itu. Dia menatapku penuh selidik, begitulah yang mampu kuartikan. Suster-suster yang merawatku di panti asuhan menolak menyerahkanku padanya.
Namun, dia membayar sangat mahal. Katanya, aku bekal perjalanan yang diinginkannya. Entah apa maksudnya. Tak pernah kutanya alasan jelas dia menginginkanku, juga alasan dia menyusun rencana kematiannya. Aku hanya tahu dia senang; dan kesenangannya adalah satu-satunya hal yang penting.
”Ada anjing,” ucapnya lirih, lantas berjongkok di balik semak; aku mengikutinya. ”Kau mau makan anjing?” tanyanya, seakan-akan seleraku adalah hal penting yang layak mendapat pertimbangannya.
Aku tak menjawab, lalu menyiapkan busur dan panahku dengan cepat. Saat sudah siap, kulesatkan anak panah dengan ketepatan penuh, menyasar bagian kepala agar anjing itu langsung mati.
Anak panahku menancap dalam di salah satu mata anjing itu. Ia mendengking. Aku berlari dan menghantamkan parang tepat di tengah tubuhnya. Darah bercipratan mengenai tanganku.
Pria tua itu sudah berada di sebelahku. ”Aku mau paha dan kepala,” ucapnya. Aku mengangguk dan menetak bagian yang diinginkannya. Kami duduk bersila, memakan anjing itu di tempat terakhir hidupnya.
”Kenapa rencanaku bisa gagal?” tanyanya saat mulutnya masih sibuk mengunyah. Ia tampak lahap mencecap-cecap daging anjing.
Aku menggeleng. ”Sudah kulakukan semua yang kau minta,” jawabku.
”Bisa jadi rencana itu gagal karena kau tak sungguh-sungguh mau melakukannya,” ucapnya setengah menggumam.
Aku tak menjawabnya.
”Kau mau tahu alasanku menyusun rencana kematianku?” tanyanya setelah dia menghabiskan seluruh paha anjing yang ada di tangannya.
Aku mengangkat kepala, menatap mata kecilnya yang memantulkan sinar bulan purnama, setengah tak percaya karena tidak biasanya dia menjelaskan rencananya, apalagi rencana kematiannya.
”Kematian adalah hal yang paling diinginkan orang-orang seperti kami; apalagi jika tak ada teman untuk menghabiskan waktu yang panjang. Hidup yang panjang membuat kami enggan berkelompok. Selain karena bosan, kami juga takut. Hidup berkelompok akan membuatmu lebih mudah ditemukan dan dibakar oleh manusia.”
Takut? Apa maksudnya dengan takut? Padahal, dia bersikap ramah dan senang berkumpul dengan semua manusia yang ditemuinya. Tidak pernah kulihat sedikit pun ketakutan tebersit dari dirinya, bahkan ketika dia ikut membantu warga desa membakar hewan ternak yang terjangkit penyakit.
Dia menjeda ceritanya, lanjut melahap bagian kepala. Jari telunjuknya berusaha mencongkel mata anjing yang masih utuh; anak panahku meleburkan mata satunya.
”Aku tak suka berhitung, apalagi yang berkaitan dengan umur. Kurasa, kaum kami memang tak suka berhitung. Namun, tidak dengan Mere. Dia suka berhitung. Karena itulah, aku menikahinya.”
Mere? Menikah? Pria tua ini pernah menikah? Pandanganku tentangnya menjadi sedikit berubah; seperti suasana yang menjadi gelap akibat bulan yang dikerubungi awan.
”Mere menghitung umurnya, berapa manusia yang pernah dimakannya, berapa piala darah yang sudah diminumnya, berapa kali dia bercinta dengan manusia, anak-anaknya yang dibuang saat masih balita, atau yang dipeliharanya sampai rasa bosan membuatnya meninggalkan mereka. Mere menghitung itu semua. Dia merasa, dengan menghitung, setiap waktu yang dijalaninya akan lebih berharga. Padahal, jika kita berumur panjang, waktu sudah tak lagi memiliki makna.”
Dalam benakku, istrinya terdengar seperti sosok yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan dirinya. Kubayangkan Mere adalah sosok yang seterang langit siang saat musim panas sekaligus bisa membakar dengan sinarnya. Apakah dia berambut panjang sampai pinggang atau hanya sampai menyentuh atas bahunya? Bagaimana suaranya ketika memanggil nama orang di hadapanku yang sampai sekarang tak pernah berani kutanyakan? Kudengar embusan napasnya semakin berat, apakah dia menangis?
’’Namun, Mere perempuan yang ceroboh. Dengan keelokannya dia terkadang tidak hati-hati menimbang dengan siapa dia akan bermain-main.”
Perempuan yang menyadari keelokannya cenderung akan berperilaku ceroboh dan semena-mena, itu yang pernah dikatakannya ketika kami melewati salah satu desa yang warganya sedang memburu para perempuan yang menyebarkan penyakit. Tak pernah kulupakan peristiwa itu karena membuatku bertanya bagaimana elok yang dimaksud para warga hingga mereka tega membakar perempuan begitu saja.
Aku menekan-nekan daging anjing di hadapanku. Makan malamku sudah cukup, tapi dia mungkin masih lapar. Sepertinya dia kehilangan tenaga karena mengeluarkan banyak darah. Aku mendorong bagianku agar lebih dekat dari jangkauannya; kudengar tawa kecilnya.
”Mere masuk dalam jebakan manusia, dipaksa meminum darah kaum kami, lalu dibakar dan dipertontonkan di alun-alun kota. Hanya Tuhan yang tahu kenapa manusia-manusia itu menyimpan darah kami, mungkin untuk tujuan-tujuan pemusnahan semacam itu.”
Manusia menjebak, memburu, dan membakar tidak hanya sesamanya, tapi juga para Kaum Umur Panjang. Mere yang malang. Mungkin manusia akan memperlakukanku dengan cara yang sama karena aku hidup bersama pria yang adalah Kaum Umur Panjang?
Angin mulai bertiup sedikit lebih kencang. Suara lolongan anjing terdengar dari tempat yang tak begitu jauh dari kami, sepertinya anjing-anjing itu mencium aroma darah yang merebak akibat disebar angin malam.
”Menikah dengannya membuatku bisa menikmati waktu yang bergulir panjang ini. Karena itu, saat dia mati, kurasa waktu tak pernah layak lagi dijalani.”
Apakah ini alasannya tak bisa lagi menjalani hidupnya yang panjang? Sungguh mengerikan menjalani waktu yang panjang sendirian saja, apalagi dimusuhi oleh manusia di mana-mana. Aku beringsut mendekatinya, menyentuh mantel tebalnya karena hanya itu yang bisa kugapai. Tubuhnya tersembunyi jauh di balik kain-kain yang melilit, berlapis, dan menyembunyikan wujud aslinya dari dunia luar.
”Aku mulai berkelana sendiri, menyusun rencana untuk membunuh diri. Hingga kutemukan kau, yang kulatih untuk bisa membantuku suatu hari nanti, tapi rencanaku gagal. Apa lagi yang harus kulakukan, aku tak tahu. Menjalani setiap detik waktu benar-benar menyiksaku.”
Bahwa aku dilatih untuk membantunya aku sudah tahu, tapi kenapa harus aku? Apakah aku juga bagian dari kaumnya? Sungguh menakutkan jika aku harus hidup lama, tanpa teman atau keluarga, dan diburu pula oleh para manusia. Aku harus membuktikan siapa diriku yang sebenarnya. Ini bukan lagi tentang keinginannya, tapi juga tentang nasibku yang bisa jadi berakhir dalam kesendirian dan penderitaan seperti dirinya.
”Aku akhirnya tiba pada rencanaku yang semula. Kemarilah,” ucapnya, kurasakan tangannya terbentang.
Rencana semula? Untuk pertama kalinya aku merasa takut menuruti perintahnya. Berbagai kecurigaan bergulir di kepalaku; dia bisa jadi akan meminum darahku. Jika iya, berarti aku memang adalah Kaum Umur Panjang. Dia akan mati dan aku akan sendiri. Itu tak boleh terjadi. Bagaimanapun caranya, aku harus lebih dulu mati. Bahkan jika itu berarti aku akan meninggalkannya sendiri.
Aku berjalan dengan lututku, mendekat ke arahnya. Kulingkarkan satu tanganku di belakang tubuhnya, menyusul satu tangan lagi, seakan aku hendak memeluknya.
’’Matilah, Tuan,” ucapku sambil mendekatkan leherku di depan bibirnya. Lantas, satu tanganku terangkat setelah peganganku mantap di gagang parang. Awan-awan membuyar, mengembalikan sinar bulan yang terpantul di parang yang kuayunkan tepat menuju kepalanya. (*)
*) TARA FEBRIANI KHAERUNNISA, pendiri dan pengelola Raw Draw, yaitu kolektif seni rupa, serta terlibat di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat