28.7 C
Jakarta
Sunday, January 12, 2025

Benang Merah Pesta Pora Kritik

Memandang keragaman metode kritik seni yang tampak tak teratur, Martin Suryajaya mencoba menemukan pola-pola keteraturan melalui pendekatan morfologis.

 

MESKIPUN ada lagu Iwan Fals yang tertulis ”Belum Ada Judul”, penamaan tersebut justru merupakan judul itu sendiri. Itulah sekelumit paradoks dalam kehidupan.

Dalam dunia kritik, kita juga menemukan paradoks semacam ini. Seorang kritikus, entah ia ingin berteori atau tidak, pada akhirnya harus berteori. Jika ia memilih untuk tidak berteori, ia tetap harus menjelaskan alasan di balik pilihannya tersebut (hal 5).

Keadaan paradoksal ini yang coba dijembatani oleh Martin Suryajaya dalam bukunya, Meta-Estetika: Studi tentang Morfologi Kritik. Memandang keragaman metode kritik seni yang tampak tak teratur, peraih penghargaan Kumpulan Esai Terbaik Badan Bahasa 2024 ini mencoba menemukan pola-pola keteraturan melalui pendekatan morfologis.

Buku ini bukanlah terobosan yang sepenuhnya baru. Martin sendiri mengakui bahwa agenda teoretis untuk membangun sistem taksonomi universal dalam kritik seni sudah pernah diupayakan sebelumnya. Dalam kritik sastra, kita mengenal Northrop Frye; dalam teori film ada Christian Metz; dan dalam sains, upaya serupa pernah dilakukan Stephen Hawking dalam A Brief History of Time.

Upaya mencari keteraturan semacam itu dalam kajian ilmu fisika telah lama mendapat tempat. Kita bisa mengingat konsep ”ketidakteraturan yang teratur” dalam hukum termodinamika II ataupun teori chaos.

Baca Juga :  Pada Beberapa Kasus, Kadang Ejakulasi Bisa Terjadi tanpa Orgasme

Alam cenderung menuju ketidakteraturan, tetapi dari ketidakteraturan tersebut pola-pola tertentu (teratur) dapat dikenali. Einstein pun demikian saat dihadapkan pada persoalan fisika kuantum –yang penuh probability sampai ia menyatakan bahwa ”Tuhan tidak bermain dadu”. Tapi sayangnya, Tuhan memang sedang bermain dadu sesuai aturannya sendiri.

Tampaknya manusia ditakdirkan untuk terus mengupayakan keteraturan di tengah ketidakteraturan. Kita menciptakan agama, mengembangkan sains, dan kini membangun komputasi berbasis algoritma.

Semua itu bagian dari bentuk kepekaan manusia dalam ”menteraturkan” kehidupan. Martin Suryajaya melalui meta-estetika-nya ikut ambil bagian terkait tugas ”manusia” ini.

Secara lebih spesifik, dalam buku setebal 241 halaman tersebut, Martin berupaya menjembatani persoalan ”pesta pora kritik” melalui pengelompokan pendekatan berbasis model morfologis (bentuk dasar).

Isinya membahas metodologi pendekatan kritik seni yang pada akhirnya menghasilkan meta-estetika terpadu. Seni yang dikaji tidak hanya terbatas pada seni rupa, tetapi juga meliputi sastra, seni pertunjukan, film, fotografi, tari, musik, dan desain (lintas disiplin).

Upaya Martin ini dituangkan secara konkret dalam bentuk lampiran yang memuat 64 komposisi morfologi, 28 kombinasi morfologis, 56 kombinasi morfologis triposisi, 70 kombinasi morfologis caturposisi, 56 kombinasi morfologis pancaposisi, 28 kombinasi morfologis satposisi, dan 8 kombinasi morfologis saptaposisi.

Baca Juga :  Pahlawan

Meskipun angka-angka tersebut terlihat rumit, intinya adalah pengelompokan ini bertujuan untuk memetakan kerangka kritik sehingga posisi dan hubungan setiap teori dalam pembacaan seni dapat lebih dipahami dan bandingkan.

Martin juga menekankan bahwa pada dasarnya teori selalu digunakan, baik secara sadar maupun tidak. Persoalannya bukan apakah seseorang menggunakan teori atau tidak, tetapi apakah ia sadar akan asumsi teoretis yang secara implisit digunakan saat menganalisis karya seni (hal 6).

Setiap orang memiliki kebebasan untuk mengklaim keunikan, presisi, kebenaran, dan kebermanfaatan pandangannya dalam pesta pora kritik. Namun, tidak jarang kita bertanya, ”Benar dalam hal apa? Unik karena apa? Presisi atas dasar apa?”

Dalam kerumunan pendapat yang semrawut itu, upaya Martin Suryajaya dalam Meta-Estetika sedikit banyak perlu diapresiasi. Dengan pola morfologisnya, Martin memberikan alat yang memungkinkan kita memahami dan memetakan posisi serta relasi dari beragam pendekatan kritik.

Membaca Meta-Estetika karya Martin Suryajaya rasanya merupakan kemewahan terakhir untuk menjadi lebih baik, bijak, dan damai dalam jagat pesta pora kritik hari ini. (*)

Judul : Meta-Estetika: Studi tentang Morfologi Kritik

Penulis : Martin Suryajaya

Penerbit : Gang Kabel

Tahun : Cetakan pertama, November 2024

Jumlah : xxii + 241 halaman

*) ALFIAN BAHRI, Guru bahasa Indonesia, P2G Surabaya

Memandang keragaman metode kritik seni yang tampak tak teratur, Martin Suryajaya mencoba menemukan pola-pola keteraturan melalui pendekatan morfologis.

 

MESKIPUN ada lagu Iwan Fals yang tertulis ”Belum Ada Judul”, penamaan tersebut justru merupakan judul itu sendiri. Itulah sekelumit paradoks dalam kehidupan.

Dalam dunia kritik, kita juga menemukan paradoks semacam ini. Seorang kritikus, entah ia ingin berteori atau tidak, pada akhirnya harus berteori. Jika ia memilih untuk tidak berteori, ia tetap harus menjelaskan alasan di balik pilihannya tersebut (hal 5).

Keadaan paradoksal ini yang coba dijembatani oleh Martin Suryajaya dalam bukunya, Meta-Estetika: Studi tentang Morfologi Kritik. Memandang keragaman metode kritik seni yang tampak tak teratur, peraih penghargaan Kumpulan Esai Terbaik Badan Bahasa 2024 ini mencoba menemukan pola-pola keteraturan melalui pendekatan morfologis.

Buku ini bukanlah terobosan yang sepenuhnya baru. Martin sendiri mengakui bahwa agenda teoretis untuk membangun sistem taksonomi universal dalam kritik seni sudah pernah diupayakan sebelumnya. Dalam kritik sastra, kita mengenal Northrop Frye; dalam teori film ada Christian Metz; dan dalam sains, upaya serupa pernah dilakukan Stephen Hawking dalam A Brief History of Time.

Upaya mencari keteraturan semacam itu dalam kajian ilmu fisika telah lama mendapat tempat. Kita bisa mengingat konsep ”ketidakteraturan yang teratur” dalam hukum termodinamika II ataupun teori chaos.

Baca Juga :  Pada Beberapa Kasus, Kadang Ejakulasi Bisa Terjadi tanpa Orgasme

Alam cenderung menuju ketidakteraturan, tetapi dari ketidakteraturan tersebut pola-pola tertentu (teratur) dapat dikenali. Einstein pun demikian saat dihadapkan pada persoalan fisika kuantum –yang penuh probability sampai ia menyatakan bahwa ”Tuhan tidak bermain dadu”. Tapi sayangnya, Tuhan memang sedang bermain dadu sesuai aturannya sendiri.

Tampaknya manusia ditakdirkan untuk terus mengupayakan keteraturan di tengah ketidakteraturan. Kita menciptakan agama, mengembangkan sains, dan kini membangun komputasi berbasis algoritma.

Semua itu bagian dari bentuk kepekaan manusia dalam ”menteraturkan” kehidupan. Martin Suryajaya melalui meta-estetika-nya ikut ambil bagian terkait tugas ”manusia” ini.

Secara lebih spesifik, dalam buku setebal 241 halaman tersebut, Martin berupaya menjembatani persoalan ”pesta pora kritik” melalui pengelompokan pendekatan berbasis model morfologis (bentuk dasar).

Isinya membahas metodologi pendekatan kritik seni yang pada akhirnya menghasilkan meta-estetika terpadu. Seni yang dikaji tidak hanya terbatas pada seni rupa, tetapi juga meliputi sastra, seni pertunjukan, film, fotografi, tari, musik, dan desain (lintas disiplin).

Upaya Martin ini dituangkan secara konkret dalam bentuk lampiran yang memuat 64 komposisi morfologi, 28 kombinasi morfologis, 56 kombinasi morfologis triposisi, 70 kombinasi morfologis caturposisi, 56 kombinasi morfologis pancaposisi, 28 kombinasi morfologis satposisi, dan 8 kombinasi morfologis saptaposisi.

Baca Juga :  Pahlawan

Meskipun angka-angka tersebut terlihat rumit, intinya adalah pengelompokan ini bertujuan untuk memetakan kerangka kritik sehingga posisi dan hubungan setiap teori dalam pembacaan seni dapat lebih dipahami dan bandingkan.

Martin juga menekankan bahwa pada dasarnya teori selalu digunakan, baik secara sadar maupun tidak. Persoalannya bukan apakah seseorang menggunakan teori atau tidak, tetapi apakah ia sadar akan asumsi teoretis yang secara implisit digunakan saat menganalisis karya seni (hal 6).

Setiap orang memiliki kebebasan untuk mengklaim keunikan, presisi, kebenaran, dan kebermanfaatan pandangannya dalam pesta pora kritik. Namun, tidak jarang kita bertanya, ”Benar dalam hal apa? Unik karena apa? Presisi atas dasar apa?”

Dalam kerumunan pendapat yang semrawut itu, upaya Martin Suryajaya dalam Meta-Estetika sedikit banyak perlu diapresiasi. Dengan pola morfologisnya, Martin memberikan alat yang memungkinkan kita memahami dan memetakan posisi serta relasi dari beragam pendekatan kritik.

Membaca Meta-Estetika karya Martin Suryajaya rasanya merupakan kemewahan terakhir untuk menjadi lebih baik, bijak, dan damai dalam jagat pesta pora kritik hari ini. (*)

Judul : Meta-Estetika: Studi tentang Morfologi Kritik

Penulis : Martin Suryajaya

Penerbit : Gang Kabel

Tahun : Cetakan pertama, November 2024

Jumlah : xxii + 241 halaman

*) ALFIAN BAHRI, Guru bahasa Indonesia, P2G Surabaya

Artikel Sebelumnya

Terpopuler

Artikel Terbaru

/