Enteng saja perempuan itu memanggul berhala seukuran tubuhnya. Berhari-hari ia memanggulnya sambil berjalan menyusur kompleks pertokoan, swalayan, namun kadang-kadang ia beristirahat di teras toko karena kelelahan.
Ia bermaksud menjual berhala yang disebutnya sebagai Batara Sambu itu. Ia menawarkannya kepada orang-orang yang dijumpainya. Tetapi, belum ada seorang pun yang tertarik membelinya.
Ukuran berhala itu hampir setinggi orang dewasa. Batara Sambu duduk bersila dengan posisi tangan bersemedi. Sebab terbuat dari tembaga, berhala itu cukup berat. Tetapi, perempuan itu tampak enteng saja dan memanggulnya ke mana-mana.
Perempuan itu sebenarnya bukan penjual berhala keliling. Sebelumnya, dia cuma penjual jamu gendong di kawasan Pasar Seni Ancol. Ketika pandemi Covid-19 melanda negeri ini, pengunjung Pasar Seni jadi sepi. Praktis hampir tak ada yang membeli jamunya. Ibarat perusahaan, ia pun bangkrut dan akhirnya hanya luntang-lantung di kawasan hiburan itu.
Suatu hari perempuan itu bercerita kepada seniman patung Pasar Seni yang merupakan pelanggan jamunya. Pematung itu juga pernah mampir ke kontrakannya. Mendengar keluhan perempuan yang kebetulan sama-sama berasal dari Wonogiri, sang pematung lantas merasa kasihan. Ia menawari si penjual jamu itu untuk menjualkan patungnya.
”Ini patung Batara Sambu, anak Batara Guru dalam cerita pewayangan. Dia tokoh yang dikisahkan jujur. Kita populerkan Batara Sambu sebagai lambang kejujuran. Maksudnya, agar orang-orang kembali menjaga kejujuran. Sikap yang sekarang ini makin langka,” jelas sang pematung.
Perempuan itu tidak menjawab. Ia tampak ragu-ragu menerima tawaran itu.
”Dicoba dulu saja. Ditawarkan ke warga perumahan elite, pengunjung swalayan, atau pengunjung pertokoan. Banyak orang kaya yang gemar mengoleksi patung. Saya kira akan cepat laku,” kata sang pematung lagi.
Perempuan penjual jamu itu belum mengiyakan. Dia tampak berpikir keras, bisakah menjual berhala itu? Kalau dia mau, berarti harus ganti profesi dari penjual jamu gendong menjadi penjual berhala. Kalau semula menggendong jamu, kini menggendong berhala. Ah, tidak terlalu repot, pikirnya.
”Pasar Seni ini sepi sekali karena pandemi. Lihat saja tak ada pengunjung,” tambah sang pematung.
”Bagaimana cara saya menjualnya?”
”Digendong saja, seperti menggendong jamu.”
Perempuan mantan penjual jamu gendong itu lantas mencoba menggendong sang berhala dengan selendang yang dibawanya. Tetapi, karena posisi berhala itu bersila, ia agak kesulitan. Bisa juga kalau dipaksa, tapi berhala itu selalu melorot ke bawah. Akhirnya ia memutuskan untuk memanggulnya saja dan ternyata ia merasa lebih enak.
Perempuan itu memanggul berhala dengan cara meletakkannya di atas pundaknya. Kaki berhala dia letakkan di depan pundak, kepala berhala dia posisikan di belakang pundak. Ia mendasari pundaknya dengan selendang yang dilipat. Dengan begitu, ia merasa nyaman memanggulnya.
”Saya bawa sekarang ya. Semoga cepat laku.”
”Ya. Semoga…. Kalau laku, boleh membawa patung yang lain.”
”Ini mau dijual berapa?”
”Tawarkan saja lima juta. Harga pasnya empat juta. Untuk kamu nanti 30 persen. Lumayan kan,” kata si pematung. ”Ini saya bantu uang jalan dan uang makan 100 ribu per hari. Ini untuk tiga hari,” tambahnya sambil membuka dompet dan memberikan uang 300 ribu kepada perempuan muda itu.
Perempuan muda itu merasa gembira. Gampang sekali mendapatkan uang, pikirnya. Ia lantas menerimanya dengan wajah berbinar-binar.
***
Sejak hari itu si penjual jamu gendong berganti profesi menjadi penjual berhala. Ke mana-mana ia memanggul berhala dan menawar-nawarkannya kepada orang-orang. Terutama orang-orang bermobil, yang dijumpainya ketika keluar dari mobil yang diparkir di depan toko atau tempat parkir swalayan. Berhari-hari, siang malam.
Dari pertokoan ke pertokoan. Dari swalayan ke swalayan. Karena sering keluar masuk area parkir swalayan dan pertokoan sambil memanggul berhala, ia dijuluki sebagai ”perempuan pemanggul berhala”.
Tetapi, ternyata di masa pandemi tidak gampang menemukan peminat berhala itu. Suatu sore, karena kelelahan, ia merasa harus beristirahat di depan deretan pertokoan yang sebagian besar tutup karena pandemi. Ia memilih duduk di depan toko roti yang tutup dan meletakkan berhala itu di sebelahnya. Karena sangat mengantuk dan kelelahan sehabis memanggul berhala seharian, perempuan itu lantas tertidur.
Ketika terbangun hari pun sudah gelap. Sayup-sayup terdengar suara azan. Ia menduga itu azan Isya. Suasana di sekitarnya saat itu remang-remang karena toko-toko itu tidak menyalakan lampu. Cuma ada lampu jalan, lampu mercuri bercahaya kekuningan yang menerangi area tempat duduknya. Di jalanan, ada satu dua pejalan kaki dan mobil yang lewat. Suasana Jakarta sangatlah sepi.
Tiba-tiba perempuan itu ingat berhalanya. Tangan kanannya meraba ke sebelah, ia gembira berhalanya masih ada. Tapi, ia sangat terkejut ketika melihat lebih lanjut ternyata kepala berhala tidak ada. Kepala berhala itu hilang. Ia berdiri, mengucek-ucek mata, dan mengangkat berhala itu ke arah lampu-lampu. Dan, benar saja, kepala berhala itu hilang.
”Siapa yang mengambil kepala patungku? Kurang ajar!” hardiknya.
Perempuan itu meletakkan berhalanya lagi, lalu melihat sekeliling. Tak ada siapa-siapa yang mencurigakan. Ia memeriksa trotoar di sekitar berhala itu, barangkali kepala berhala menggelinding di dekatnya. Juga tak ada benda-benda yang menandakan sebagai kepala berhala.
”Aneh, kepala patung kok bisa hilang. Bagaimana cara orang memutusnya,” pikirnya.
Perempuan itu lantas berjalan bolak-balik di depan kompleks pertokoan mencari kepala berhalanya yang hilang sambil memanggul berhala tanpa kepala itu. Ia telusuri trotoar jalan yang dilewatinya. Ia juga menanyai setiap orang yang ditemuinya di jalan.
”Sialan. Harus dicari di mana ya?” gerutunya mulai jengkel.
Perempuan itu terus mencari dan mencari. Kini yang ada di pikirannya bukan lagi sekadar keinginan agar berhala itu cepat laku dan mendapat untung 30 persen. Melainkan juga menemukan kepala berhala yang copot itu.
Ia terus terbayang-bayang kepala patung itu sehingga tiap melihat benda bulat di pinggir jalan dan kira-kira seukuran kepala, ia periksa dengan kakinya. Berpuluh kali ia melakukan pemeriksaan, tetap saja tak ketemu.
Akhirnya perempuan pemanggul berhala itu kelelahan dan pulang ke kontrakannya. Ia langsung tertidur pulas. Ia meletakkan berhala tanpa kepala itu di samping tempat tidurnya. Dalam tidur ia bermimpi kepala berhala itu pulang, melayang-layang sendiri, mencari tubuhnya.
Perempuan itu ketakutan dan terbangun. Ditengoknya berhala di samping tempat tidurnya. Dalam remang cahaya kamar, sepintas dilihat berhala itu sudah berkepala. ”Syukurlah, kepala berhala itu benar-benar pulang,” gumamnya.
Dengan perasaan heran bercampur gembira, perempuan itu turun dari tempat tidurnya dan mendekati berhala itu. Dilihat dari dekat, berhala itu masih tanpa kepala. ”Ke mana kepala berhala itu? Kenapa tadi tampak ada?” katanya, lalu mengucek-ucek mata.
Perempuan itu penasaran. Dirabanya leher berhala. Berhala itu tetap tanpa kepala. Dengan agak takut ia meletakkan lagi berhala itu samping dipannya.
***
Hari masih pagi. Perempuan itu mandi, sarapan mi rebus, lantas keluar kontrakan memanggul berhala tanpa kepala itu. Masih terbayang-bayang kepala berhalanya yang hilang, lalu pulang sendiri mencari tubuhnya. Terbayang-bayang kepala berhala itu sempat ada, namun kemudian tidak ada lagi. ”Semoga mimpi itu pertanda yang baik, kepala berhala itu akan ketemu,” batinnya.
Di jalan ia berpapasan dengan beberapa orang yang sedang joging. Ia ingat, hari itu Minggu. Banyak orang joging. Setelah berjalan berapa ratus meter, seorang bapak menyapanya.
”Mbak, itu patung kok nggak ada kepalanya?” tanya bapak itu.
”Kepalanya hilang, Pak. Tadi malam.”
”Kok bisa.”
”Nggak tahu. Hilang saat saya tertidur di depan toko.”
”Lalu patung itu mau dibawa ke mana?”
”Saya mau mencari kepalanya. Kalau tidak ketemu ya… mau saya kembalikan ke pemiliknya di Pasar Seni Ancol.”
”Pasar Seni? Apa pematungnya bernama Supraba?”
”Betul, Pak. Kok Bapak tahu?”
”Saya pencinta patung karya Supraba. Bagus-bagus.”
”Oh, begitu.”
”Coba aku lihat.”
”Ini patung Batara Sambu, Pak. Lambang kejujuran.”
Sang bapak memeriksa berhala tanpa kepala itu, kemudian menemukan tanda tangan Supraba pada kaki kanan berhala tanpa kepala itu. Lalu ia menganggguk-angguk.
”Bilang kepada Supraba, patung ini mau dibeli Pak Bondan setelah ada kepalanya ya.”
”Oh begitu, Pak. Saya akan cari kepalanya sampai ketemu. Atau, minta Mas Supraba untuk membuatkan kepala yang baru.”
”Ya. Lebih mudah dibuatkan kepala lagi daripada mencari-cari di jalan,” saran sang bapak. ”Ini tubuh patung ditinggal saja di rumah saya. Kamu jadi tidak keberatan memanggul patung tanpa kepala. Rumah saya cuma 100 meter dari sini.”
Hati perempuan pemanggul berhala itu berbunga-bunga. Baik sekali bapak itu, pikirnya. Setelah berhari-hari keluyuran menawar-nawarkan berhala, akhirnya laku juga, justru pada saat berhala itu kehilangan kepala. Dan, yang membeli tidak jauh dari kontrakannya. Yang lebih membuat hatinya berbunga-bunga, Pak Bondan mengaku sebagai penggemar patung Supraba. ”Kalau memang sudah rezeki takkan ke mana,” batinnya.
”Setelah patung itu dibeli, nanti akan saya tawari patung yang lain. Pak Bondan pasti mau membelinya,” pikirnya.
Sampai di rumah Pak Bondan, hati perempuan pemanggul berhala itu makin bungah. Ternyata koleksi berhala Pak Bondan cukup banyak dan sebagian besar karya Supraba. Ada dua patung penjual jamu gendong dalam posisi duduk dan berdiri sambil menggendong jamu, mirip dirinya. Ia tersenyum sendiri melihatnya.
Dari Pak Bondan ia jadi tahu bahwa kepala berhala yang hilang itu memang tidak menyambung dengan tubuh patung. Tapi hanya menempel seperti tutup guci yang dilengkapi dua drat penguat. Setiap saat kepala berhala itu bisa dilepas dan dipasang kembali. Ia menjadi yakin kepala berhala itu pasti jatuh.
”Kamu secepatnya balik ke sini ya. Saya ingin tahu kabar kepala patung itu,” kata Pak Bondan sambil memberikan uang muka satu juta rupiah.
Perempuan pemanggul berhala itu meninggalkan rumah Pak Bondan dengan langkah ringan dan cepat. Yang ada dalam pikirannya adalah menemui Supraba, sang pembuat berhala itu, agar dibuatkan kepala yang baru. Setidaknya sang pematung ikut bertanggung jawab, pikir perempuan itu. Sebab, ia membiarkan berhala itu dipanggul dengan posisi kepala di belakang sehingga kalau kepalanya copot dan jatuh, ia tidak tahu.
Sampai di Pasar Seni Ancol, galeri patung itu tutup. Menurut pelukis di galeri sebelahnya, Supraba pulang ke rumah istrinya di Depok karena merasa kurang sehat. Kemudian pelukis itu juga mendapat kabar Supraba meninggal tak berapa lama setelah pulang ke Depok. Ia meninggal kena Covid-19. Seketika itu, perempuan pemanggul berhala pun lemas. (*)
Ahmadun Yosi Herfanda, lahir di Kaliwungu, 1958. Buku terbarunya Pertobatan Aryati (2024) dan Berhala-berhala Pembunuh Subuh (2024).