Ketika sedang duduk nyaman di kapal pesiar Sebastiantasya Line yang menuju Finlandia, gawai Dutasena menyapa. Kabar petir datang dari sahabatnya di Kota Langkapura. Dut, baru saja ada berita di televisi. Putra Inspektur Jenderal Agoes Dharma ditangkap.
Ia menabrak temannya dengan motor gede. Yang ditabrak terpental jauh. Badannya menggelosor di aspal dan kepalanya membentur batu. Parah, sampai koma. Apa sekarang Agoes ada di dekatmu? Dia sudah tahu kasus itu?
DUTASENA, dalang skandal pemalsuan lukisan dan pemalsuan tanda tangan pesohor sepak bola, terperangah. Ia melirik Agoes Dharma –inspektur jenderal pembebas dirinya dari kasus itu– yang duduk bahagia di sebelahnya.
Dutasena lalu menjawab: Beliau sekarang sedang asyik membalik-balik brosur Crystal Bohemian Ceko. Beliau tenang-tenang saja. Mungkin keluarganya masih merahasiakan berita buruk itu.
Dutasena lantas tercenung. Ini persoalan berat! Anak inspektur jenderal institusi keamanan negara menganiaya seseorang sampai sekarat. Ia lalu teringat cerita yang pernah disampaikan oleh sahabatnya di Kota Langkapura itu. Cerita yang mengingatkan agar dirinya janganlah terlampau berdekat-dekat dengan Agoes Dharma karena sang perwira tinggi ini menyimpan banyak persoalan semenjak masih muda belia.
Cerita itu pelan-pelan menjelma bagai film dalam kepala. Begini.
***
Syahdan, ketika duduk di bangku SMP kelas satu, Agoes Dharma punya seorang teman. Ayah si teman bekerja sebagai agen susu. Setiap hari ratusan botol susu keluar masuk di rumah temannya itu. Pada suatu kali, sepulang dari sekolah, Agoes melihat ada botol-botol yang pecah di situ. Agoes pun bertanya: apakah setiap hari ada botol yang pecah? Temannya menjawab: selalu ada, minimal dua. Namanya juga botol. Agoes bertanya lagi: akan diapakan botol-botol yang pecah itu? Si teman menjawab: kalau sudah banyak terbilang, tentu dibuang.
Agoes mulai berpikir.
Syahdan pula, Agoes mengenal seorang guru pencak silat. Berbagai jurus silat –dari jurus ular melipat kaca sampai cicak menotok buaya– bisa ia ajarkan. Muridnya ada belasan. Namun, karena muridnya adalah anak-anak miskin, tak ada yang mampu bayar sepeser jua. Sehingga, segiat apa pun berpraktik, pendekar ini selalu kesulitan uang. Untuk membiayai hidup ia pun bekerja sebagai pemulung beling.
Sang guru pencak silat ini pernah bercerita kepada Agoes bahwa beling yang berwarna putih, tak ada nilainya. Beling berwarna cokelat atau hijau, seperti beling botol obat batuk, murah harganya. Namun, beling tebal yang bening transparan seperti yang dipakai untuk mewadahi susu, lumayan nominalnya. Sehingga ia mau membeli apabila ada.
Mendengar itu, Agoes seperti mendapat peluang. Lalu kepada ayah temannya ia berkata: ingin membantu menyingkirkan dan membuang beling botol pecah yang teronggok di sudut ruang agen susu itu. Maka, pada suatu kali dengan karung goni tebal pecahan beling itu ditempatkan. Kemudian beling singkiran itu dijual kepada si guru pencak silat.
Setelah berkali-kali mendapat uang, akal bulus Agoes muncul. Sepulang dari sekolah, ketika di ruang agen susu tidak ada orang, ia memasukkan beberapa botol yang masih utuh ke dalam karung goni. Lalu botol itu dikepruk pelan sampai pecah. Setelah digabungkan dengan beling botol yang memang sudah remuk, sampah itu dibawa pergi.
Dengan begitu, jumlah beling botol yang didapat Agoes bisa beberapa kali lipat lebih banyak. Kelihaian ”kepruk botol” itu ia praktikkan lebih dari 20 bulan. Pak guru pencak silat curiga dengan capaian Agoes ini. Tapi, ia berfilosofi: itu adalah bagian dari silat akal yang harus diapresiasi.
Selulus dari SMP, Agoes dan sahabatnya bersama-sama menempuh sekolah SMA di luar kota. Di kota yang baru ini, ia selalu punya uang sehingga sering mentraktir teman-temannya menonton film.
Ketika pada suatu hari ditanya: dari mana dia mendapat uang, sementara para temannya masih mengandalkan hidup dari kiriman orang tua? Sambil mengangkat selembar kertas, Agoes menjawab sambil tertawa. ”Dari ini…!” Agoes menunjukkan gambar cetak yang berisi ramalan angka-angka yang bakal keluar dari SDSB atau sumbangan dermawan sosial berhadiah. Lotre nasional yang diundi setiap minggu.
”Angka-angka mana yang akan keluar dalam lotre dan bagaimana posisi angka-angka itu, di kertas ramalan ini rahasianya! Lihat, dari sopir sampai pegawai kantor mempelajari ramalan yang aku bikin. Lembar ramalan ini aku cetak ribuan dan aku jual setiap minggu. Maka, sangat banyaklah uangku.”
Seseorang bertanya, ”Apakah ada orang yang memenangkan lotre setelah mempelajari ramalan itu?” Agoes menjawab lugas: ”Ya nggak lah. Gila apa?! Kan prediksi angka yang ada di situ aku pasang semauku saja.” Lalu segenap temannya menukas ramai: ”Itu ngakali orang namanya! Nipu masyarakat dan bikin rakyat melarat!” Agoes merespons dengan terbahak.
***
Gawai Dutasena bergetar lagi. Dut, berita baru, nih. Para wartawan mulai mempertanyakan harta Inspektur Jenderal Agoes Dharma yang ternyata bukan main banyaknya. Motor gede yang dikendarai putranya itu hanyalah satu dari tiga yang dia punya. Di rumahnya ada Ferrari dan Bugatti. Agaknya mulai dicurigai, Agoes korupsi. Apakah ia masih belum tahu perkara ini? Dia masih di dekatmu?
Dutasena menjawab: Beliau sekarang sedang tidur bahagia. Kalau dia tahu, entah apalah jadinya.
Jawaban itu berjawab lagi: Dia suruh bersiap saja. Di sela-sela kesukacitaan, sering mendadak menyelip kepedihan hati.
***
Lalu cerita ulah Agoes Dharma di masa lalu kembali menjelma dalam ingatan Dutasena.
Alkisah, sahabat Dutasena sakit dan berobat ke dokter Razak, yang terkenal sebagai pengobat tepat dengan tarif rakyat. Oleh karena itu, pasiennya selalu berderet-deret setiap senja. Mereka tertib mengantre dengan cara mengambil nomor yang sudah disediakan di ruang tunggu. Si sahabat melihat Agoes ada di ruang tunggu yang dipenuhi pasien itu.
”Hai Agoes, kau sakit apa kiranya?” si sahabat bertanya.
Agoes tersenyum dan lalu berbisik. ”Ssssst. Sesungguhnya aku cuma calo pasien. Hihihi. Pasien yang tidak mau lama-lama menunggu bisa membeli nomor antre yang ada di tanganku ini. Nomor-nomor kecil… Nah, si pasien yang beli nomor antrean dari aku tentu akan dipersilakan masuk ke ruang pemeriksaan dokter lebih dahulu. Kau mau?”
Si sahabat terbelalak.
”O ya, semakin darurat sakit pasiennya, semakin aku pasang tinggi tarifnya. Aku dapat uang banyak dari sini. Karena aku nyalo sambil pura-pura sakit, setiap senja hari…” Si sahabat menggeleng-gelengkan kepala.
Pada suatu hari, terjadi kehebohan di dekat pintu ruang tunggu dokter Razak. Dalam keributan itu tampak Agoes sedang diringkus oleh petugas keamanan. Agoes dianggap memeras dengan tarif amat tinggi kepada pasien yang berkursi roda. Pasien itu protes, emosional, berusaha memekik-mekik sampai akhirnya pingsan. Terjadilah keributan.
Waktu terus lewat, kadang pelan, kadang seperti berlari. Setelah lulus SMA, Agoes diketahui menempuh pendidikan di akademi keamanan negara. Setelah lulus dengan mulus, ia bekerja di institusi yang berkait dengan keahliannya. Kariernya terus dan terus menanjak dan bahkan melejit. Belum pula berusia 50, Agoes Dharma sudah menyandang pangkat inspektur jenderal!
***
Agoes Dharma bangun dari tidurnya. Dengan kalem ia membuka gawainya. Raut mukanya mendadak terperanjat, lalu memucat. Celaka. Celaka. Celaka! Benaknya berkata. Kapal pesiar Sebastiantasya Line terus melaju dengan tenangnya.
***
Sekembalinya di tanah air, Dutasena dan Agoes Dharma berpisah. Dutasena sengaja menjauh, menjaga jarak. Ia takut tersentuh nuansa perkara penganiayaan yang dilakukan oleh putra Agoes. Ia takut disangkutkan dengan harta Agoes. Bukankah kekayaan inspektur jenderal yang datang dari mana-mana itu sedang dipermasalahkan?
Namun, setelah enam bulan, kasus itu serta-merta menghilang. Bahkan Agoes Dharma tiba-tiba mendapat jabatan baru: Pangti (panglima tertinggi) Perkakasjudas (Pemberantasan Kaki Tangan Narkoba, Minuman Keras, Perjudian, dan Sejenisnya). Jabatan sangat penting dan tak sembarang perwira bisa mendapatkan. Agoes Dharma pun jadi pusat perhatian.
Pada suatu malam, Dutasena menonton televisi. Di situ Agoes Dharma, Pangti Perkakasjudas, diwawancarai. Petikan wawancara itu begini.
”Yang Mulia Bapak Inspektur Jenderal Agoes Dharma, adakah cerita tentang masa lalu yang menjadi landasan kesuksesan Anda hari ini?” tanya pewawancara.
”Begini. Sejak usia belia, saya selalu berbuat baik. Pasti tak ada yang menyangka bahwa saya pernah jadi pemulung beling. Berkarung-karung pecahan beling pulungan itu saya jual dan uangnya saya sumbangkan kepada sejumlah pemelihara tradisi di tempat kelahiran saya itu. Sejak dulu, saya tak ingin melihat tradisi kita yang luhur dilindas zaman. Perhatikan upacara tabuik, tari gandrung, pencak silat, bakar tongkang…” Raut Agoes kelihatan meradang.
”Saya juga pernah berbulan-bulan melakukan penyadaran kepada wong cilik di suatu kota agar mereka tidak terbius kepada judi yang dipicu oleh lotre dan semacamnya. Apalagi terbius oleh ramalan peruntungan yang menyebabkan mereka hanya mengunyah harapan. Ini berbahaya karena akan merusak mental dan ekonomi keluarga!”
”Tapi… ini yang paling saya ingat. Pada suatu kali, saya melihat orang-orang sakit sedang antre berobat ke klinik yang hanya ditangani oleh satu dokter. Antrean panjang yang berlangsung setiap hari itu menghadirkan pemandangan miris. Seperti kisah pesakitan di kamp Adolf Eichmann, begundal Nazi era Perang Dunia Kedua! Setelah melihat itu, saya usul kepada pemerintah: mbok jumlah dokter dan ruang dokter di situ ditambah agar antrean tidak menjadi panjang… Syukur usul saya akhirnya diterima. Bahkan perbaikan soal kesehatan itu berlanjut sampai sekarang. Saya rasa, munculnya Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan itu juga lantaran kontribusi saya.”
”Merujuk kasus baru-baru ini… Bapak dikenal berhasil dalam menyelesaikan perkara rumit yang menyangkut pemalsuan tanda tangan pesepak bola dunia dan pemalsuan lukisan di tanah air kita. Mohon izin, Bapak bisa beberkan caranya?”
”Saya menyelesaikan semua itu berdasar rumus yang terpetik dari pengalaman. Dan semua itu saya kerjakan berlandas keberanian. Saya selalu ingat ungkapan: Jika inginkan telur elang di sarang, jangan takut menginjak-injak semut rangrang yang menjagai batang…”
Pewawancara yang kelihatan girang lantas menutup acaranya.
”Bisa disimpulkan bahwa Bapak Inspektur Jenderal adalah orang yang hormat dan jujur kepada sejarah dan pengalaman masa lalunya. Seperti dikatakan sejarawan Amerika Claude Gernade Bowers, sejarah dan pengalaman adalah obor untuk menerangi masa depan. Saya yakin, obor Agoes akan menyala terus sampai kapan-kapan!”
Dutasena pun mematikan televisi dengan gembira karena telah mendapat hiburan yang kontennya persis seperti yang ia duga. Semenit kemudian, sahabatnya dari Kota Langkapura mengirim WhatsApp. Di kolom pesan tertulis kata singkat: Siaran semprul! (*)
—
AGUS DERMAWAN T., Kritikus seni, penulis buku-buku budaya, dan sastrawan. Buku cerpennya, Odong-Odong Negeri Sulap, masuk lima besar buku terbaik versi Kemendikbudristek 2023.