Di Gua Jepang Cangar
di ranjang tanah yang keras itu maut datang dan mengelus
tubuh mereka, yang muda dan telanjang
udara pengap jadi panas
â€apakah ini hawa neraka?†tanya si perempuan
â€ini nuansa cinta,†si lelaki melekapkan bibir di leher yang
bersemu hijau
lenguh menggema
dalam gelap yang kekal
lantas rintih
kesakitan
dari tubuh yang ringkih
â€aku tak bisa melepasnyaâ€
â€tapi kau harus melepasnyaâ€
di samping mereka, maut menari
dengan satu kaki menginjak punggung si lelaki
mereka ingin menjerit
tapi tak sanggup
mereka tak kuasa membayangkan
orang-orang tiba
dan menemukan mereka
masih terpaut
tapi tujuh hari kemudian
orang-orang tetap datang
dan mendapati mereka
saling memeluk dan membusuk
terbungkus udara lembap
di lantai gua yang kotor
â€mereka sepasang pezina terkutuk!†kata kiai setempat
â€mereka sepasang pecinta yang terberkati,†gumam seorang remaja
yang tengah kasmaran
———————
Loji dan Pohon Durian di Turunan Kidul
ini rumah hantu-hantu, kata Mbah Wandi
sambil mengusir bocah-bocah yang ingin mengintip
melalui kaca belimbing yang kotor dan kukuh;
hantu laki-laki bule, hantu perempuan bule, hantu
bocah laki-laki bule, hantu bocah perempuan bule,
hantu kakek-kakek bule, hantu nenek-nenek bule,
hantu anjing bule, hantu kucing bule, dan hantu
prenjak bule
sebab loji ini dibangun zaman Belanda, atas perintah
orang Belanda, oleh rakyat pribumi, dan untuk orang Belanda
â€dan mereka semua mati di sini dipancung oleh
para pemuda yang marah†tambah Mbah Wandi
bocah-bocah bergidik ngeri
dan berjanji tak bakal bermain di situ
lalu mereka pergi, seraya menatap pohon
durian di halamannya yang tengah berbunga,
pohon durian yang terlihat berduka, pohon durian yang hingga
berbulan-bulan kemudian masih saja berbunga
sewaktu pohon durian lain menghasilkan buah
besar dan wangi
â€pohon durian gabuk,†maki Mbah Wandi
tapi pohon durian itu hanya merasa kesepian
ia menginginkan bocah-bocah bermain di sekitarnya,
bocah-bocah yang mengubah bunga jadi buah,
lantas sesekali melemparinya
kerikil dan beriang gembira sewaktu menemukan
sebutir buah matang jatuh
lalu bercerita ke segenap penjuru kampung
seolah-olah mereka telah menemukan surga
———————
Batu Dandang
setelah empat buruh yang ia pekerjakan kesurupan
di sawah yang baru disewanya, sawah yang konon
dihuni danyang-danyang berwarna putih, Kaji Suwadi
memimpikan sebongkah batu yang bisa bicara:
mereka kira sang sri yang menjaga tanah tetap subur, yang
membuat padi tabah tumbuh dengan biji penuh dan terguyur kuning,
tapi tidak, sri telah lama hijrah ketika orang-orang asing datang
membawa kata bidah, dan para petani tak lagi memberikan
takir dan sebatang dupa pada musim tanam dan ketam
tapi kami tetap di sini, menjaga apa yang ditinggal pergi, meruwat
dan merawat biji-biji padi yang kami tahu begitu paham cara
berendah hati dan berterima kasih, karena itulah, di sini dan hanya
di sini, wereng dan walang tersingkir, tikus dan pipit terusir
dan seperti kalian yang tahu bahwa sang sri pernah ada tapi
tak lagi kalian hargai, kalian juga tahu bahwa kami ada
dan berumah di sini, tapi kalian senantiasa cuai; kalian ludahi
batu rumah kami, kalian injak dengan kaki kotor batu rumah kami,
kalian ucapkan kalimat tak pantas di atas batu rumah kami,
maka kami peringatkan kalian sebagai permulaan, sebab kami
bukan sang sri yang begitu sabar dan memilih meninggalkan;
kami melawan dengan cakar, sebab begitulah cara kami bertahan
hari telah tinggi ketika Kaji Suwadi bangun, dan ia marah
karena tak ada yang menggugahnya untuk Subuhan
ia tak memikirkan mimpinya, sebab ia tahu, mimpi sekadar
bunga tidur, dan semalam, bunga berkelopak jelek yang mekar
============================
DADANG ARI MURTONO. Lahir di
Mojokerto, Jawa Timur. Bukunya yang sudah terbit, antara lain, Ludruk Kedua
(kumpulan puisi, 2016), Samaran (novel, 2018), Jalan Lain ke Majapahit
(kumpulan puisi, 2019), dan Cara Kerja Ingatan (novel, 2020). Buku Jalan Lain
ke Majapahit meraih Anugerah Sutasoma dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur
serta Penghargaan Sastra Utama dari Badan Bahasa Jakarta sebagai Buku Puisi
Terbaik Indonesia 2019.