Oleh ALOYSIUS GILANG ANDRETTI
Roman Kuntowijoyo ini seolah menjadi mitos selama enam dekade sebelum Seno Gumira Ajidarma menemukan mikrofilm koran Djihad di Perpusnas yang kemudian dia ceritakan ke Dodo Hartoko. Sejumlah kata atau sebaris kalimat yang tidak terbaca lagi dari cetakan asli jadi tantangan tersendiri.
SEJARAWAN semestinya melawan dan menanggalkan mitos, baik pada teks maupun bukan. Atau, lebih moderat, mencoba menggali makna dan mengkritisinya. Namun, apa jadinya jika sejarawan justru mewariskan mitos?
Setidaknya, itulah yang terjadi pada Kuntowijoyo. Secara tidak langsung, diwariskannya mitos selama hampir enam dekade. Simpang siur atas romannya, Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari, yang selalu muncul dalam biodata penulis kelahiran Bantul, Jogjakarta, itu terpecahkan saat Penerbit Buku Baik dan Pabrik Tulisan berinisiatif menerbitkannya.
Roman ini mulanya berbentuk cerita bersambung yang dimuat dalam koran Djihad periode 30 Juni–22 Agustus 1966. Kini roman bersampul hard cover warna merah bata itu telah beredar ke khalayak ramai.
Berawal dari Pesan WhatsApp
Usaha membongkar mitos Kuntowijoyo tersebut lekat dengan kerja-kerja Dodo Hartoko (selanjutnya: Dodo), tidak hanya Seno Gumira Ajidarma (selanjutnya: Seno). Langkah pertama penerbitan buku itu berawal dari pesan WhatsApp Seno perihal penemuan karya Kuntowijoyo.
Dodo mengaku lebih banyak bertanya ketimbang menimpali saat itu. Dia lantas meminta Seno menuliskan soal penemuannya. Tulisan itu lantas menjadi dasar pengetahuan sekaligus menumbuhkan ketertarikan pria yang baru membeli buku selepas lulus SMA tersebut.
Dodo tidak lupa daratan. Ia meminta izin kepada Susilaningsih, istri almarhum Kuntowijoyo. Pria yang juga pernah membidani Penerbit Kanal itu memastikan bahwa buku tersebut sepenuhnya milik Kuntowijoyo. Kerja-kerja Seno dan dirinya hanyalah menghimpun dan menerbitkan.
Berbekal penemuan dan tulisan Seno, izin Susilaningsih, serta pembiayaan mandiri, Dodo nekat menerbitkan Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari. Ia menggandeng Penerbit Pabrik Tulisan. Alhasil, proses penerbitan buku itu memakan waktu hampir satu tahun.
Penggemar Kuntowijoyo ternyata masih ada. Pendeknya, penerbitan itu berbuah manis. Sejauh ini, cetakan pertamanya ludes sebanyak 300 eksemplar. Ukuran yang besar untuk penerbit indie, seperti Penerbit Buku Baik dan Pabrik Tulisan.
Menyusuri Sejarah Tanah Kelahiran
Dibandingkan dengan karya Kuntowijoyo yang lain, penyajian roman ini terasa lebih istimewa. Kali ini, pembaca akan disuguhkan dengan ilustrasi yang ciamik karya Enka Komariah.
Walaupun baru belakangan mengenal karya Kuntowijoyo, Enka mampu membangkitkan imajinasi pembaca akan latar utama roman tersebut, Stasiun Ceper dan Desa Ngawonggo, Klaten, Jawa Tengah. Hal ini sebetulnya tidaklah mengherankan.
Sebab, alumnus Sekolah Menengah Seni Rupa Jogjakarta itu gemar mengangkat sejarah revolusi Indonesia 1945–1949 sebagai objek visual di pelbagai karyanya. ”Ketika ditawari project ini, secara spontan saya mengiyakan dan sangat antusias, apalagi yang berkaitan dengan kota kelahiran saya,” tulis Enka ketika dihubungi melalui direct message Instagram.
Kedekatan emosional seniman lulusan Seni Grafis Institut Seni Indonesia Jogjakarta itu karena desa kelahirannya, Tegalsepur, hanya berjarak 14 km dari Desa Ngawonggo. Sebanyak 10 karya visual Enka yang menghiasi roman Kuntowijoyo tersebut tidak berangkat dari ide kosong.
Bersama Dodo, Enka berkelana mencari sisa lain dari fragmen cerita, yaitu puing jembatan. Berbekal petunjuk warga sekitar, reruntuhan jembatan itu sudah tenggelam di dasar sungai. Berada di sebelah selatan Kelurahan Ceper, jembatan itu dulunya rel lokomotif pengangkut tebu.
Arkeologi Tak Terbatas Candi
Tidak tertutup kemungkinan, sebagian dari publik masih sebatas menginterpretasikan ilmu arkeologi dengan candi. Namun, bagaimana jadinya jika metode dan tafsir arkeologi digunakan untuk teks sastra, khususnya teks sastra dari periode yang relatif kontemporer?
Untuk itu, atas kelahiran (kembali) Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari kita patut berterima kasih tidak hanya pada penerbit. Juga Seno, tak lupa Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (selanjutnya: Perpusnas). Penemuan kembali atas teks roman itu tidak akan terjadi tanpa ketelatenan Seno dan mikrofilm koran Djihad yang tersimpan di Perpusnas.
Seno memperlakukan cerita bersambung Kuntowijoyo layaknya sebuah prasasti, cuilan relief, potongan kayu, dan batu berukir. Bagaimana tidak, dalam penuturannya pada prolog buku, semua disebabkan oleh mutu tinta cetak yang buruk. Alhasil, sepatah kata atau sebaris kalimat hilang tidak terbaca lagi.
Mutu cetak yang buruk berkaitan erat dengan kondisi ekonomi nasional waktu itu. Menjelang berakhirnya rezim demokrasi terpimpin 1959–1966, hiperinflasi melumpuhkan Indonesia. Sebagaimana dituliskan Soe Hok Gie dalam Zaman Peralihan, inflasi mencapai 600 persen. Sudah tentu semua harga terkerek naik dan percetakan tak mampu lagi membeli tinta kualitas baik.
Pudarnya sepatah kata atau sebaris kalimat tentu menjadi tantangan tersendiri untuk menyajikan roman ini dengan paripurna. Seno dihadapkan pada dua pilihan, mengeditnya sekalian atau cukup menyalinnya saja. Ia memilih opsi kedua dengan penyempurnaan ejaan dan koreksi typo.
Tidak berhenti di situ, penulis cerpen Saksi Mata tersebut membubuhkan keterangan berupa ”(… …)” untuk teks yang tidak terbaca. Jadi, teruntuk pembaca yang ingin membuktikan keaslian sumber dan menilai porsi gubahan Seno, langsung dapat melacak mikrofilm itu di Perpusnas.
Dengan metode demikian, keotentikan karya Kuntowijoyo terjaga baik, walaupun tidak utuh. Karena itu, dengan perlakuan dan perspektif yang tepat, buku ini tetap sahih untuk dikaji dan didiskusikan kembali.
Kerja tersebut sungguh sebuah kelindan unik yang mungkin sulit terulang. Sejarawan yang seharusnya membongkar malah mewariskan mitos. Justru dengan bantuan Seno, Dodo, dan Enka, yang tak pernah mengenyam pendidikan formal sejarah, mitos itu akhirnya luruh tak bersisa. (*)
ALOYSIUS GILANG ANDRETTI, Pernah menempuh pendidikan S-1 Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada, saat ini menjadi koordinator program rutin Klub Baca Radio Buku