25.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Kompleksitas Elektoral Pemilu 2024

KITA berada di pemilu dengan konteks yang berubah dan berbeda dengan pemilu sebelumnya. Fenomena Pemilu 2024 ditandai dengan menguatnya pemilih milenial yang jumlahnya mencapai 56 persen (%) dan pertumbuhan pemilih rasional 28%. Juga meluasnya politik digital dan masifnya penggunaan media sosial (medsos) dalam kampanye.

Faktor keterpilihan saat ini tidak lagi hanya bisa mengandalkan faktor sosiologis, psikologis, dan ekonomi politik an sich. Tetapi lebih mensyaratkan faktor gabungan (omni). Dengan demikian, hanya parpol dan kandidat yang bisa memenuhi banyak variabel itulah yang punya keterpilihan tinggi.

Milenial, khususnya milenial muda yang berjumlah 7% dan dewasa lanjutannya 27%, memang butuh pendekatan khusus. Mereka jenis pemilih dinamis yang butuh disentuh pundaknya secara langsung secara pribadi sehingga tercipta proksimitas dan keintiman.

Strategi mendekati pemilih ini adalah dengan lebih banyak mendasarkan pada data mutakhir terkait habitus, karakter, jaringan, dan hobi mereka agar kandidat dan parpol bisa mendapatkan hasil yang lebih presisi. Memang tren ini membuat kerja politik menjadi lebih ekstra karena akan membuat relasi politik lebih menyasar personal. Tidak lagi bisa massal. Membuat biaya politik lebih mahal.

Kendati jenis pemilih ini sulit permanen, mereka sesungguhnya adalah gambaran pemilih masa depan. Upaya memahami mereka saat ini sama halnya berinvestasi untuk pemilu masa depan.

Peta Elektoral

Jika mengacu hasil survei, perubahan perilaku milenial itu sungguh dinamis. Kekuatan personal kandidat terus menguat dan kian menentukan. Inilah yang membuat parpol terus merekrut para pesohor untuk bergabung menjadi kader guna memenangi kontestasi.

Baca Juga :  Kiat Menuju Hidup Bahagia

Selain itu, pemilih masih menjadikan kondisi ekonomi dan politik sebagai patokan utama dalam menilai kinerja pemerintahan. Sementara agenda abadi dan prioritas yang diharapkan masyarakat masih seputar perbaikan ekonomi. Khususnya pengendalian harga bahan pokok, penyediaan lapangan kerja, pemberantasan korupsi, dan pengentasan kemiskinan.

Jika kita cermati, ada data yang unik terkait perubahan perilaku memilih 2024. Salah satunya loyalitas yang menurun dari pemilih terhadap parpol. Angka loyalitas rata-rata di bawah 20%. Hal itu membuat split voters jauh lebih tinggi daripada straight voters.

Nah, menarik juga dicermati faktor di luar diri kandidat yang sedang ikut kontestasi. Faktor ini cukup krusial, yakni terkait kepuasan atas kinerja presiden yang juga berpengaruh terhadap arah dukungan pemilih. Sementara golput potensial berada di 11–16% dan tingkat partisipasi pemilih masih akan di atas 75%.

Secara geopolitik, Jawa akan tetap menjadi wilayah sentral dalam pemilu nasional. Jawa Timur akan tetap menjadi penentu. Mengapa? Selain memiliki jumlah pemilih terbesar kedua sebanyak 31,4 juta orang, juga karena punya kekuatan simbolis dan tokoh serta potensi pemilih lebih heterogen dan dinamis. Tak heran jika Jawa Timur selalu menjadi rebutan dan wilayah yang diprioritaskan secara elektoral.

Baca Juga :  Patut Diapresiasi, Pelaksanaan Pemilu 2024 di Katingan Berjalan Aman dan Lancar

Dominasi partai nasionalis masih akan tetap bertahan, baru disusul partai religius. Bisa jadi karena perilaku memilih yang kian moderat dan rasional dalam struktur pemilih kita.

Misteri Swing Voters

Ada fenomena unik pada Pemilu 2024 terkait swing voters. Jika kita mendasarkan pada kebiasaan pemilu sebelumnya, swing voters untuk pilpres selalu mengecil kian mendekati hari pencoblosan. Namun, saat ini kondisinya justru berbeda. Pemilih galau masih banyak dan orang yang masih bisa berubah juga cukup tinggi. Hal tersebut benar-benar menyulitkan prediksi hasil Pilpres 2024. Bahkan, angka itu kini bertahan pada kisaran 18–22%, yang termasuk kategori tinggi.

Fenomena kecenderungan swing voters sepertinya akan sengaja memilih jalan sunyi sebagai upaya kritis. Sebagaimana dicatat Imron Rosyadi (2024), pemilih sepertinya sudah lelah dengan politik gimik dan dramatisasi panggung politik simulakra. Jika itu terjadi, swing voters kendati masih besar potensial menjadi golput dan tak lagi bermakna untuk perbaikan demokrasi elektoral.

Last but not least, di balik dinamika itu semua sebenarnya pemenang Pemilu 2024, khususnya pilpres, akan sangat ditentukan kemampuan dalam merebut voters diam jenis ini. Selamat datang di era baru pemilu yang kompleks dan rumit. (*)

*) SUROKIM AS, Peneliti SSC (Surabaya Survey Center),Dosen Komunikasi Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Trunojoyo Madura

KITA berada di pemilu dengan konteks yang berubah dan berbeda dengan pemilu sebelumnya. Fenomena Pemilu 2024 ditandai dengan menguatnya pemilih milenial yang jumlahnya mencapai 56 persen (%) dan pertumbuhan pemilih rasional 28%. Juga meluasnya politik digital dan masifnya penggunaan media sosial (medsos) dalam kampanye.

Faktor keterpilihan saat ini tidak lagi hanya bisa mengandalkan faktor sosiologis, psikologis, dan ekonomi politik an sich. Tetapi lebih mensyaratkan faktor gabungan (omni). Dengan demikian, hanya parpol dan kandidat yang bisa memenuhi banyak variabel itulah yang punya keterpilihan tinggi.

Milenial, khususnya milenial muda yang berjumlah 7% dan dewasa lanjutannya 27%, memang butuh pendekatan khusus. Mereka jenis pemilih dinamis yang butuh disentuh pundaknya secara langsung secara pribadi sehingga tercipta proksimitas dan keintiman.

Strategi mendekati pemilih ini adalah dengan lebih banyak mendasarkan pada data mutakhir terkait habitus, karakter, jaringan, dan hobi mereka agar kandidat dan parpol bisa mendapatkan hasil yang lebih presisi. Memang tren ini membuat kerja politik menjadi lebih ekstra karena akan membuat relasi politik lebih menyasar personal. Tidak lagi bisa massal. Membuat biaya politik lebih mahal.

Kendati jenis pemilih ini sulit permanen, mereka sesungguhnya adalah gambaran pemilih masa depan. Upaya memahami mereka saat ini sama halnya berinvestasi untuk pemilu masa depan.

Peta Elektoral

Jika mengacu hasil survei, perubahan perilaku milenial itu sungguh dinamis. Kekuatan personal kandidat terus menguat dan kian menentukan. Inilah yang membuat parpol terus merekrut para pesohor untuk bergabung menjadi kader guna memenangi kontestasi.

Baca Juga :  Kiat Menuju Hidup Bahagia

Selain itu, pemilih masih menjadikan kondisi ekonomi dan politik sebagai patokan utama dalam menilai kinerja pemerintahan. Sementara agenda abadi dan prioritas yang diharapkan masyarakat masih seputar perbaikan ekonomi. Khususnya pengendalian harga bahan pokok, penyediaan lapangan kerja, pemberantasan korupsi, dan pengentasan kemiskinan.

Jika kita cermati, ada data yang unik terkait perubahan perilaku memilih 2024. Salah satunya loyalitas yang menurun dari pemilih terhadap parpol. Angka loyalitas rata-rata di bawah 20%. Hal itu membuat split voters jauh lebih tinggi daripada straight voters.

Nah, menarik juga dicermati faktor di luar diri kandidat yang sedang ikut kontestasi. Faktor ini cukup krusial, yakni terkait kepuasan atas kinerja presiden yang juga berpengaruh terhadap arah dukungan pemilih. Sementara golput potensial berada di 11–16% dan tingkat partisipasi pemilih masih akan di atas 75%.

Secara geopolitik, Jawa akan tetap menjadi wilayah sentral dalam pemilu nasional. Jawa Timur akan tetap menjadi penentu. Mengapa? Selain memiliki jumlah pemilih terbesar kedua sebanyak 31,4 juta orang, juga karena punya kekuatan simbolis dan tokoh serta potensi pemilih lebih heterogen dan dinamis. Tak heran jika Jawa Timur selalu menjadi rebutan dan wilayah yang diprioritaskan secara elektoral.

Baca Juga :  Patut Diapresiasi, Pelaksanaan Pemilu 2024 di Katingan Berjalan Aman dan Lancar

Dominasi partai nasionalis masih akan tetap bertahan, baru disusul partai religius. Bisa jadi karena perilaku memilih yang kian moderat dan rasional dalam struktur pemilih kita.

Misteri Swing Voters

Ada fenomena unik pada Pemilu 2024 terkait swing voters. Jika kita mendasarkan pada kebiasaan pemilu sebelumnya, swing voters untuk pilpres selalu mengecil kian mendekati hari pencoblosan. Namun, saat ini kondisinya justru berbeda. Pemilih galau masih banyak dan orang yang masih bisa berubah juga cukup tinggi. Hal tersebut benar-benar menyulitkan prediksi hasil Pilpres 2024. Bahkan, angka itu kini bertahan pada kisaran 18–22%, yang termasuk kategori tinggi.

Fenomena kecenderungan swing voters sepertinya akan sengaja memilih jalan sunyi sebagai upaya kritis. Sebagaimana dicatat Imron Rosyadi (2024), pemilih sepertinya sudah lelah dengan politik gimik dan dramatisasi panggung politik simulakra. Jika itu terjadi, swing voters kendati masih besar potensial menjadi golput dan tak lagi bermakna untuk perbaikan demokrasi elektoral.

Last but not least, di balik dinamika itu semua sebenarnya pemenang Pemilu 2024, khususnya pilpres, akan sangat ditentukan kemampuan dalam merebut voters diam jenis ini. Selamat datang di era baru pemilu yang kompleks dan rumit. (*)

*) SUROKIM AS, Peneliti SSC (Surabaya Survey Center),Dosen Komunikasi Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Trunojoyo Madura

Terpopuler

Artikel Terbaru