31.9 C
Jakarta
Monday, December 23, 2024

Hari Ibu Ingatkan Tantangan Perempuan di Era Digital

HARI ini 22 Desember 2024 masyarakat Indonesia memperingatinya sebagai Hari Ibu. Penetapan tanggal 22 Desember sebagai hari Ibu disepakati pada Kongres Perempuan III di Bandung tahun 1939 dan secara resmi diakui melalui Keputusan Presiden Nomor 316 tahun 1969 tentang Hari-Hari Nasional Bukan Hari Libur.

Tahun ini, 2024 adalah peringatan Hari ibu yang ke-96 dengan Tema “Perempuan Menyapa Perempuan Berdaya Menuju Indonesia Emas 2045”.

Seksisme masih menjadi problem mendasar yang menimpa kaum perempuan. Di satu sisi sangat mendiskriminasi dan menindas perempuan, terutama perempuan pekerja. Dalam masyarakat yang cenderung kapitalis, semua ini untuk kepentingan reproduksi tenaga kerja.

Jadi, agar penindasan itu tidak mencolok muncul di permukaan, maka kapitalisme butuh hegemoni berupa berbagai konstruksi social dan kultural agar perempuan dan masyarakat bukan hanya menerimanya namun juga membelanya. Salah satunya dengan cara pengagungan terhadap “ibu” dengan pelanggengan sisi ”keibuaan” nya saja dalam keluarga.

Secara biologis, psikologis dan sosiologis, perempuan atau Ibu disepakati sebagai orang pertama (berdua dengan ayah) bagi anak-anaknya dalam hal Pendidikan. Ibu adalah sekolah pertama bagi anak (al umm madrosatul ula). Dimulai dari rumah, sebelum anak mendapatkan pengajaran dan Pendidikan di sekolah formal (terlembaga).

Orang pertama yang akan ditanya oleh anak adalah ibu, tentang apapun yang ingin dia ketahui, bahkan pengalaman saya sebagai ibu, saat anak saya usia 6 tahun pernah menanyakan tentang hakikat Tuhan sekalipun.

“Mah, Allah itu tidak mati ya mah? Kenapa manusia mati tapi Allah tidak mati. Apa aku bisa menjadi Allah mah? Soalnya kalau aku jadi manusia aku akan mati” begitu pertanyaannya.

Di sini, Ibu harus punya jawaban, jangan sampai anak dibiarkan mencari jawaban dari narasumber atau sumber lain yang dapat menyesatkan pikiran dan keingintahuan polosnya. Ibu juga adalah orang pertama sebagai pelindung dan pemberi kasih sayang terhadap anak (caring from the start). Melalui air susu ibu (ASI), seorang bayi untuk pertama kalinya mendapatkan kenyamanan kasih sayang, perlindungan, dan cinta dari seorang ibu.

Oleh karena itu, menurut teori pembelajaran sosial (social learning theory) anak akan meniru perilaku orang dalam lingkungan sekitarnya. Dan yang pertama dilihat dan dipelajari oleh anak adalah ibu.

Tanpa disengaja perkataan, perilaku dan tindak tanduk ibu, akan terinternalisasi oleh anak. Menjadi perempuan, menjadi ibu adalah peran mulia jangka Panjang dalam menyiapkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas pemimpin masa depan keluarga, bangsa dan dunia.

Tantangan Perempuan di Era Digital

Di tengah kemajuan teknologi digital yang pesat, tantangan kesetaraan gender masih menjadi isu yang relevan dan kompleks. Era digital membawa dampak yang signifikan terhadap dinamika gender, baik dalam hal peluang maupun tantangan yang dihadapi oleh perempuan. Penting bagi masyarakat untuk memahami perubahan ini dan mengambil langkah-langkah konkret untuk menghadapinya.

Baca Juga :  Rem Blong

Salah satu tantangan utama kesetaraan gender di era digital adalah kesenjangan digital antara laki-laki dan perempuan. Meskipun akses internet semakin meluas, perempuan sering kali memiliki akses yang lebih terbatas daripada laki-laki. Faktor-faktor seperti ketidakmampuan finansial, keterbatasan pengetahuan teknologi, dan norma-norma sosial yang membatasi akses perempuan di masyarakat.

Meskipun demikian, Hal baik dari era digital bagi perempuan untuk dimanfaatkan adalah memanfaatkan teknologi digital untuk mengatasi tantangan ketimpangan gender.

Perempuan dapat memperluas jangkauan mereka dalam berbagai bidang kehidupan seperti Pendidikan, pekerjaan, kewirausahaan, dan sebagainya. Bahkan perempuan dapat mengembangkan kapasitas diri dalam penguasaan digital melalui pelatihan digital berbasis kesetaraan gender.

Era digital memberikan peluang terbaik bagi perempuan untuk memanfaatkan kesempatan secara online. Anak atau perempuan dewasa yang sebelumnya tidak memiliki akses di Lembaga Pendidikan karena Batasan grografis, ekonomi dan social sekarang mereka bisa memanfaatkan teknologi digital untuk media belajar.

Seperti kursus online, webinar, pelatihan online, dan sebagainya yang dapat mengurangi keterbelakangan perempuan dalam hal Pendidikan dan mendapatkan pengetahuan.

Upaya tersebut penting disadari oleh perempuan untuk dapat memanfaatkan kebaikan dari era digital untuk peningkatan kapasitas diri perempuan. Di masyarakat menjadi perempuan sering mengalami masalah kesejahteraan psikologis.

Beban psikologis seperti tekanan untuk memenuhi harapan sosial, menghadapi diskriminasi gender, mengalami trauma akibat kekerasan yang kesemuanya dapat menghambat aspirasi dan partisipasi perempuan dalam program pembangunan nasional.

Di sini, yang diperlukan oleh perempuan salah satunya adalah dukungan psikososial dan kesempatan berbicara tentang perasaan, pengalaman, dan kebutuhan mereka

Anak perempuan sering menghadapi stereotipe gender saat mengejar impian kreatif mereka. Di banyak masyarakat, masih ada anggapan bahwa anak perempuan seharusnya memilih profesi atau hobi yang “feminine”. Sangat bias gender, karena mereka dianggap kurang mampu dalam bidang-bidang tertentu seperti teknologi atau sains.

Untuk mengatasi hal ini, kita perlu meyakinkan masyarakat melalui kegiatan yang sifatnya edukasi dan  promosi bahwa perempuan bisa berkompetisi dengan laki-laki dalam berbagai bidang, misalnya dengan menunjukkan figur perempuan dengan kisah suksesnya di tingkat nasional dan global (role modelling).

Jadi, Peringatan Hari Ibu di Tahun ini yang ditandai sebagai era digital, siapapun kita dalam kategori anak perempuan, perempuan dewasa, maupun sebagai ibu, untuk memaknai esensi peringatan hari ibu.

Baca Juga :  Society of Spectacle : Haruskah Kita Pamer di Sosmed?

Jangan sampai kita, hanya menjadikannya sebagai simbol untuk memberikan setangkai bunga atau sekedar ucapan terima kasih kepada ibu atas jasa mereka yang telah melahirkan dan peran-peran domestic ibu di dalam keluarga.

Hari ini harus dijadikan sebagai tonggak perjuangan perempuan Indonesia dalam meraih kesetaraan dan kemandirian. Terakhir, peringatan hari ibu agar tidak hanya menjadi seremonial semata, tetapi agar dapat menjadi penguat komitmen semua masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan untuk mewujudkan kesetaraan gender.

Kita harus berterima kasih kepada para perempuan yang tergabung dalam 30-an organisasi perempuan dari 12 daerah di Jawa dan Sumatera dengan jumlah total peserta kongres saat itu dilaporkan berjumlah sekitar 600 orang perempuan di Gedung Dalem Jayadipuran, Yogyakarta.

Mereka berkumpul Bersatu membangun persatuan antar organisasi pergerakan perempuan demi memperjuangkan kesetaraan dan pemenuhan hak-hak perempuan.

Jangan sampai peringatan hari ibu justru melanggengkan kembali domestikasi perempuan yang justru memperkuat seksisme dan penindasan terhadap perempuan. Seperti hanya menonjolkan aspek keibuan dari sosok perempuan tanpa menekankan aspek “kebisaan” lain dari perempuan. Bukankah perempuan mengklaim dirinya sebagai “multitasking”.

Seharusnya ini dijadikan sebagai kekuatan bagi perempuan untuk memperjuangkan dan membebaskan diri dari budaya patriarki dan pembebasan seluruh rakyat dari imperialisme ekonomi politik yang masih terjadi sampai saat ini.

Sehingga sosok ibu, sosok perempuan, jangan hanya dianggap memiliki kodrat mengurus keluarga, membina rumah tangga yang harmonis, menyiapkan makanan di meja makan, melahirkan, membesarkan dan mendidik anak-anak.

Di era digital perempuan masih mengalami kesenjangan gender. Data dari Web Foundation, kesenjangan penggunaan digital antara laki-laki dan perempuan sebesar 21%.

Berdasarkan data Kominfo hanya 20 persen perempuan di Indonesia yang memiliki akses internet dan sebanyak 52 persen perempuan pernah mengalami insiden terkait keamanaan fisik dalam bentuk penguntitan, komentar seksis dan bentuk kekerasan lainnya.

Kekerasan yang dialami perempuan di era digital meliputi grooming, pelecehan verbal dan non verbal, pelecehan seksual online, ancaman fisik dan bahkan penyebaran data pribadi tanpa izin.

Sebagai perempuan, mari mengedukasi diri, jangan sampai stigma “Emak-emak sen kiri belok kanan”  sebagai pelabelan “kebodohan” perempuan di masyarakat. Di sini sangat relevan pesan Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Veronica Tan yang berharap peringatan hari ibu sebagai momentum untuk memperkuat solidaritas dan kerja nyata demi menciptakan lingkungan yang mendukung perempuan berkembang secara optimal.***

*) Siti Napsiyah Arifuzzaman, dosen Prodi Kesejahteraan Sosial, FDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

HARI ini 22 Desember 2024 masyarakat Indonesia memperingatinya sebagai Hari Ibu. Penetapan tanggal 22 Desember sebagai hari Ibu disepakati pada Kongres Perempuan III di Bandung tahun 1939 dan secara resmi diakui melalui Keputusan Presiden Nomor 316 tahun 1969 tentang Hari-Hari Nasional Bukan Hari Libur.

Tahun ini, 2024 adalah peringatan Hari ibu yang ke-96 dengan Tema “Perempuan Menyapa Perempuan Berdaya Menuju Indonesia Emas 2045”.

Seksisme masih menjadi problem mendasar yang menimpa kaum perempuan. Di satu sisi sangat mendiskriminasi dan menindas perempuan, terutama perempuan pekerja. Dalam masyarakat yang cenderung kapitalis, semua ini untuk kepentingan reproduksi tenaga kerja.

Jadi, agar penindasan itu tidak mencolok muncul di permukaan, maka kapitalisme butuh hegemoni berupa berbagai konstruksi social dan kultural agar perempuan dan masyarakat bukan hanya menerimanya namun juga membelanya. Salah satunya dengan cara pengagungan terhadap “ibu” dengan pelanggengan sisi ”keibuaan” nya saja dalam keluarga.

Secara biologis, psikologis dan sosiologis, perempuan atau Ibu disepakati sebagai orang pertama (berdua dengan ayah) bagi anak-anaknya dalam hal Pendidikan. Ibu adalah sekolah pertama bagi anak (al umm madrosatul ula). Dimulai dari rumah, sebelum anak mendapatkan pengajaran dan Pendidikan di sekolah formal (terlembaga).

Orang pertama yang akan ditanya oleh anak adalah ibu, tentang apapun yang ingin dia ketahui, bahkan pengalaman saya sebagai ibu, saat anak saya usia 6 tahun pernah menanyakan tentang hakikat Tuhan sekalipun.

“Mah, Allah itu tidak mati ya mah? Kenapa manusia mati tapi Allah tidak mati. Apa aku bisa menjadi Allah mah? Soalnya kalau aku jadi manusia aku akan mati” begitu pertanyaannya.

Di sini, Ibu harus punya jawaban, jangan sampai anak dibiarkan mencari jawaban dari narasumber atau sumber lain yang dapat menyesatkan pikiran dan keingintahuan polosnya. Ibu juga adalah orang pertama sebagai pelindung dan pemberi kasih sayang terhadap anak (caring from the start). Melalui air susu ibu (ASI), seorang bayi untuk pertama kalinya mendapatkan kenyamanan kasih sayang, perlindungan, dan cinta dari seorang ibu.

Oleh karena itu, menurut teori pembelajaran sosial (social learning theory) anak akan meniru perilaku orang dalam lingkungan sekitarnya. Dan yang pertama dilihat dan dipelajari oleh anak adalah ibu.

Tanpa disengaja perkataan, perilaku dan tindak tanduk ibu, akan terinternalisasi oleh anak. Menjadi perempuan, menjadi ibu adalah peran mulia jangka Panjang dalam menyiapkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas pemimpin masa depan keluarga, bangsa dan dunia.

Tantangan Perempuan di Era Digital

Di tengah kemajuan teknologi digital yang pesat, tantangan kesetaraan gender masih menjadi isu yang relevan dan kompleks. Era digital membawa dampak yang signifikan terhadap dinamika gender, baik dalam hal peluang maupun tantangan yang dihadapi oleh perempuan. Penting bagi masyarakat untuk memahami perubahan ini dan mengambil langkah-langkah konkret untuk menghadapinya.

Baca Juga :  Rem Blong

Salah satu tantangan utama kesetaraan gender di era digital adalah kesenjangan digital antara laki-laki dan perempuan. Meskipun akses internet semakin meluas, perempuan sering kali memiliki akses yang lebih terbatas daripada laki-laki. Faktor-faktor seperti ketidakmampuan finansial, keterbatasan pengetahuan teknologi, dan norma-norma sosial yang membatasi akses perempuan di masyarakat.

Meskipun demikian, Hal baik dari era digital bagi perempuan untuk dimanfaatkan adalah memanfaatkan teknologi digital untuk mengatasi tantangan ketimpangan gender.

Perempuan dapat memperluas jangkauan mereka dalam berbagai bidang kehidupan seperti Pendidikan, pekerjaan, kewirausahaan, dan sebagainya. Bahkan perempuan dapat mengembangkan kapasitas diri dalam penguasaan digital melalui pelatihan digital berbasis kesetaraan gender.

Era digital memberikan peluang terbaik bagi perempuan untuk memanfaatkan kesempatan secara online. Anak atau perempuan dewasa yang sebelumnya tidak memiliki akses di Lembaga Pendidikan karena Batasan grografis, ekonomi dan social sekarang mereka bisa memanfaatkan teknologi digital untuk media belajar.

Seperti kursus online, webinar, pelatihan online, dan sebagainya yang dapat mengurangi keterbelakangan perempuan dalam hal Pendidikan dan mendapatkan pengetahuan.

Upaya tersebut penting disadari oleh perempuan untuk dapat memanfaatkan kebaikan dari era digital untuk peningkatan kapasitas diri perempuan. Di masyarakat menjadi perempuan sering mengalami masalah kesejahteraan psikologis.

Beban psikologis seperti tekanan untuk memenuhi harapan sosial, menghadapi diskriminasi gender, mengalami trauma akibat kekerasan yang kesemuanya dapat menghambat aspirasi dan partisipasi perempuan dalam program pembangunan nasional.

Di sini, yang diperlukan oleh perempuan salah satunya adalah dukungan psikososial dan kesempatan berbicara tentang perasaan, pengalaman, dan kebutuhan mereka

Anak perempuan sering menghadapi stereotipe gender saat mengejar impian kreatif mereka. Di banyak masyarakat, masih ada anggapan bahwa anak perempuan seharusnya memilih profesi atau hobi yang “feminine”. Sangat bias gender, karena mereka dianggap kurang mampu dalam bidang-bidang tertentu seperti teknologi atau sains.

Untuk mengatasi hal ini, kita perlu meyakinkan masyarakat melalui kegiatan yang sifatnya edukasi dan  promosi bahwa perempuan bisa berkompetisi dengan laki-laki dalam berbagai bidang, misalnya dengan menunjukkan figur perempuan dengan kisah suksesnya di tingkat nasional dan global (role modelling).

Jadi, Peringatan Hari Ibu di Tahun ini yang ditandai sebagai era digital, siapapun kita dalam kategori anak perempuan, perempuan dewasa, maupun sebagai ibu, untuk memaknai esensi peringatan hari ibu.

Baca Juga :  Society of Spectacle : Haruskah Kita Pamer di Sosmed?

Jangan sampai kita, hanya menjadikannya sebagai simbol untuk memberikan setangkai bunga atau sekedar ucapan terima kasih kepada ibu atas jasa mereka yang telah melahirkan dan peran-peran domestic ibu di dalam keluarga.

Hari ini harus dijadikan sebagai tonggak perjuangan perempuan Indonesia dalam meraih kesetaraan dan kemandirian. Terakhir, peringatan hari ibu agar tidak hanya menjadi seremonial semata, tetapi agar dapat menjadi penguat komitmen semua masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan untuk mewujudkan kesetaraan gender.

Kita harus berterima kasih kepada para perempuan yang tergabung dalam 30-an organisasi perempuan dari 12 daerah di Jawa dan Sumatera dengan jumlah total peserta kongres saat itu dilaporkan berjumlah sekitar 600 orang perempuan di Gedung Dalem Jayadipuran, Yogyakarta.

Mereka berkumpul Bersatu membangun persatuan antar organisasi pergerakan perempuan demi memperjuangkan kesetaraan dan pemenuhan hak-hak perempuan.

Jangan sampai peringatan hari ibu justru melanggengkan kembali domestikasi perempuan yang justru memperkuat seksisme dan penindasan terhadap perempuan. Seperti hanya menonjolkan aspek keibuan dari sosok perempuan tanpa menekankan aspek “kebisaan” lain dari perempuan. Bukankah perempuan mengklaim dirinya sebagai “multitasking”.

Seharusnya ini dijadikan sebagai kekuatan bagi perempuan untuk memperjuangkan dan membebaskan diri dari budaya patriarki dan pembebasan seluruh rakyat dari imperialisme ekonomi politik yang masih terjadi sampai saat ini.

Sehingga sosok ibu, sosok perempuan, jangan hanya dianggap memiliki kodrat mengurus keluarga, membina rumah tangga yang harmonis, menyiapkan makanan di meja makan, melahirkan, membesarkan dan mendidik anak-anak.

Di era digital perempuan masih mengalami kesenjangan gender. Data dari Web Foundation, kesenjangan penggunaan digital antara laki-laki dan perempuan sebesar 21%.

Berdasarkan data Kominfo hanya 20 persen perempuan di Indonesia yang memiliki akses internet dan sebanyak 52 persen perempuan pernah mengalami insiden terkait keamanaan fisik dalam bentuk penguntitan, komentar seksis dan bentuk kekerasan lainnya.

Kekerasan yang dialami perempuan di era digital meliputi grooming, pelecehan verbal dan non verbal, pelecehan seksual online, ancaman fisik dan bahkan penyebaran data pribadi tanpa izin.

Sebagai perempuan, mari mengedukasi diri, jangan sampai stigma “Emak-emak sen kiri belok kanan”  sebagai pelabelan “kebodohan” perempuan di masyarakat. Di sini sangat relevan pesan Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Veronica Tan yang berharap peringatan hari ibu sebagai momentum untuk memperkuat solidaritas dan kerja nyata demi menciptakan lingkungan yang mendukung perempuan berkembang secara optimal.***

*) Siti Napsiyah Arifuzzaman, dosen Prodi Kesejahteraan Sosial, FDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Terpopuler

Artikel Terbaru

/