DUA pasangan calon presiden dan wakil presiden telah resmi mendaftar ke KPU. Anies Baswedan menggandeng Muhaimin Iskandar, ketua umum PKB. Ganjar Pranowo berpasangan dengan Mahfud MD, seorang tokoh nahdliyin dari Madura.
Hanya Prabowo yang hingga kemarin belum menentukan cawapresnya pada Pemilu 2024. Namun, sangat boleh jadi, Prabowo juga akan mengambil bakal cawapres yang memiliki arsiran kuat dengan Nahdlatul Ulama (NU) atau nahdliyin (baca: santri).
Kita semua tahu, dalam setiap pemilu, NU beserta derivatnya (kaum nahdliyin, santri, dan pesantren) selalu menjadi magnet elektoral yang memikat banyak elite politik. Dengan jumlah pengikut melebihi 150 juta orang atau 59,2 persen dari total penduduk muslim di negeri ini, kaum nahdliyin menjadi ceruk elektoral yang sangat menggiurkan bagi mayoritas partai politik kita.
Karena itu, siapa pun calon presidennya, nyaris dapat dipastikan dia akan memilih cawapres yang memiliki irisan dengan NU atau kaum nahdliyin. Realitas inilah yang dulu pernah digambarkan dengan slogan popular, tetapi bernada peyoratif: ”Siapa pun presidennya, wakilnya pasti NU (nahdliyin).” Slogan ini diadaptasi dari pariwara: ”Apa pun makanannya, minumnya tetap Teh Botol Sosro.”
Dikatakan peyoratif, karena NU, kaum nahdliyin, atau santri sering kali dianggap sebagai targeted community yang empuk dalam kontestasi elektoral, tetapi mudah diabaikan seusai kontestasi.
Peran Profetik
Dengan jumlah yang begitu besar, kaum santri tentu saja memiliki potensi yang sangat dahsyat bagi perbaikan kondisi bangsa dan negara kita. Dari sekian kali pengalaman pemilu, jumlah santri yang begitu besar tidak serta-merta dapat dikonversi menjadi modal sosial (social capital) yang masif untuk perbaikan kondisi bangsa.
Beberapa kali pemilu dan pilkada memang berhasil mengantarkan banyak kaum santri masuk ke gelanggang politik kenegaraan. Namun, kiprah politik mereka belum mampu melahirkan dentuman perubahan mendasar dalam konteks perbaikan kondisi bangsa-negara.
Artinya, kiprah profetik kaum santri belum benar-benar menjadi kenyataan di republik ini. Yang lebih tampak adalah kiprah politik harian (low politics) dalam konteks perebutan kekuasaan dan jabatan publik.
Dalam banyak kasus, kaum santri bahkan lebih banyak diperankan sebagai ”ban serep”, pelengkap penderita alias pinggiran, dalam kerja-kerja politik. Yang lebih miris lagi, tidak sedikit di antara mereka yang kemudian menjadi ”tumbal” (atau dikorbankan?) dalam sistem politik yang koruptif.
Dalam dunia politik, kaum santri sudah seharusnya ”naik kelas” dari sekadar objek penderita menjadi subjek pelaku. Santri harus memegang kendali penuh dalam proses transformasi politik yang lebih baik, bermartabat, dan berkeadilan sehingga bisa mengubah Indonesia menjadi lebih baik.
Jangan bahas kiprah kaum santri pada zaman dahulu kala. Misalnya, KH Hasyim Asy’ari mengumandangkan Resolusi Jihad sebagai perlawanan kaum santri dalam mengusir penjajah. Atau, ketika KH Abdul Wahid Hasyim, putra KH Hasyim Asy’ari, menjadi bagian dari BPUPKI untuk merumuskan platform kemerdekaan Indonesia. Bahkan, KH Abdurrahman Wahid, putra KH Abdul Wahid Hasyim, berhasil menorehkan namanya sebagai presiden pertama dari kalangan santri.
Kenyataan besarnya umat Islam di atas mengingatkan kita pada sebuah hadis Nabi Muhammad SAW yang menggambarkan kondisi umat Islam di akhir zaman sebagai buih di tengah lautan.
”Pada suatu saat nanti, datang suatu masa di mana bangsa-bangsa lain di sekeliling kamu akan bersatu mengerubungimu seperti bersatunya orang-orang mengerubungi makanan di atas meja hidangan,” sabda Rasulullah SAW. Ketika ditanyakan kepada Rasulullah, ”apakah karena di saat itu jumlah umat Islam sedikit?” Jawab Rasul, ”Sama sekali tidak, bahkan jumlah kalian sangat banyak. Namun, kalian seperti buih di lautan” (HR Abu Dawud).
Pemberdayaan
Hadis di atas menggambarkan rapuhnya kondisi umat Islam di tengah kepungan bangsa-bangsa lain yang jauh lebih berdaya. Akibatnya, umat Islam mudah dikuasai dan ditaklukkan bangsa lain.
Pertanyaan mendasarnya adalah mengapa kaum muslim begitu mudah dihegemoni dan dikooptasi pihak lain untuk kepentingan politik jangka pendek? Melanjutkan Hadis Rasulullah di atas, umat Islam telah terjangkiti penyakit ”wahn” (takut, lemah). Yakni, cinta berlebihan terhadap dunia (baca: materi dan kekuasaan) dan takut mati (baca: tidak mau berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara).
Untuk mengatasi itu semua, sekurang-kurangnya dibutuhkan dua langkah berikut ini. Pertama, pemberdayaan kaum santri di berbagai bidang (intelektual, sosial, politik, dan ekonomi). Kedua, kaum santri harus berada di garda depan dalam penerapan nilai-nilai politik luhur yang dapat mengantarkan bangsa ini pada politik kemuliaan (high politics). Bukan malah sebaliknya, mereka terlibat dalam penerapan sistem politik yang korup dan transaksional.
Dengan tema Jihad Santri Jayakan Negeri, mari kita jadikan peringatan Hari Santri tahun ini sebagai momentum mentransformasi mentalitas politik bangsa ini dari mentalitas politik pragmatis-transaksional menuju politik transformatif yang memberdayakan semua warga. Dengan kerja-kerja transformatif, bukan hanya dunia politik kita yang menjadi lebih baik.
Namun, lebih dari itu. Suatu saat nanti, kita menyaksikan nama-nama kaum santri tidak hanya mendominasi cawapres, tetapi juga capres di setiap pergelaran pemilu. Santri pun tidak lagi menjadi buih di lautan politik. Semoga! (*)
*) Santri, guru besar, dan direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya