HIRUK PIKUK pilpres bakal berakhir dengan rencana penetapan rekapitulasi hasil pemilu pada 20 Maret ini. Mengakhiri salah satu babak demokrasi ini, banyak orang yang ternganga mulutnya saat menyaksikan berbagai ulah para cendekiawan.
Para cendekiawan yang dulu sangat garang di kampus, mengajari para mahasiswa untuk berdemokrasi misalnya, kini setelah menikmati jabatan, perilakunya berbalik seratus delapan puluh derajat.
Di masa lalu juga bisa disaksikan dari jejak sejarah. Para cendekiawan kampus yang sangat garang mengkritik otoritarianisme Orde Lama, ketika ia menjabat di lingkaran kekuasaan Orde Baru, lebih sadis dalam menggilas setiap perbedaan pendapat.
Mereka yang garang mengkritik matinya demokrasi di zaman Orde Baru, begitu masuk kekuasaan di Orde Reformasi, juga setali tiga uang. Malah lebih gila korupsinya. Yang garang mengkritik pelanggaran HAM, begitu mendapat kekuasaan, malah menari-nari di atas mayat teman seperjuangannya.
Mereka yang garang mengkritik kecurangan pemilu, begitu mengalami sendiri, ia tidak bisa berkata sepatah pun sebagaimana dikatakan ketika merasa dicurangi dahulu. Orang yang sangat lantang mengejek kekuasaan saingan politiknya bertahun-tahun, begitu dikasih jabatan, begitu takzim memujimuji, seolah kemaren tidak ada yang mendengar omongannya.
Mereka lupa, jejak digital amat mudah diputar kembali. Sialnya, mereka juga tidak merasa malu ketika diputar ulang kata-katanya. Padahal, ilmuwan atau cendekiawan itu boleh salah, tapi tidak boleh bohong.
Inilah problem akut bangsa ini. Kekuasaan dipandang hanya soal bagi-bagi kue, bagi-bagi jatah, dan tidak paham apa itu esensi dari demokrasi dan kekuasaan. Para cendekiawan yang diharapkan akan menjadi mercusuar, panutan, dan pemimpin untuk mengawal demokrasi dan keadilan sosial, ternyata sebagian tidak lebih hanya menggonggong.
Begitu dikasih tulang, langsung menjilat-njilat yang memberikan. Rakyat kini seperti yatim piatu, tidak memiliki panutan dan pemberi pencerahan untuk semakin cerdas dalam memahami apa itu makna berbangsa bernegara.
Sudah lama Samuel P. Huntington dalam Political Order in Changing Societies (1968) mengatakan bahwa ketidaktertiban politik menjadi penghambat utama pembangunan ekonomi. Manning Nash dalam Some Social and Cultural Development juga mengatakan bahwa pembangunan ekonomi itu memerlukan transformasi sosial-politik berikut kelembagaannya. Bagaimana pembangunan ekonomi akan berjalan baik dalam kondisi aktor-aktor yang menguasai itu tidak memiliki kompetensi dan kejujuran dalam mengendalikan negara?
Para cendekiawan larut di dalamnya sehingga ekonomi biaya tinggi, KKN, dan kerusakan lingkungan menjadi hasil akhir dari plin-plannya para cendekiawan ini. Setiap perlawanan cendekiawan berakhir dalam manisnya kedudukan yang mereka kedapi.
Padahal, jauh sebelum itu, para cendekiawan yang tergabung dalam Boedi Oetomo (1908), dr Tjipto, dr Wahidin Sudirohusodo, dr Sutomo, dan dr Gunawan dkk, sangat cerdas merumuskan strategi untuk menuju kemerdekaan. Ada tiga jalur yang digarap, yakni pendidikan, kebudayaan, dan politik.
Boedi Oetomo secara bertahap dan konsisten menjalankan perannya, dengan strategi memperbaiki tingkat pendidikan masyarakat, dan bukan gerakan revolusioner melawan penjajah. Gerakan pendidikan juga dibarengi gerakan kebudayaan, gerakan politik pada 1928 dengan Soempah Pemoeda, dan baru puncaknya revolusi kemerdekaan 1945. Yang menarik dari sejarah tersebut adalah komitmen, konsistensi, dan strategi. Para cendekiawan tidak tergiur kekuasaan, tapi tetap mengawal dan memimpin perubahan-perubahan sosial yang lebih baik.
Personalisasi Politik
Tidak terbangunnya transformasi sosial-politik sebagaimana diimpikan pada gerakan reformasi 1998 lalu menumbuhkan apa yang disebut Lucian W. Pye dalam Asian Power and Politics (1985) sebagai personalisasi politik.
Artinya, kekuasaan politik berada di tangan-tangan pribadi yang memegangnya, dan bukan pada peran atau fungsi yang dijalankan organisasi atau lembaga tempat sang aktor berada. Mereka sadar atau tidak, menganggap organisasi atau lembaga, sebagai milik pribadinya. Dan sekali lagi, banyak cendekiawan yang turut andil mempersuburnya.
Dari titik itulah saya lantas ingat kata-kata Richard Wright dalam American Hunger (1977) yang menyatakan bahwa politik bukan permainan saya. Hati manusia adalah permainan saya, namun hanya dalam wilayah politiklah saya menyaksikan dalamnya hati manusia.
Sengaja yang dikutip literatur-literatur klasik itu untuk sekadar menunjukkan betapa masalah politik-kekuasaan di negara-negara berkembang ternyata tidak mengalami kemajuan yang signifikan.
Bahkan, Gandhi juga pernah menyindir kolonial Inggris, yang juga dapat kita analogikan dengan pencitraan dan money politics saat ini. Kata Gandhi: ”Lembaga-lembaga yang tampaknya pemurah (dalam kolonial Inggris), ternyata tak ubahnya hanyalah ular yang bermahkota berlian di atas kepalanya, namun penuh racun di kedua taringnya.”
Kita masih menantikan peran cendekiawan sesungguhnya, yang mampu melakukan dan memimpin reformasi sosial-ekonomi-politik, sebagaimana dikatakan R. Pennock (1979) bahwa kultur politik akan baik jika mampu menautkan antara rakyat dan negara serta menautkan antara rakyat dan rakyat.
Dari kultur politik yang sehat, akan terjadi pembangunan ekonomi yang ditopang demokratisasi yang makin baik. Untuk itulah, peran cendekiawan sejati sangat dibutuhkan.
Bersama para tokoh politik, tokoh masyarakat, tokoh agama, para cendekiawan ini menuruti apa yang diresepkan Lester Seligman (1959) bahwa ide-ide politik yang kontroversial serta seruan moral harus selalu digelorakan di berbagai media massa. Gunanya agar selalu menarik perhatian orang untuk kemudian dijadikan isu-isu perubahan.
Kalaupun para cendekiawan nanti masuk dalam lingkaran kekuasaan, mereka tetap akan konsisten, menggunakan kekuasaan untuk mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana mereka perjuangkan dahulu. (*)
*) SARATRI WILONOYUDHO, Dosen Universitas Negeri Semarang, Sekretaris Dewan Riset Daerah Jawa Tengah