28.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Ritel Modern dan HET Beras

DALAM beberapa hari ini, publik dikagetkan raibnya beras premium di ritel modern. Yang tersisa hanya beras-beras khusus, seperti basmati, thai hom mali, dan beras hitam atau beras merah, yang harganya selangit. Sebaliknya, di pasar tradisional, beras premium aneka merek dengan mudah ditemukan.

Mengapa? Pemasok beras ke ritel modern menghentikan pasokan karena tak lagi kuat menanggung kerugian. Mereka bertahan memasok ke ritel modern dengan kerugian Rp 1.000–Rp 1.500/kg. Harapannya, harga gabah sebagai bahan baku beras turun sehingga kerugian bisa tertutupi. Tapi, rupanya harga gabah tidak juga turun. Hari-hari ini, bahkan harganya menembus Rp 7.500 hingga Rp 8.800/kg gabah kering panen (GKP).

Jika diolah jadi beras, harganya bisa tembus Rp 15.000–Rp 16.000/kg, melampaui harga eceran tertinggi (HET). Yakni, Rp 10.900–Rp 11.800/kg beras medium dan Rp 13.900–Rp 14.800/kg beras premium.

Berbeda dengan ritel modern yang patuh HET, pasar tradisional tidak pernah patuh sejak kebijakan tersebut diberlakukan September 2017. Karena itu, hari-hari ini harga beras premium berbagai merek di pasar tradisional tinggi. Rata-rata di atas Rp 16.000/kg.

Pertanyaannya, bukankah HET dimaksudkan untuk mengendalikan harga agar di bawah patokan? Jika harga melampaui patokan, lalu apa gunanya HET? Bukankah ini akan menggerus kredibilitas pemerintah?

Pertama, kenaikan harga beras adalah konsekuensi kenaikan harga gabah. HET seperti diatur di Peraturan Bapanas No 7 Tahun 2023 menggunakan patokan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah kering panen (GKP) di petani Rp 5.000/kg dan di penggilingan Rp 5.100/kg. Sementara itu, HPP gabah kering giling (GKG) di penggilingan Rp 6.200/kg dan di gudang Bulog Rp 6.300/kg. Saat ini harga GKP di tingkat petani sudah di atas Rp 7.000/kg.

Bahkan di beberapa wilayah mencapai Rp 7.400/kg. Ketika harga gabah sebagai bahan baku (input) naik, dengan sendirinya beras sebagai output produksi juga naik.

Baca Juga :  Media 'Flashcard' dalam Pembelajaran Bahasa Inggris untuk Anak Berkebutuhan Khusus

Namun, mematok harga gabah secara tetap seperti HET tentu tidak adil bagi petani. Sebab, harga input produksi pertanian (tenaga kerja, bibit, sewa lahan, pupuk, dan lainnya) tidak tetap. Pada titik ini, mempertanyakan HET sebagai sebuah kebijakan menjadi relevan. Kalau harga bahan baku tidak tetap, mengapa harga jual dibuat tetap? Bukankah harga jual yang dibuat tetap itu akan membatasi inovasi?

Kedua, dalam konteks stabilisasi harga, sejatinya HET bukan peranti langsung untuk mengatur pelaku usaha. HET adalah batas harga perlu tidaknya pemerintah melakukan intervensi di pasar. Tujuannya, daya beli terjaga dan inflasi terkendali.

Karena itu, dalam konteks stabilisasi harga beras, HET tidak berdiri sendiri. HET adalah pelengkap pelbagai instrumen stabilisasi: cadangan, ekspor dan impor, serta harga dasar. HET tidak bisa diandalkan jadi instrumen stabilisasi bila tak ada cadangan beras yang setiap saat bisa digerakkan untuk mengoreksi kegagalan pasar. Agar cadangan aman, penyerapan beras domestik harus dioptimalkan.

Di sini perlu instrumen harga dasar, yang di Inpres 15/2015 disebut harga pembelian pemerintah (HPP). HPP adalah perisai agar petani tak rugi. Ketika harga gabah/beras jatuh di bawah HPP, negara lewat Bulog hadir membeli produksi petani. Ketika cadangan belum cukup, bisa diisi dari impor di luar panen. Sekarang ini, tak jelas kaitan HET dengan cadangan beras dan instrumen lainnya.

Ketiga, sejak diberlakukan pada 1 September 2017 sampai saat ini, HET belum efektif. Kalau 6 tahun berlalu tak efektif, kenapa HET beras tetap diberlakukan? Apakah masih perlu trial and error lagi? Bukankah sudah banyak penggilingan yang gulung tikar? Bukankah penggilingan dan pedagang beras masih trauma dengan kehadiran satgas pangan untuk mengamankan HET? Diyakini, beleid HET mengirim banyak penggilingan ke jurang maut.

Baca Juga :  Liburan Sekolah dan Cuti Guru

Kalau tetap menerapkan HET, mengapa mesti menyasar beras premium yang bisa dibeli warga berduit. Segmen itu rela merogoh dalam-dalam sakunya bila ada produsen yang mampu mengolah beras sehingga mengandung antioksidan, cocok buat penderita diabetes, dan jadi obat awet muda.

HET dibuat agar harga beras terjangkau oleh rata-rata daya beli masyarakat. Kalau konsisten dengan latar itu, konsumen yang hendak disasar sudah jelas: kaum miskin. Karena itu, HET seharusnya hanya mengatur jenis beras medium untuk segmen warga kebanyakan, bukan konsumen tajir.

Keempat, HET membuat petani ogah berinovasi dan memproduksi padi berkualitas. Itu disebabkan HET tidak mengakomodasi dan membuka peluang petani untuk mendapatkan nilai lebih dari inovasi yang dilakukan. HET telah memaksa pedagang dan penggilingan padi memperlakukan sama para petani yang memproduksi padi berkualitas dengan yang tidak.

Lalu, apa gunanya inovasi petani bila tak dihargai? Berbeda halnya bila HET mengakomodasi penciptaan nilai tambah beras, misalnya, tak ada HET beras premium. Nilai tambah itu pasti membawa spillover ke petani dalam bentuk harga gabah lebih tinggi. Itu akan menggerus keuntungan tengkulak.

Beleid HET beras kembali menyadarkan perlunya para pemangku kepentingan untuk berhati-hati, membuang jauh-jauh egosektoral dengan menimbang semua sisi, dan melibatkan para pihak untuk membuahkan kebijakan yang baik dan kredibel.

Kebijakan yang baik tentu juga didasarkan pada data yang baik dan bisa dipertanggungjawabkan. Ini penting karena ujung dari semua itu kredibilitas pemerintah yang menjadi taruhan. Saatnya menimbang ulang kebijakan HET beras. Tidak ada kata terlambat untuk mengoreksi sebuah masalah. (*)

*) KHUDORI, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP), penulis buku Bulog dan Politik Perberasan (penerbit Obor, 2022)

 

DALAM beberapa hari ini, publik dikagetkan raibnya beras premium di ritel modern. Yang tersisa hanya beras-beras khusus, seperti basmati, thai hom mali, dan beras hitam atau beras merah, yang harganya selangit. Sebaliknya, di pasar tradisional, beras premium aneka merek dengan mudah ditemukan.

Mengapa? Pemasok beras ke ritel modern menghentikan pasokan karena tak lagi kuat menanggung kerugian. Mereka bertahan memasok ke ritel modern dengan kerugian Rp 1.000–Rp 1.500/kg. Harapannya, harga gabah sebagai bahan baku beras turun sehingga kerugian bisa tertutupi. Tapi, rupanya harga gabah tidak juga turun. Hari-hari ini, bahkan harganya menembus Rp 7.500 hingga Rp 8.800/kg gabah kering panen (GKP).

Jika diolah jadi beras, harganya bisa tembus Rp 15.000–Rp 16.000/kg, melampaui harga eceran tertinggi (HET). Yakni, Rp 10.900–Rp 11.800/kg beras medium dan Rp 13.900–Rp 14.800/kg beras premium.

Berbeda dengan ritel modern yang patuh HET, pasar tradisional tidak pernah patuh sejak kebijakan tersebut diberlakukan September 2017. Karena itu, hari-hari ini harga beras premium berbagai merek di pasar tradisional tinggi. Rata-rata di atas Rp 16.000/kg.

Pertanyaannya, bukankah HET dimaksudkan untuk mengendalikan harga agar di bawah patokan? Jika harga melampaui patokan, lalu apa gunanya HET? Bukankah ini akan menggerus kredibilitas pemerintah?

Pertama, kenaikan harga beras adalah konsekuensi kenaikan harga gabah. HET seperti diatur di Peraturan Bapanas No 7 Tahun 2023 menggunakan patokan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah kering panen (GKP) di petani Rp 5.000/kg dan di penggilingan Rp 5.100/kg. Sementara itu, HPP gabah kering giling (GKG) di penggilingan Rp 6.200/kg dan di gudang Bulog Rp 6.300/kg. Saat ini harga GKP di tingkat petani sudah di atas Rp 7.000/kg.

Bahkan di beberapa wilayah mencapai Rp 7.400/kg. Ketika harga gabah sebagai bahan baku (input) naik, dengan sendirinya beras sebagai output produksi juga naik.

Baca Juga :  Media 'Flashcard' dalam Pembelajaran Bahasa Inggris untuk Anak Berkebutuhan Khusus

Namun, mematok harga gabah secara tetap seperti HET tentu tidak adil bagi petani. Sebab, harga input produksi pertanian (tenaga kerja, bibit, sewa lahan, pupuk, dan lainnya) tidak tetap. Pada titik ini, mempertanyakan HET sebagai sebuah kebijakan menjadi relevan. Kalau harga bahan baku tidak tetap, mengapa harga jual dibuat tetap? Bukankah harga jual yang dibuat tetap itu akan membatasi inovasi?

Kedua, dalam konteks stabilisasi harga, sejatinya HET bukan peranti langsung untuk mengatur pelaku usaha. HET adalah batas harga perlu tidaknya pemerintah melakukan intervensi di pasar. Tujuannya, daya beli terjaga dan inflasi terkendali.

Karena itu, dalam konteks stabilisasi harga beras, HET tidak berdiri sendiri. HET adalah pelengkap pelbagai instrumen stabilisasi: cadangan, ekspor dan impor, serta harga dasar. HET tidak bisa diandalkan jadi instrumen stabilisasi bila tak ada cadangan beras yang setiap saat bisa digerakkan untuk mengoreksi kegagalan pasar. Agar cadangan aman, penyerapan beras domestik harus dioptimalkan.

Di sini perlu instrumen harga dasar, yang di Inpres 15/2015 disebut harga pembelian pemerintah (HPP). HPP adalah perisai agar petani tak rugi. Ketika harga gabah/beras jatuh di bawah HPP, negara lewat Bulog hadir membeli produksi petani. Ketika cadangan belum cukup, bisa diisi dari impor di luar panen. Sekarang ini, tak jelas kaitan HET dengan cadangan beras dan instrumen lainnya.

Ketiga, sejak diberlakukan pada 1 September 2017 sampai saat ini, HET belum efektif. Kalau 6 tahun berlalu tak efektif, kenapa HET beras tetap diberlakukan? Apakah masih perlu trial and error lagi? Bukankah sudah banyak penggilingan yang gulung tikar? Bukankah penggilingan dan pedagang beras masih trauma dengan kehadiran satgas pangan untuk mengamankan HET? Diyakini, beleid HET mengirim banyak penggilingan ke jurang maut.

Baca Juga :  Liburan Sekolah dan Cuti Guru

Kalau tetap menerapkan HET, mengapa mesti menyasar beras premium yang bisa dibeli warga berduit. Segmen itu rela merogoh dalam-dalam sakunya bila ada produsen yang mampu mengolah beras sehingga mengandung antioksidan, cocok buat penderita diabetes, dan jadi obat awet muda.

HET dibuat agar harga beras terjangkau oleh rata-rata daya beli masyarakat. Kalau konsisten dengan latar itu, konsumen yang hendak disasar sudah jelas: kaum miskin. Karena itu, HET seharusnya hanya mengatur jenis beras medium untuk segmen warga kebanyakan, bukan konsumen tajir.

Keempat, HET membuat petani ogah berinovasi dan memproduksi padi berkualitas. Itu disebabkan HET tidak mengakomodasi dan membuka peluang petani untuk mendapatkan nilai lebih dari inovasi yang dilakukan. HET telah memaksa pedagang dan penggilingan padi memperlakukan sama para petani yang memproduksi padi berkualitas dengan yang tidak.

Lalu, apa gunanya inovasi petani bila tak dihargai? Berbeda halnya bila HET mengakomodasi penciptaan nilai tambah beras, misalnya, tak ada HET beras premium. Nilai tambah itu pasti membawa spillover ke petani dalam bentuk harga gabah lebih tinggi. Itu akan menggerus keuntungan tengkulak.

Beleid HET beras kembali menyadarkan perlunya para pemangku kepentingan untuk berhati-hati, membuang jauh-jauh egosektoral dengan menimbang semua sisi, dan melibatkan para pihak untuk membuahkan kebijakan yang baik dan kredibel.

Kebijakan yang baik tentu juga didasarkan pada data yang baik dan bisa dipertanggungjawabkan. Ini penting karena ujung dari semua itu kredibilitas pemerintah yang menjadi taruhan. Saatnya menimbang ulang kebijakan HET beras. Tidak ada kata terlambat untuk mengoreksi sebuah masalah. (*)

*) KHUDORI, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP), penulis buku Bulog dan Politik Perberasan (penerbit Obor, 2022)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru