Site icon Prokalteng

Data Caleg dan Literasi Politik

Iding Rosyidin

Baru-baru ini muncul lagi wacana agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuka data profil para calon anggota legislatif (caleg) yang akan berkontestasi pada Pemilu 2024. Ada parpol yang setuju dan menyatakan siap membuka data para calegnya. Namun, tidak sedikit pula yang tampaknya belum bersedia melakukannya.

Membuka data para caleg agar dapat diakses oleh publik seluas-luasnya tentu sangat penting. Hal ini agar publik mengetahui betul siapa yang akan dipilihnya untuk mengemban amanah rakyat, terutama tentang rekam jejak (track record) mereka selama ini.

Perspektif Literasi Politik

Persoalan membuka data para caleg sangat menarik dilihat dari perspektif literasi politik. Seperti dijelaskan oleh Carol A. Cassel and Cecilia C. Lo (1997), literasi politik bisa disebut juga dengan keahlian politik (political expertise), kesadaran politik (political awareness), dan kompetensi civic (civic competence), yang menekankan pada potensi-potensi atas partisipasi politik yang berbasis informasi.

Dengan kata lain, seseorang yang terliterasikan secara politik (politically literate) akan memahami konsep-konsep dan fakta-fakta dasar politik, diferensiasi partai politik, dan seterusnya. Dan pada saat mereka berpartisipasi politik dengan beragam bentuknya, seperti terlibat dalam diskusi publik, pemberian suara, dan sebagainya, mereka akan melakukannya secara substantif. Misalnya, mendasarkan partisipasinya pada informasi-informasi yang valid.

Tentu saja, membuka data profil caleg ke publik dari perspektif literasi politik sangat tepat dari berbagai segi. Pertama, publik akan mendapatkan informasi yang valid mengenai para caleg karena mereka mendapatkannya dari lembaga resmi, yakni KPU. Dengan asumsi bahwa data-data caleg yang disampaikan parpol-parpol pengusung benar adanya.

Apakah para caleg memiliki kualifikasi dan kapasitas politik yang memadai untuk menjadi wakil rakyat atau sebaliknya; apakah memiliki prestasi yang tepat untuk posisi caleg atau malah pernah terlibat dalam tindakan melanggar hukum seperti pernah menjadi narapidana. Semua ini akan menjadi referensi bagi publik untuk memberikan suaranya.

Kedua, langkah ini dapat dianggap sebagai salah satu bentuk pendidikan politik yang baik dari parpol kepada publik. Jika bersedia melakukan hal tersebut, jelas parpol akan diacungi jempol karena telah berkontribusi terhadap penguatan demokrasi, dalam hal ini partisipasi politik publik yang bersifat substantif. Itulah sejatinya yang diharapkan dari demokrasi.

Ketiga, bagi para caleg sendiri, dibukanya data mereka agar dapat diakses oleh publik dari lembaga resmi seperti KPU sebenarnya lebih menguntungkan. Daripada publik mencari-cari data tentang para caleg dari berbagai sumber informasi, luring maupun daring, yang belum tentu jelas dan valid, justru lebih baik mereka memperolehnya dari KPU.

Literasi politik sendiri memiliki tiga level atau tingkatan, yaitu kognitif, sikap, dan perilaku. Kognitif berkaitan dengan pengetahuan di mana publik diharapkan memiliki beragam informasi yang valid tentang semua proses politik yang terjadi, termasuk data caleg atau para aktor politik pada umumnya.

Idealnya, setiap orang yang akan berpartisipasi politik, termasuk pemberian suara pada saat pemilu, mesti mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya, tentu saja yang valid, tentang data para caleg sehingga mereka mengetahui betul siapa caleg tersebut.

Jangan sampai publik seperti terjebak dalam ungkapan memilih kucing dalam karung, artinya tidak mengetahui siapa yang akan dipilihnya. Akibatnya, para caleg yang nanti terpilih menjadi wakil rakyat boleh jadi tidak sesuai dengan ekspektasi mereka.

Sementara level sikap berkaitan dengan rasa senang/suka atau tidak senang/suka, simpati atau antipati, mendukung atau sebaliknya. Dengan catatan, munculnya sikap-sikap tersebut setelah publik memiliki pengetahuan (level kognitif) terlebih dahulu tentang para caleg.

Maka, jika KPU nanti benar-benar membuka data para caleg dan semua parpol mendukungnya, informasi-informasi itulah yang sejatinya akan memunculkan sikap di kalangan publik, apakah mereka akan menyukai atau sebaliknya; dan seterusnya.

Sementara level perilaku lebih pada tindakan terakhir dalam konteks literasi politik di mana publik bersedia memberikan suara, dalam hal ini kepada para caleg. Dengan kata lain, publik memberikan suara mereka di TPS didasarkan pada dua level pertama, mengetahui informasi yang valid mengenai para caleg, lalu muncul sikap suka atau mendukung, dan akhirnya bersedia memberikan suara atau memilihnya.

Pemilih Rasional

Tiga level literasi politik di atas, yakni kognitif, sikap, dan perilaku, inilah yang sesungguhnya dapat menjadikan para pemilih sebagai pemilih-pemilih rasional (rational voters). Mereka memberikan suara kepada caleg lebih didasarkan pada informasi atau pengetahuan yang valid tentang visi, misi, program kerja, dan rekam jejak para caleg, kemudian mendukung dan akhirnya memilihnya.

Sayangnya, kerap kali terjadi di negara kita di mana publik langsung loncat ke tingkatan kedua. Yakni sikap, baik mendukung atau tidak mendukung terhadap caleg tanpa berusaha mengetahui terlebih dahulu tentang jati diri para caleg tersebut.

Apalagi jika ikatan-ikatan primordial dipegang publik secara kuat, baik tentang kesamaan daerah, suku, agama, dan sebagainya. Informasi-informasi tentang caleg biasanya tidak terlalu dianggap penting karena mereka sudah langsung loncat ke sikap. Inilah yang biasa dilakukan oleh para pemilih tradisional (traditional voters).

Oleh karena itu, tidak ada alasan sebenarnya bagi parpol-parpol di Indonesia untuk tidak mendukung langkah membuka data publik di KPU agar dapat diakses seluas-luasnya oleh publik. Sebagai pemasok sumber daya politik, parpol sudah seharusnya menyediakan sumber daya-sumber daya yang capable untuk berkiprah di dunia politik. (*)

*) IDING ROSYIDIN, Wakil dekan akademik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Exit mobile version