IMPLEMENTASI penerimaan peserta didik baru (PPDB) sistem zonasi yang diberlakukan sejak 2017 kerap mengundang polemik. Rentetan polemik pun ditinggalkan PPDB tahun ini. Yang paling menyita perhatian tentu isu dugaan kecurangan.
Modus kecurangan yang terungkap ke permukaan adalah memanipulasi kartu keluarga (KK) di jalur zonasi dan mutasi atau perpindahan tugas orang tua, tipu-tipu nilai di jalur prestasi, jual beli kursi, titipan orang dalam, dan gratifikasi.
Kecurangan-kecurangan itu tentu membuat siswa dan orang tua kecewa yang bisa menimbulkan trauma berkepanjangan. Mereka bisa tidak percaya terhadap penyelenggara PPDB. Jika terus dibiarkan, publik akan kehilangan rasa hormat terhadap lembaga pendidikan dalam penerimaan siswa baru. Persepsi orang tua yang terbangun bukan lagi soal bisa lulus sesuai prosedur, melainkan mencari cara-cara ’’ilegal’’ untuk memuluskan anaknya masuk ke sekolah impian.
Salah satu celahnya ada di jalur afirmasi. Sesuai dengan amanat Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan, jalur afirmasi paling sedikit 15 persen dari daya tampung sekolah. Berarti dibuka ruang untuk menerima peserta didik jalur afirmasi lebih dari 15 persen.
Masalahnya kemudian implementasi dan pemaknaan pembatasan PPDB jalur afirmasi di daerah. Jalur tersebut diwarnai dengan berbagai praktik kecurangan yang membuat banyak calon peserta didik tidak lulus PPDB. Mereka kalah bersaing dengan orang-orang yang memiliki jaringan di dalamnya.
Antisipasi Putus Sekolah
Yang mesti diperhatikan pemerintah saat ini adalah masa depan anak-anak yang gagal masuk ke sekolah impiannya. Jangan sampai mereka putus sekolah. Sungguh ini menjadi ironi jika terjadi.
Kegagalan masuk sekolah favorit memang menjadi beban mental bagi calon peserta didik. Apalagi mereka sudah mempersiapkan sejak awal untuk masuk sekolah favorit. Mereka bisa kehilangan semangat untuk melanjutkan sekolah.
Selain kondisi di atas, ada beberapa hal mengapa pasca-PPDB banyak calon siswa yang harus menunda masuk sekolah dan bahkan putus sekolah. Pertama, selama bertahun-tahun, telah terjadi pergeseran interpretasi sekolah unggulan atau favorit. Anggapan inilah yang kemudian memunculkan kompetisi antar-calon siswa. Motivasi siswa yang ingin masuk ke sekolah favorit juga memotivasi orang tua untuk melakukan intervensi. Salah satunya bertindak kecurangan agar anaknya diterima.
Fenomena manipulasi kartu keluarga (KK) di jalur zonasi dan mutasi atau perpindahan tugas orang tua, tipu-tipu nilai di jalur prestasi, jual beli kursi, titipan orang dalam, dan gratifikasi menjadi fenomena yang menyedihkan. Efeknya adalah banyak anak-anak yang seyogianya layak lulus PPDB itu tapi harus tergeser akibat kecurangan tersebut.
Kedua, lahirnya sistem zonasi yang cenderung diskriminasi dalam implementasi. Berdasar Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 Tahun 2018, PPDB zonasi bertujuan pemerataan pendidikan dan menghapus segregasi karena ada sekolah favorit.
Namun, implementasi dari sistem zonasi tersebut ada calon siswa yang dekat sekolah tapi tidak diterima. Di jalur prestasi, ada yang berprestasi malah tidak dapat kursi. Di jalur afirmasi, yang punya KIP tidak terjamin lulus PPDB.
Ketiga, faktor ekonomi. Ekonomi merupakan salah satu faktor paling dominan yang berpotensi membuat siswa putus sekolah. Siswa yang mengincar sekolah negeri umumnya berasal dari keluarga tidak mampu. Harapan orang tua jika anaknya masuk sekolah negeri dapat menekan biaya sekolah.
Jadi, ketika di sekolah negeri tidak diterima, mereka kesulitan masuk ke sekolah swasta karena biayanya sangat mahal. Otomatis, calon siswa yang notabene tidak mampu secara ekonomi harus mengubur impiannya untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi.
Ada tiga komponen yang menyebabkan putus sekolah seperti yang dikemukakan oleh Ridwan (2022). Pertama, rendahnya penghasilan orang tua sehingga tidak mencukupi kebutuhan anak. kedua, pekerjaan orang tua yang tidak pasti.
Sedangkan tanggungan dan jumlah keluarga yang cukup banyak sehingga penghasilan tidak mencukupi. Ketiga, status tempat tinggal. Tempat tinggal yang jauh dari akses pendidikan memungkinkan anak-anak putus sekolah. Hal ini disebabkan karena alat transportasi yang tidak memadai.
Kuota Afirmasi Lain
Ancaman putus sekolah tidak boleh terjadi. Salah satu solusinya adalah mencarikan kuota afirmasi, prestasi, dan zonasi di sekolah lain. Sekolah yang masih menyisakan kuota bisa memberikan kelonggaran kepada siswa lain untuk masuk. Kuota ini seyogianya harus memprioritaskan siswa yang memenuhi kriteria.
Selain itu, jalur kuota prestasi juga harus memberikan syarat bahwa siswa tersebut benar-benar berprestasi. Misalnya siswa itu memiliki prestasi bagus baik lokal maupun nasional.
Selain mengisi kuota di sekolah lain, tiga permasalahan yang disebut di atas harus segera dicarikan solusinya. Sistem zonasi yang cenderung diskriminatif misalnya, pemerintah harus mengidentifikasi secara menyeluruh jika ada siswa yang tidak lulus.
Di samping itu, kecurangan yang kerap terjadi tiap tahun harus segera dievaluasi. Jangan sampai problem tersebut merugikan siswa yang seyogianya lulus terpaksa gagal masuk dan putus sekolah. (*)
*) TRI PUJIATI, Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Kudus