25.9 C
Jakarta
Wednesday, December 4, 2024

Pilkada Serentak Menuju Kemandirian Desa

PILKADA serentak 27 November 2024 menjadi momen penting untuk mewujudkan kemandirian dan kemakmuran desa. Pasalnya, menjelang pilkada, DPR mengesahkan Revisi Undang-Undang (RUU) Desa menjadi UU Nomor 3/2024 tentang Perubahan atas UU No 6/2014 tentang Desa.

Para kepala desa (Kades) di tanah air pun lega setelah perjuangan mereka selama bertahun-tahun membuahkan hasil. Khususnya terkait dengan penambahan masa jabatan. Sesuai dengan pasal 39 ayat 1 UU No 3 /2024, Kades memegang jabatan selama 8 tahun terhitung sejak tanggal pelantikan.

Kemudian, pasal 39 ayat 2 mengatur, Kades bisa menjabat maksimal 2 kali masa jabatan. Baik secara berturut-turut maupun tidak. Dengan demikian, masa jabatan Kades bisa mencapai 16 tahun.

Diharapkan, dengan masa jabatan Kades selama 8 tahun, pelaksanaan program membangun desa bisa lebih maksimal. Waktu 6 tahun dirasa belum cukup untuk mewujudkan program pembangunan sesuai visi-misi Kades saat pilkades. Sebab, problem desa dan permasalahan warga sangat kompleks. Semua penyelesaiannya pun bertumpu pada Kades.

Selain itu, pilkades dengan rentang waktu 6 tahun bisa memantik masalah keamanan. Pilkades berbeda dengan pemilu lain karena kontestannya adalah warga desa sendiri. Massa pendukung juga warga setempat, bahkan bisa teman atau keluarga, sehingga rawan konflik berkepanjangan.

Namun, para Kades tidak boleh larut dalam euforia. Penambahan masa jabatan itu seharusnya dibarengi peningkatan kinerja dalam melayani masyarakat. Jabatan adalah amanah warga. Mengemban jabatan tak ubahnya menjalankan ibadah.

Karena itu, Kades harus mewakafkan dirinya untuk kemaslahatan warga. Waktunya tercurah penuh untuk melayani masyarakat. Bukan sebaliknya, minta dilayani secara penuh oleh masyarakat.

Baca Juga :  Hasrat Kuasa, Demokrasi, dan Realitas Ciptaan

Tolok ukur layanan yang baik, salah satunya, bisa dilihat saat pilkades. Kades petahana yang baik dipastikan terpilih lagi karena warga merasa puas. Warga tahu track record, karakter, dan kinerja Kades-nya yang bagus.

Momen Pilkada Serentak

Membangun desa maju dengan warganya yang sejahtera tidak bisa hanya dilakukan Kades beserta perangkat desa. Secara vertikal, harus seiring pula dengan kebijakan pemprov maupun pemkab yang juga berorientasi memajukan desa.

Momen pilkada serentak 27 November 2024 menjadi sangat penting karena pemimpin yang terpilih nanti, baik gubernur-wakil gubenur maupun bupati-wakil bupati, harus menjalankan UU No 3/2024 tentang Desa.

Visi-misi para pasangan calon yang mendukung kemajuan desa dan kesejahteraan warga sangat menentukan keterpilihan mereka. Dari visi-misi pasangan calon itulah warga desa tahu siapa pemimpin yang bisa menjadi harapan mereka.

Selama ini, momen pilkada seakan hanya berwujud pesta demokrasi lima tahunan belaka. Setelah itu selesai. Yang terpilih menjadi bupati-wakil bupati pun melakukan rutinitas seperti biasa. Dari seremoni yang satu berlanjut ke acara yang lain. Tidak ada terobosan yang bernas untuk kemajuan desa.

Parahnya, warganya pun sama. Tidak proaktif terlibat dalam proses pengambilan kebijakan terkait dengan pembangunan desa. Kebiasaan semacam itu berhulu pada sikap masyarakat terhadap pilkada –juga pemilu legislatif maupun pilpres. Sikap apatis tersebut terjadi, salah satunya, gegara politik uang (money politics). Pesta uang receh Rp 50-an ribu sekali, tetapi berdampak pada kerusakan sendi-sendi kehidupan bangsa.

Baca Juga :  Memberantas Kekerasan Guru dalam Pendidikan

Lantaran itulah, mindset masyarakat soal pilkada harus diubah. Warga harus menyadari betapa pentingnya aktif dalam proses politik, tetapi bukan politik praktis pragmatis alias berebut kekuasaan dan politik uang.

Sinergi Desa-Kota

Masa depan bangsa, khususnya masa depan desa, ditentukan pada hari H coblosan pilkada. Desa akan makin maju dalam segala bidang bila pemimpin yang terpilih jelas-jelas peduli terhadap desa.

Punya komitmen untuk memajukan desa, membangun kemandirian desa, serta menyejahterakan warga. Sebab, kemajuan sebuah desa menjadi kunci bagi kemajuan bangsa dan negara. Bahkan kemajuan sebuah peradaban.

Membangun desa dengan benar otomatis memengaruhi kota terdekat. Kota modern biasanya ditopang oleh desa-desa di sekitarnya yang juga maju dan modern. Kota aman karena warga desa di sekitarnya mandiri secara ekonomi. Bila sebaliknya, kota akan jadi target urbanisasi yang berisi warga desa yang penuh keruwetan hingga memicu instabilitas.

Sinergi desa-kota harus terus dipertahankan karena keduanya berlaku hukum simbiosis mutualisme. Tak terpisahkan.

Warga desa paham, cagub-cawagub atau cabup-cawabup yang peduli desa akan menjadi harapan mereka. Kandidat yang layak dipilih untuk menjadi komandan memajukan desa.

Warga juga tahu siapa kandidat yang seakan-akan peduli terhadap desa. Calon seperti itu hanya menjadikan warga desa sebagai target elektoral. Aktif menyapa warga desa hanya di musim pilkada. Selebihnya menghilang entah ke mana. (*)

 

*) SYAIFULLAH MAHDI, Koordinator Paguyuban Kepala Desa (PKD) Jatim; dan mahasiswa program doktoral UHT Surabaya

PILKADA serentak 27 November 2024 menjadi momen penting untuk mewujudkan kemandirian dan kemakmuran desa. Pasalnya, menjelang pilkada, DPR mengesahkan Revisi Undang-Undang (RUU) Desa menjadi UU Nomor 3/2024 tentang Perubahan atas UU No 6/2014 tentang Desa.

Para kepala desa (Kades) di tanah air pun lega setelah perjuangan mereka selama bertahun-tahun membuahkan hasil. Khususnya terkait dengan penambahan masa jabatan. Sesuai dengan pasal 39 ayat 1 UU No 3 /2024, Kades memegang jabatan selama 8 tahun terhitung sejak tanggal pelantikan.

Kemudian, pasal 39 ayat 2 mengatur, Kades bisa menjabat maksimal 2 kali masa jabatan. Baik secara berturut-turut maupun tidak. Dengan demikian, masa jabatan Kades bisa mencapai 16 tahun.

Diharapkan, dengan masa jabatan Kades selama 8 tahun, pelaksanaan program membangun desa bisa lebih maksimal. Waktu 6 tahun dirasa belum cukup untuk mewujudkan program pembangunan sesuai visi-misi Kades saat pilkades. Sebab, problem desa dan permasalahan warga sangat kompleks. Semua penyelesaiannya pun bertumpu pada Kades.

Selain itu, pilkades dengan rentang waktu 6 tahun bisa memantik masalah keamanan. Pilkades berbeda dengan pemilu lain karena kontestannya adalah warga desa sendiri. Massa pendukung juga warga setempat, bahkan bisa teman atau keluarga, sehingga rawan konflik berkepanjangan.

Namun, para Kades tidak boleh larut dalam euforia. Penambahan masa jabatan itu seharusnya dibarengi peningkatan kinerja dalam melayani masyarakat. Jabatan adalah amanah warga. Mengemban jabatan tak ubahnya menjalankan ibadah.

Karena itu, Kades harus mewakafkan dirinya untuk kemaslahatan warga. Waktunya tercurah penuh untuk melayani masyarakat. Bukan sebaliknya, minta dilayani secara penuh oleh masyarakat.

Baca Juga :  Hasrat Kuasa, Demokrasi, dan Realitas Ciptaan

Tolok ukur layanan yang baik, salah satunya, bisa dilihat saat pilkades. Kades petahana yang baik dipastikan terpilih lagi karena warga merasa puas. Warga tahu track record, karakter, dan kinerja Kades-nya yang bagus.

Momen Pilkada Serentak

Membangun desa maju dengan warganya yang sejahtera tidak bisa hanya dilakukan Kades beserta perangkat desa. Secara vertikal, harus seiring pula dengan kebijakan pemprov maupun pemkab yang juga berorientasi memajukan desa.

Momen pilkada serentak 27 November 2024 menjadi sangat penting karena pemimpin yang terpilih nanti, baik gubernur-wakil gubenur maupun bupati-wakil bupati, harus menjalankan UU No 3/2024 tentang Desa.

Visi-misi para pasangan calon yang mendukung kemajuan desa dan kesejahteraan warga sangat menentukan keterpilihan mereka. Dari visi-misi pasangan calon itulah warga desa tahu siapa pemimpin yang bisa menjadi harapan mereka.

Selama ini, momen pilkada seakan hanya berwujud pesta demokrasi lima tahunan belaka. Setelah itu selesai. Yang terpilih menjadi bupati-wakil bupati pun melakukan rutinitas seperti biasa. Dari seremoni yang satu berlanjut ke acara yang lain. Tidak ada terobosan yang bernas untuk kemajuan desa.

Parahnya, warganya pun sama. Tidak proaktif terlibat dalam proses pengambilan kebijakan terkait dengan pembangunan desa. Kebiasaan semacam itu berhulu pada sikap masyarakat terhadap pilkada –juga pemilu legislatif maupun pilpres. Sikap apatis tersebut terjadi, salah satunya, gegara politik uang (money politics). Pesta uang receh Rp 50-an ribu sekali, tetapi berdampak pada kerusakan sendi-sendi kehidupan bangsa.

Baca Juga :  Memberantas Kekerasan Guru dalam Pendidikan

Lantaran itulah, mindset masyarakat soal pilkada harus diubah. Warga harus menyadari betapa pentingnya aktif dalam proses politik, tetapi bukan politik praktis pragmatis alias berebut kekuasaan dan politik uang.

Sinergi Desa-Kota

Masa depan bangsa, khususnya masa depan desa, ditentukan pada hari H coblosan pilkada. Desa akan makin maju dalam segala bidang bila pemimpin yang terpilih jelas-jelas peduli terhadap desa.

Punya komitmen untuk memajukan desa, membangun kemandirian desa, serta menyejahterakan warga. Sebab, kemajuan sebuah desa menjadi kunci bagi kemajuan bangsa dan negara. Bahkan kemajuan sebuah peradaban.

Membangun desa dengan benar otomatis memengaruhi kota terdekat. Kota modern biasanya ditopang oleh desa-desa di sekitarnya yang juga maju dan modern. Kota aman karena warga desa di sekitarnya mandiri secara ekonomi. Bila sebaliknya, kota akan jadi target urbanisasi yang berisi warga desa yang penuh keruwetan hingga memicu instabilitas.

Sinergi desa-kota harus terus dipertahankan karena keduanya berlaku hukum simbiosis mutualisme. Tak terpisahkan.

Warga desa paham, cagub-cawagub atau cabup-cawabup yang peduli desa akan menjadi harapan mereka. Kandidat yang layak dipilih untuk menjadi komandan memajukan desa.

Warga juga tahu siapa kandidat yang seakan-akan peduli terhadap desa. Calon seperti itu hanya menjadikan warga desa sebagai target elektoral. Aktif menyapa warga desa hanya di musim pilkada. Selebihnya menghilang entah ke mana. (*)

 

*) SYAIFULLAH MAHDI, Koordinator Paguyuban Kepala Desa (PKD) Jatim; dan mahasiswa program doktoral UHT Surabaya

Terpopuler

Artikel Terbaru