PEMILU merupakan bagian dari demokrasi, tetapi bukan satu-satunya prasyarat demokrasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Robert Dahl bahwa salah satu prasyarat demokrasi adalah adanya public contestation di dalam memperebutkan jabatan-jabatan publik. Tetapi, di samping itu, demokrasi membutuhkan partisipasi dalam kebijakan publik.
Pemilu merupakan salah satu wujud dari public contestation itu. Melalui pemilu, jabatan-jabatan publik atau pemimpin tersebut tidak diberikan secara turun-temurun seperti di dalam sistem kerajaan, atau melalui paksaan fisik seperti di dalam pemerintahan yang diperoleh melalui kudeta.
Melalui pemilu, para pemimpin itu dipilih secara langsung oleh rakyat. Yang mampu meyakinkan para pemilihlah yang berkemungkinan bisa menduduki jabatan-jabatan publik tersebut.
Proses semacam itulah yang mengharuskan adanya interaksi antara calon/partai dengan para pemilih, seperti dalam masa kampanye. Tetapi, acapkali, interaksi itu dilakukan jauh hari sebelum masa kampanye.
Para calon/partai sudah aktif memperkenalkan diri. Interaksi yang lebih lama memungkinkan calon dan pemilih saling mengenal satu sama lain. Dari proses ini pula bisa menumbuhkan rasa suka (likely) dan pada akhirnya memutuskan untuk memilih (loyalty).
Hari ini, 14 Februari 2024, merupakan hari penentuan dari hasil interaksi itu. Meminjam istilah di dalam marketing, itu adalah hari ’’transaksi’’ antara pemilih dan calon/partai. Para pemilih akan berduyunduyun ke bilik-bilik suara untuk menentukan calon/partai mana yang akan dipilih menjadi presiden/wakil presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD. Melalui perhitungan, kita juga akan mengetahui siapa presiden/wakil presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD terpilih 2024–2029.
Bukan Sekadar Hasil
Mengetahui siapa (calon/partai) yang menjadi pemenang pemilu tentu saja sangat penting, karena di antara tujuan public contestation memang itu. Tetapi, yang tidak kalah pentingnya, apakah proses untuk sampai pada hasil itu dilalui secara jujur dan adil atau tidak?
Secara kelembagaan, bagaimana pemilu dilakukan secara jujur dan adil telah didesain, seperti melalui pembentukan lembaga penyelenggara pemilu dan dibukanya kekuatan-kekuatan masyarakat untuk mengawal pelaksanaannya. Selain itu, juga sudah ada rule of the game, mulai dari awal proses kontestasi sampai pada mekanisme penghitungan tentang calon/partai yang akan menjadi pemenang.
Tetapi, seperti halnya di dalam kontestasi apa saja dan di mana saja, tidak semua rule of the game itu diikuti oleh semua kontestan dan para pendukung. Ada cela dari permainan yang bisa saja disalahgunakan, agar lebih mudah memenangkan permainan.
Untuk itu, agar pemilu berlangsung secara jujur, para pemilih dihadapkan*) tidak hanya berhenti pada aksi pemilih. Perlu ada pengawalan agar penghitungan suara itu dilakukan secara jujur dan adil oleh semua pihak, baik peserta pemilu, media, maupun para pemilih.
Mengawal Pemenang
Ketika calon/partai yang berkontestasi telah diputuskan siapa pemenangnya, demokrasi elektoral memang sudah selesai. Dalam demokrasi, demokrasi elektoral sejatinya hanya bagian awal dari proses demokrasi yang sesungguhnya. Yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana orang-orang/partai-partai yang telah menang dan duduk di dalam pemerintahan itu menjalankan pemerintahannya.
Sebagaimana dikemukakan oleh Robert Dahl, ’’a key characteristic of democracy is the continuing responsiveness of the government to the preferences of its citizens, considered as political equals.’’
Ketika menjalankan pemerintahannya, para pejabat yang terpilih itu apakah konsisten menjalankan visi-misi dan program-program yang telah ditawarkan dan dijanjikan kepada para pemilih? Di sini, prasyarat demokrasi tentang partisipasi publik pascapemilu itu penting.
Memang tidak salah kalau kita berprasangka baik bahwa para pejabat terpilih itu akan berusaha memenuhi janji-janjinya. Tetapi, yang harus diingat, para pejabat itu juga manusia yang tidak lepas dari kesalahan-kesalahan.
Untuk itu, pengawalan agar mereka terus berusaha merespons dan memperjuangkan kepentingan publik menjadi suatu keharusan agar mereka tetap di jalan kebaikan sebagaimana yang kita sangkakan. Semoga. (*)
*) KACUNG MARIJAN, Wakil rector Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya