SEBAGAI kontestasi politik, debat politik capres 2024 merupakan fenomena yang mampu memberi daya tarik tersendiri. Setidaknya terdapat sekian juta penduduk Indonesia yang memberikan perhatian pada debat politik capres dan cawapres sampai pada putaran ketiga. Dengan beberapa tema yang dipandang penting, mulai tema pemerintahan, ekonomi kerakyatan dan digital, sampai pertahanan keamanan, hubungan internasional, serta geopolitik.
KPU sebagai lembaga penyelenggara dinilai berhasil memberikan suguhan yang heboh sekaligus memiliki daya magnetis bagi industri berbasis politik di tengah hiruk pikuk kecemasan dan kebahagiaan para pendukung pasangan capres dan cawapres yang sedang berlangsung.
Tentu, secara ideal, debat politik capres dan cawapres menjadi satu sarana ideal dalam mentransformasikan gagasan secara terbuka di ruang publik. Dan, pada saat yang sama, dilakukan adu gagasan dengan kandidat lain. Pada konteks itu, ruang demokrasi dapat dikatakan tumbuh dan berkembang secara sehat.
Secara partisipatoris, kandidat memiliki ruang dan kesempatan yang sama untuk mengeksplorasi gagasan-gagasan strategisnya sebagai calon. Meski, untuk yang terakhir, terdapat beberapa pihak yang mempertanyakan bahwa ruang adu gagasan itu secara substansial belum dapat dikatakan ada secara signifikan.
Ironisnya, dengan berbagai kemampuan dan kegenitannya, calon tidak hanya mencoba menarik perhatian publik pada dimensi ruang gagasan tersebut. Namun, terdapat bentuk-bentuk lain sebagai fitur komunikasi politik untuk mendapatkan perhatian dan simpati politik dari publik. Fitur politik tambahan itu seperti gerakan tubuh atau hal lain yang dapat digunakan untuk membantu tampilan di panggung debat politik tersebut.
Posdemokrasi dan Titik Simpang Kritis
Tentu fitur komunikasi politik pada saat debat publik itu, jika tidak melampaui batas, dapat dipandang normal dan wajar. Persoalannya adalah fitur komunikasi politik saat debat publik itu memberikan kesan dikonstruksi secara berlebihan sehingga dapat mengaburkan hal-hal yang substansial dan esensial dalam debat publik.
Apalagi, hal ini diperparah dengan proses konstruksi politik yang berlebihan di media sosial seusai debat. Media sosial dimainkan sedemikian rupa sebagai mesin politik untuk mendapatkan efek politik yang mampu memberikan nilai lebih dari proses konstruksi citra.
Proses demikian ini dapat dikatakan sebagai proses politik terjadinya posdemokrasi. Debat publik capres dan cawapres jauh dari harapan yang sebenarnya, bagaimana ruang publik sarat gagasan dan publik bisa mendapatkan informasi yang memadai bagi kebutuhan pendidikan politik. Informasi dan kebutuhan atas pendidikan politik inilah yang semestinya ditonjolkan dalam debat politik, yang diharapkan berujung pada kesadaran politik baru bagi publik.
Fenomena terjadinya posdemokrasi tentu perlu diwaspadai. Crouch (2000) menyebut posdemokrasi sebagai kesadaran politik untuk menggunakan saluran institusi formal demokrasi, tetapi pada saat yang sama institusi formal demokrasi tersebut dikuasai segelintir kelompok yang memiliki kekuatan politik-ekonomi.
Di sisi lain, posdemokrasi mengacu makna bagi terjadinya praktik demokrasi yang melampaui realitas. Pada praktik demokrasi yang demikian ini, citra dan konstruksi citra politik dipandang lebih penting bagi realitas politik itu sendiri.
Pada konteks demikian, ketika debat politik di ruang publik lebih mengedepankan aspek citra, tanpa sadar demokrasi kita bergerak pada arah penuh keterancaman dan berada pada titik simpang kritis. Serres (1995) menggambarkan sebagai keadaan politik antara kacau dan teratur, antara kepastian dan ketidakpastian, antara keadaan teramalkan dan tidak teramalkan.
Keadaan seperti ini merupakan keadaan yang menunjukkan titik simpang kritis bagi terjadinya turbulensi politik yang ditandai dengan ketidakstabilan (disorder) dan keacakan (randomness). Jika tidak diantisipasi, tentu kondisi ini membawa akibat buruk bagi masa depan politik dan demokrasi Indonesia.
Agora dan Ruang Politik Publik
Dalam tradisi debat di ruang publik, sebenarnya jauh pada masa Yunani Kuno sudah dilakukan debat di ruang publik. Mitchel (1995) mengemukakan, dalam tradisi politik Yunani Kuno, terdapat ruang politik yang dikenal dengan agora. Agora merupakan tempat masyarakat Yunani Kuno saat itu untuk bertemu dan memperbincangkan persoalan bersama, termasuk persoalan politik.
Agora pada masa itu menjadi ruang publik yang dipandang memiliki relevansi dan kapasitas yang memadai untuk digunakan sebagai sarana perdebatan di ruang publik. Pada ruang publik (public sphere) inilah, masyarakat sipil mendistribusikan berbagai isu masyarakat dan negara secara serius.
Antarsubjek membangun dan memaparkan argumentasi masing-masing, kemudian mencoba mencari solusi atas permasalahan yang diperdebatkan.
Dengan demikian, ruang publik yang disebut agora itu jelas sarat gagasan dan jauh dari tendensi individu untuk mengungguli atau sekadar menjatuhkan lawan. Jika hal ini kita kembalikan pada fenomena debat capres dan cawapres 2024, tentu dapat kita simak masih ada kecenderungan antarcalon untuk saling menjatuhkan.
Sangat naif jika tema-tema besar dan sekaligus memiliki urgensi strategis itu direduksi pada politik jatuh dan menjatuhkan serta tidak ditempatkan dalam kerangka politik kebangsaan yang lebih besar.
Ruang debat capres dan cawapres itu masih memberikan kesan sebagai panggung untuk menarik simpati dan merayakan demokrasi sebagai industri hiburan. Lebih dari itu, masih miskin eksplorasi gagasan. (*)
*) AKHMAD TAUFIQ, Sastrawan dan dosen Universitas Jember